Senin, 24 April 2017



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Manusia bukanlah makhluk yang sempurna. Manusia saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Apalagi dalam hubungan bisnis yang sangat membutuhkan hubungan antar satu dengan yang lainnya, karena bisnis merupakan kegiatan yang butuh banyak hubungan untuk menjalankannya. Namun tidak selamanya manusia memiliki apa yang dibutuhkan, maka untuk mengatasi kekurangan tersebut manusia dapat melakukan hal yang namanya menyewa, baik itu barang, tenaga, dan lain-lainnya.
Sebagai kaum muslim landasan utama dalam melakukan tindakan adalah al-Qur’an.  Al-Qur’an memberikan peraturan kepada umat Islam agar kegiatan yang dilakukan berjalan sesuai yang diinginkan Tuhan dan tentunya mendapatkan pahala. Mengenai ijarah (sewa) tersebut dalam al-Qur’an terdapat ayat yang memberikan hukum tentangnya yaitu surat al-Baqarah ayat 233. Namun untuk memahami ayat tersebut diperlukan beberapa komponen ilmu yang lain seperti tafsir, asbabun nuzul, mufradat, musabah, dan lain sebaginya. Oleh karena itu ayat tersebut akan dibahas dalam bab berikutnya.

B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas penulis merumuskan beberapa masalagh sebagai berikut:
1.    Apa pengertian Ijarah?
2.    Bagaimana bunyi dalil surat al-Baqarah ayat 233?
3.    Bagaimana terjemah ayat tersebut?
4.    Apa makna mufradat ayat tersebut?
5.    Apa munasabah ayat tersebut dengan ayat lainnya?
6.    Bagaimana asbab an-Nuzulnya?
7.    Bagaimana tafsir ayat tersebut?
8.    Apa kandungan hukum ayat tersebut?
9.    Apa hikmah ijarah?

C.      Tujuan Masalah
dari rumusan masalah di atas penulis memiliki beberapa tujuan yang dicapai, yaitu:
1.    Ingin mengetahui pengertian ijarah
2.    Ingin mengetahui bunyi dalil surat al-Baqarah ayat 233
3.    Ingin mengetahui terjemah ayat tersebut
4.    Ingin mengetahui mufradat ayat tersebut
5.    Ingin mengetahui munasabah ayat tersebut dengan ayat lainnya
6.    Ingin mengetahui asbab an-Nuzulnya
7.    Ingin mengetahui tafsir ayat tersebut
8.    Ingin mengetahui kandungan hukum ayat tersebut
9.    Ingin mengetahui hikmah ijarah

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Ijarah
Al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut  bahasanya ialah al-‘iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya ganti dan upah.
Sedangkan menurut istilah, ulama berbeda-beda mendefinisikan ijarah, antara lain adalah sebagai berikut:
1.    menurut Hanafiyah ijarah ialah: “akad untuk membolehkan pemilikan yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.”
2.    Menurut Malikiyah bahwa ijarah ialah: “Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan.”
3.    Menurut syaikh Syihab al-Din dan syaikh Umairah bahwa yang dimaksud dengan ijarah ialah: “Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memenuhi dan membolehkan dengan imbalan ynag diketahui ketika itu.”
4.    Menurut Muhammad al-Syarbini al-Khatib bahwa yang dimaksud dengan ijarah adalah: “Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat.”[1]

B.       Naskah Ayat Q.S. Al-Baqarah 2 : 233
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَۗوَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ لاَ تُكَلِّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُوْدٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَ فِصَالاً عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُّمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوْا أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا أَتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ 



C.      Terjemah
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli warispun (berkewajiban) seperti itu pula apabila keduanya ingin dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak akan dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan.”[2]

D.      Makna Mufradat
وَالْوَالِدَاتُ
Dan para ibu
يُرْضِعْنَ
Menyusui
أَوْلاَدَهُنَّ
Anak anak mereka
حَوْلَيْنِ
Dua tahun
كَامِلَيْنِ
Sempurna
لِمَنْ
Bagi siapa yang
أَرَادَ
Menghendaki
أَنْ يُتِمَّ
Menyempurnakan
الرَّضَاعَةَ
Penyusuan
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ
Dan atas seorang ayah
رِزْقُهُنَّ
Rizki mereka
وَكِسْوَتُهُنَّ
Dan pakaian mereka
بِالْمَعْرُوْفِ
Dengan cara yang baik
لاَ تُكَلِّفُ
Tidak di bebani
نَفْسٌ
Seseorang
إِلاَّ
Melainkan
وُسْعَهَا
Menurut kesanggupannya
لاَ تُضَارَّ
Tidak menderita
وَالِدَةٌ
Seorang ibu
بِوَلَدِهَا
Karena anaknya
وَلاَ مَوْلُوْدٌ لَهُ
Dan tidak pula seorang ayah
بِوَلَدِهِ
Karena anaknya
وَعَلَى الْوَارِثِ
Dan atas ahli waris
مِثْلُ
Seperti
ذَلِكَ
Demikian
فَإِنْ
Maka jika
أَرَادَ
Keduanya ingin
فِصَالاً
Menyapih
عَنْ تَرَاضٍ
Dengan kerelaan
مِنْهُمَا
Dari keduanya
وَتَشَاوُرٍ
Dan musyawarah
فَلاَ جُنَاحَ
Maka tidak ada dosa
عَلَيْهِمَا
Atas keduanya
وَإِنْ
Dan jika
أَرَدْتُّمْ
Kalian menginginkan
أَنْ تَسْتَرْضِعُوْا
Menyusukan
أَوْلاَدَكُمْ
Anak anak kalian
فَلاَ جُنَاحَ
Maka tidak ada dosa
عَلَيْكُمْ
Atas kalian
إِذَا
Apabila
سَلَّمْتُمْ
Kalian menyerahkan
مَا
Apa yang
أَتَيْتُمْ
Kalian berikan
بِالْمَعْرُوْفِ
Dengan cara yang patut
وَاتَّقُوا اللهَ
Dan bertaqwalah kepada Allah
وَاعْلَمُوا
Dan ketahuilah
أَنَّ اللهَ
Bahwasanya Alllah
بِمَا
Dengan apa yang
تَعْمَلُوْنَ
Kalian kerjakan
بَصِيْرٌ 
Maha melihat[3]

E.       Munasabah Ayat
Munasabah al-Baqarah 233 pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan tentang hukum-hukum yang berhubungan dengan nikah, talaq, iddah, rujuk, dan hal-hal yang menghalangi pernikahan. Pada ayat ini dijelaskan hukum radha’ah (penyusuan) sebagai konsekuensi talaq yang terkadang terjadi perpisahan jauh antara suami dan istri, dan perempuan yang ditalaq tersebut mempunyai anak kecil yang sedang menyusu.
Para perempuan terkadang mengabaikan anak kecil bahkan melarangnya menyusui sebagai pelampiasan dendam kepada mantan suaminya. Perbuatan thalaq yang telah dilakukan tersebut tidak bisa menghapuskan hubungan nashab antara seorang ibu dengan seorang anak. Sehingga kewajiban seorang ibu pada anaknya yang masih dalam masa penyusuan adalah tanggung jawab yang tidak bisa dipungkiri (ditinggalkan) karena kasih sayang seorang ibu merupakan poin penting yang sangat berpengaruh pada perilaku anak nantinya.[4]
Ayat tersebut juga berhubungan dengan surah al-Thalaq ayat 6 yang artinya: “Jika mereka menyusukan anakmu, maka berilah upah mereka”. Selain ayat tersebut, ijarah juga diterangkan dalam hadits nabi yang berbunyi: “Berikanlah olehmu uah orang sewaan sebelum keringatnya kering” (Riwayat Ibnu Majah). Juga dalam hadits lain “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”. (Riwayat Bukhari dan Muslim)[5]

F.       Asbab an-Nuzul
Ayat ini turun (asