Senin, 24 April 2017

berburu



BERBURU
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tela’ah Teks Arab Hukum Ekonomi Syari’ah
Dosen Pengampu: Dr. Muhammad Zayaduz Zabidi
Oleh:
Nur Aini
Joni Andi Irawan
Ririn
Faisol Mubarok
Pilar Iman Hakiki

                                                                                                                         

 








PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN (STAIN)
2016

KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik materi, maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki, sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, kami dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan, saran dan usulan guna penyempurnaan makalah ini.
Dalam makalah ini, kami membahas beberapa persoalan teks al-Quran yang berkenaan dengan berburu yang pada zaman sekarang sangat digemari oleh kalangan. Mudah mudahan dengan makalah ini, dapat memberikan motifasi pada generasi muda, umumnya  untuk mengaplikasikan apa yang ada dalam makalah ini.









                                                            Pamekasan, 17 Mei 2016




                                                                        Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................     i
DAFTAR ISI........................................................................................................    ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................    1
1.      Latar Belakang..........................................................................................    1
2.      Rumusan Masalah.....................................................................................    1
3.      Tujuan Penulisan.......................................................................................    1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................    2
1.      Pengertian Berburu (As-Shoid) .................................................................    2
2.      Dalil disyari’atkannya berburu .................................................................    2
3.      Makna Mufradat.......................................................................................    3
4.      Munasabah ayat.................................................................................... ....    5
5.      Asbab Al-Nuzul.................................................................................... ....    5
6.      Tafsir Al-Ayat...................................................................................... ....    6
7.      Kandungan Hukum.............................................................................. ....    8
BAB III PENUTUP.............................................................................................    9
1.      Kesimpulan........................................................................................... ....    9
2.      Saran..................................................................................................... ....    9
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... .... 10













BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kecendrungan manusia dalam mengikuti hawa nafsu sangat lah tinggi dan sangat sulit untuk dikendalikan, oleh karena itu memerangi hawa nafsu ini adalah bentuk perang yang sangat dahsyat.
Kecendrungan ini biasanya untuk melakukan hal-hal yang dapat menyenangkan  diri sendiri. Banyak sekali perbuatan manusia yang mungkin sebagi kesenangan diri, yang mungkin dengan itu dapat membuat pikiran tenang, salah satu contohnya; berburu.
Berburu adalah kegiatan mencari biantang untuk dibunuh atau ditaklukkan, baik tujuan itu untuk dimakan atau hanya sekedar peghilang jenuh. Karena biasanya orang yang sampai hoby memburu dengan mendapatkan sasaran buruannya dia merasa bangga, padahal seharusnya kita sebagai manusia haruslah memperhatikan makhluk yang ada disekeliling kita untuk kita lindungi.
Oleh karena itu dalam pembahsan kami ini akan membahas tentang berburu, bagimana sebenarnya berburu itu? Bolehkah secara syari’at islam yang sudah biasa dilakukan oleh ummat islam, atau mungkin sebaliknya hukum berburu itu tidak boleh.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud berburu?
2.      Bagaimana status hukum berburu?
3.      Apa dalil al-Qur’an yang mendasari berburu?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui status hukum berburu.
2.      Sebagai salah satu pemenuhan tugas mata kuliah telaah teks arab hukum ekonomi syari’ah.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Berburu (Al-Shoid)
Berburu secara etimologi adalah berasal dari shoda yasidu, yang artinya buruan atau hewan yang diburu man kata ini daimutlakkan  atar bentuk maf’ulnnya.
Sedangakan secara terminologi berburu adalah seperti yang dipaparkan Imam Al-Kasani ialah nama bagi hewan yang liar yang tidak mungkin diperolhnya kecuali dengan siasat/muslihat.
      Sedangkan menurut Imam Al-Buhuty ialah membidik hewan yang liar yang tidak dimiliki oleh orang lain dari tempat persembunyian.[1] 
B.     Dalil  disyari’atkannya Berburu
Adapun dalil yang mendasari berburu ialah dari al-kitab dan as-sunah
1.      Dalil dari Al-Kitab
أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ }المائدة/{11[2]
Artinya: Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا} المائدة/2{
 Artinya: dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.
2.      Dalil dari As-Sunnah
عن أَبي ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ قال: أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ نَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ وَأَرْضِ صَيْدٍ أَصِيدُ بِقَوْسِي وَأَصِيدُ بِكَلْبِي الْمُعَلَّمِ أَوْ بِكَلْبِي الَّذِي لَيْسَ بِمُعَلَّمٍ فَأَخْبِرْنِي مَا الَّذِي يَحِلُّ لَنَا مِنْ ذَلِكَ قَالَ أَمَّا مَا ذَكَرْتَ أَنَّكُمْ بِأَرْضِ قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ تَأْكُلُونَ فِي آنِيَتِهِمْ فَإِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَ آنِيَتِهِمْ فَلَا تَأْكُلُوا فِيهَا وَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَاغْسِلُوهَا ثُمَّ كُلُوا فِيهَا وَأَمَّا مَا ذَكَرْتَ أَنَّكَ بِأَرْضِ صَيْدٍ فَمَا أَصَبْتَ بِقَوْسِكَ فَاذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ ثُمَّ كُلْ وَمَا أَصَبْتَ بِكَلْبِكَ الْمُعَلَّمِ فَاذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ ثُمَّ كُلْ وَمَا أَصَبْتَ بِكَلْبِكَ الَّذِي لَيْسَ بِمُعَلَّمٍ فَأَدْرَكْتَ ذَكَاتَهُ فَكُلْ
Artiya: Dari Abu Tsa'labah Al Khusyani RA, dia berkata, "Saya pernah menemui Rasulullah SAW seraya berkata, 'Ya Rasulullah, saya adalah orang yang hidup di negeri kaum Ahli Kitab. Saya makan dengan menggunakan bejana mereka. Di sana saya biasa berburu; terkadang dengan panah, terkadang dengan menggunakan anjing saya yang telah terlatih, dan terkadang dengan menggunakan anjing saya yang belum terlatih. Oleh karena itu, tolong jelaskan kepada saya apa yang boleh dan halal untuk saya dari semua hal yang telah saya sebutkan.' Mendengar pernyataan Abu Tsa'labah itu, Rasulullah pun berkata, "Apa yang telah kamu katakan bahwasanya kamu hidup di negeri kaum Ahli Kitab. Lalu kamu makan dengan memakai bejana mereka. Akan tetapi, jika kamu masih mampu untuk mendapatkan bejana yang lain, maka sebaiknya kamu jangan makan dengan menggunakan bejana mereka. Namun jika kamu terpaksa harus menggunakan bejana tersebut karena kamu tidak mendapatkan pilihan lain, maka sebaiknya kamu sucikan terlebih dahulu bejana itu sebelum kamu gunakan untuk makan. Sedangkan mengenai masalah berburu di tanah perburuan, sebelum membidikkan anak panahmu ke arah binatang buruan tersebut maka sebaiknya kamu membaca basmalah terlebih dahulu, kemudian barulah kamu makan binatang hasil buruanmu itu. Mengenai hasil buruan yang kamu dapatkan dengan menggunakan anjingmu yang sudah terlatih, maka bacalah basmalah dan setelah itu makanlah! Adapun hasil buruan yang kamu dapatkan dengan menggunakan anjingmu yang belum terlatih, jika kamu dapat menyembelihnya, maka kamu boleh memakannya.'''''' (Muslim 6/58-59). [3]
C.    Makna Mufradat
المفردة اية الاولى
Arti Mufradat
Teks
Dihalalkan
أُحِلَّتْ[4]
Bagi kamu
لَكُمْ
Binatang
بَهِيمَةُ
Ternak
الْأَنْعَامِ[5]
Kecuali
              [6] إِلَّا
Sesuatu
مَا[7]
Dibacakan
يُتْلَى
Atasmu
عَلَيْكُمْ
Selain
غَيْرَ[8]
Menghalalkan
مُحِلِّي
Berburu
             [9] الصَّيْدِ
Dan kamu
              [10] وَأَنْتُمْ
Dalam keadaan ihram
حُرُمٌ
Sesungguhnya
إِنَّ[11]
Allah
اللَّهَ
Menghukumi
              [12] يَحْكُمُ
Sesuatu
مَا
Menghendaki
              [13] يُرِيدُ

المفردة اية الثانية
Arti Mufradat
Teks
Ketika
وَإِذَا
Halal/tahallul
              [14] حَلَلْتُمْ
Berburu
فَاصْطَادُوا



D.    Munasabah Al-Ayat
Pada akhir surat Al-Maidah Allah menyatakan dirinya sebagai pemilik kerajaan langit, bumi dan isinya, sekaligus menguasai dan mengaturnya sesuai kehendaknya. Maka awal surat Al-An’am Allah memuji dirinya karena dialah yang telah menciptakan langit, bumi dan isinya serta segala peristiwa yang terjadi didalamnya.[15]
E.     Asbab Al-Nuzul
Ibnu Jabir meriwayatkan dari Ikrimah, dia berkata: “Al-Hutham bin Hinduwal Bakri datang ke Madinah dengan beberapa untanya yang membawa bahan makan untuk dijual. Kemudian dia mendatangi Rasullah, dan menawarkan barang dagangannya, setelah itu dia masuk islam. Ketika dia keluar dari tempat Rasulullah, beliau bersabda kepada orang-orang yang ada didekat beliau,‘ dia datang kepadaku dengan wajah orang yang jahat. Lalu dia pergi dengan punggung seorang pengkhianat.’ Ketika Al-Hatham sampai ke Yamamah, dia keluar dari islam (murtad). Ketika bulan Dzul Hijjah, dia pergi ke Mekkah dengan rombongan untanya yang membawa bahan makanan. Ketika orang- orang Muhajirin dan orang-orang Anshar mendengar berita kepergian Al-Hatham ke Mekkah, mereka pun bersiap-siap untuk menyerang kafilah untanya. Maka Allah menurunkan firman-Nya, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah melanggar syiar- syiar kesucian Allah..’ Akhirnya, mereka tidak jadi melakukan hal itu.”
Ibnu Jabir juga meriwayatkan dari As-Suddi hadist yang serupa denggannya. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, dia berkata, “Rasulullah dan para sahabat berada di Hudaibiyah ketika orang-orang musyrik menghalangi mereka pergi ke Baitullah. Hal itu membuat marah para sahabat. Ketika dalam keadaan demikian, beberapa orang musyrik dari daerah timur melintasi mereka menuju Baitullah untuk melakukan umrah. Para sahabat berkata, ‘kita halangi mereka agar tidak pergi ke Baitullah, sebagaimana mereka menghalangi kita. Lalu Allah menurunkan ayat-Nya: ‘.. janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang- halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka)."[16]
F.     Tafsir Al-Ayat
Adapun penafsiran mufassir terhadap ayat;  أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعامِ إِلَّا ما يُتْلى عَلَيْكُمْ
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu” artinya dihalalkan bagi manusia mengkonsumsi binatang ternak melalui proses sembelihan secara syari’at islam.  kecuali hewan yang diharamakan.[17] atau hewan yang diharam kan allah dengan proses matinya hewan itu semisal; memakan (bangkai, darah, daging babi,) daging hewan (yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya.[18] Jelas dalam ayat diberi qoyyid (pembatasan) dengan menggunakan istisna’ agar tidak semutlak itu untuk memahami sebelumnya yaitu; أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعامِ yang memang timbulnya istisna’nya dari lafad ini.
Menurut M. Quraish Shihab yang dimaksud dengan الانعام  dalam ayat ini adalah unta, sapi dan kambing. Makna tersebut kemudian diperluas sehingga mencakup semua binatang atau burung dan unggas yang memakan tumbuuh-tumbuhan dan tidak ada keterangan agama yang mengaharamkannya. Ada juga ulama yang membatasi kata ini dalam pengertian “ segala binatang darat dan laut yang berkaki empat.” Ada juag yang berpendapat juag bahwa yang dimaksud dengan bahima al-an’am adalah janin yang telah mati dan keluar atau dikeluarkan dari perut binatang yang telah disembelih secara sah. Ini, menurut al-Alusi dalam tafsirnya ruh al-ma’ani, adalah pendapat imam syafi’i.[19]
Selanjutnya tafsir ayat, غير محلي الصيد أنتم حرم dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji” ini adalah qayyid atas qayyid yang mana qayyid itu adalah semua jenis binatang  diharamkan untuk diburu bagi seorang yang dalam keadaan ihram  atau haji  baik untuk dikonsumsi atau lainnya.[20]
إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ . merupakan penguat terhadap hukum islam, bahwa Allah memberikan sebuah hukum berdasarkan pengetahuan dan hikmah dan kemaslahatannya.
Sedangkan ayat; وَإِذا حَلَلْتُمْ فَاصْطادُواdan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu” menurut mufassir, kebolehan dari ayat ini ketika seorang telah melakukan ihram  serta bertahallul dan sudah keluar dari tanah haram, maka boleh lah melakukan berburu atinya kembali kepada hukum sebelumnya yang mana sebelumnya berburu itu boleh ketidak bolehan tersebut dikarenakan dalam keadaan ihram, barulah setelah itu kita diperbolehkan berburu dengan kehendaknya dan orang itu tidak ada dosa sekalipun memakannya.
Ini adalah perintah stelah adanya larangan, bahkan menurut pendapat yang shohih, hukum dikembalikan pada asal sebelum dilarang, jika sebelum wajib maka dikembalikan pada wajib,ketika sunah dikembalikan pada sunnah atau mubah maka dikembalikan pada mubah pula, berarti yang dihalalkan ketika dalam keadaan selain haji, umrah. [21]
Menurut imam malik konsep الامر  pada asalnya menuntut wajib, namun dalam ayat ini dipahami ibaha dari penalaran kepada makna dan ijma’ tidak dilihat dari bentuk amr-nya. Dan dikhususkan pada menyebut berburu saja karena orang-orang pada kebanyakan lebih menyukai hal itu. [22]
Ayat ini sangat berkaitan dengan ayat sebelumnya, yaitu; غَيْرَ مُحِلّى الصيد وَأَنتُمْ حُرُمٌ  artinya pencegah dari bolehnya berburu itu adalah ihram, sehingga ketika pencegah itu hilang (ihram) maka harus dibuang tuntutan pencegahan yang ada pada mani’ tersebut.[23]
G.    Kandungan Hukum
Dari proses telaah ayat al-Qur’an surat Al-maidah diatas maka hukum berburu adalah boleh, karena dalam kaidah fiqih disebutkan; أن الأمر بعد الحظر للإباح perintah setelah terlarang yang pada mulanya boleh maka menunjukkan pada boleh”.[24]
Sedangkan menurut Wahbah Az-Zuhaili melihat pada ayat tersebut dapat diambil kandungan hukum sebagai berikut:
1.      Halalnya memakan binatang ternak dengan metode penyembelihan secara syari’at islam.
2.      Mengecualikan keadaan ihram pada hewan buruan atau berada ditanah haram.
3.      Bolehnya melakukan berburu binatang bagi seorang yang tidak dalam keadaan ihram ditanah haram.[25]














BAB  III
                                                         PENUTUP      
A.    Kesimpulan
1.      Berburu ialah membidik hewan yang liar yang tidak dimiliki oleh orang lain dari tempat persembunyian.
2.      Adapun hukum berburu diperkenankan, kecuali bagi seorang yang sedang melaksanakan ihram, Haji dan Umrah.
3.      Dalil al-Qur’an yang mendasari kebolehan berburu ialah surat al-Baqarah ayat: 1-2.
B.     Saran
      Meskipun dari proses telaah sudah menghasilkan kebolehan berburu, saran kami dalam berburu haruslah dengan etika yang baik, jangan sampai menyiksa hewan dalam pemburuan .



















DAFTAR PUSTAKA
Ibn Umar Ibn Hasan Ibn Husain Al-Taimi Al-Rasy ( Fahruddin Al-Rasy), Abu Abdillah Muhammad.  tafsir al-rasy, Juz. 5. Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani.
Muhammad Bin Abdum Mu’in, Abu Bakar Bin . Kifayah al-akhyar, juz. 1. Maktabah Syamile, Isdar al-Tsani.
Al-khatib,  Adbul Karim. Al-Tafsir Al-Qur’an Li Al-Qur’an, Juz. 3. (Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani). Hlm. 1024.
Mustafa al-Maraghi, Ahmad. Tafsir Al-Maraghi,Juz. 10. Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani.
Zainuddin, Ahmad. Tarjemah Al-Qur’an Bi Lugh Al-Malaisia, Juz. 1. Maktabah Syamile, isdar al-tsani.
Al-Hafidz Al-Mundziri & Saikh Muhammad Nasiruddin Al-Bani, Mukhtashar Shahih Muslim, Sofwer Ebook.
Majmu’ah Al-Mukminin, Wizarah Al-Auqhaf Wa Al-Shu’un Al-Islami Al-Mausu’ah Al-fiqhyah Al-khutubiyah, Juz. 28 Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani.
Al-Ibyari, Ibrahim. al-Mausu’ah al-Qur’aniyah, Juz. 1. Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani.
Al-Sayis, Muhammad Ali. Tafsir ayat Al-Ahkam, Juz. 1. (Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani.
Shihab, M.Quraish. Tafsir Al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an, Juz. 3. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Musthafa khan & Musthafa al-bagha, Fiqh Manhaji, Juz 3. Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani.
Mustafa Az-Zuhaili, Wahbah Bin. Tafsir Munir, Juz. 6. Libanon: Darl Al-Fikr, tt.
Zainal Abiding Munawwir & Ali Ma’sum, Kamus Al Munawwir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Chairam.blogspot.com.


[1]  Majmu’ah Al-Mukminin, Wizarah Al-Auqhaf Wa Al-Shu’un Al-Islami, Al-mausu’ah Al-fiqhyah Al-Khutubiyah, Juz, 28 (Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani). Hlm. 113.
[2] Musthafa Khan & Musthafa Al-Bagha, Fiqh Manhaji, Juz 3,(Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani) Hlm.33.
[3] Al-Hafidz Al-Mundziri & Saikh Muhammad Nasiruddin Al-Bani, Mukhtashar Shahih Muslim, (Sofwer Ebook), Kitab 38.
[4] kata ini merupakan bentuk majhul dari احل , yang merupakn asal dari kata حل
[5] الانعام   kata jamak dari نعم  dengan dua fathah, yang arti pada umumnya adalah unta, namun yang dikehendaki dalam hal ini ialah mencakup unta, sapi dan kambing. Lihat. Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir ayat Al-Ahkam, Juz. 1. (Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani). Hlm. 339.
[6] Ini merupakan alat pengecualian (adat al-istisna’)
[7] Status ما  dalam ayat ini dibaca nasab menjadi istisna’ dari lafad بهيمة  atau di baca rafa’ menjadi sifat ddari lafad بهيمة. Hal ini lihat. Wahbah Bin Mustafa Az-Zuhaili, Tafsir Munir, Juz. 6, (maktabah syamile, isdar al-tsani). Hlm. 63.   
[8] Status lafad    غير menjadi hal dari lafad sebelumnya yaitu lafad اوفوا  . lihat. Ibrahim Al-Ibyari, al-Mausu’ah al-Qur’aniyah, Juz. 1, (Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani).hlm. 1427.   
[9] Bentuk ketiga dari kata صاد
[10] Lafad وانتم حرم  merupakan jumlah ismiah dengan mahal nasab atas menjadi hal dari dhomir fa’il محلي. lihat pada tafsir munir. Hlm. 63.
[11] Kata penguat yang mempunyai banyak saudara.
[12] Bentuk kedua dari kata hakama
[13] Bentuk kedua dari kata اراد
[14] Asal kata dari halala yang bersambung dengan domir rafa’mutaharriq
[15] Chairam.blogspot.com. diakses tanggal 20/05.2016.
[16] Wahbah Bin Mustafa Az-Zuhaili, Tafsir Munir, Juz. 6. Libanon: darl al-fikr, tt.). Hlm.  63.
[17] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,Juz. 10. (Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani). Hlm. 110.
[18] Ahmad Zainuddin, Tarjemah Al-Qur’an Bi Lugh Al-Malaisia, Juz. 1. (maktabah syamile, isdar al-tsani). Hlm. 221.
[19] M.Quraish Shihab, tafsir al-misbah: pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an, Juz. 3. (jakarta: lentera hati, 2002). Hlm. 7-8.
[20] Adbul Karim al-khatib, Al-Tafsir Al-Qur’an Li Al-Qur’an, Juz. 3. (Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani). Hlm. 1024.
[21] Wahbah Bin Mustafa Az-Zuhaili, Tafsir Munir, Juz. 6. Libanon: darl al-fikr, tt.). Hlm. 68.
[22] Ibid. Hlm. 73-74.
[23] Abu Abdillah Muhammad Ibn Umar Ibn Hasan Ibn Husain Al-Taimi Al-Rasy ( Fahruddin Al-Rasy), tafsir al-rasy, Juz. 5. (Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani).hlm. 460.
[24] Abu bakar bin Muhammad bin abdum mu’in, Kifayah al-akhyar, juz. 1. (Maktabah Syamile, Isdar al-Tsani). Hlm. 677.
[25] Wahbah Bin Mustafa Az-Zuhaili, Tafsir Munir, Juz. 6. Libanon: Darl Al-Fikr, tt.). Hlm. 70.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar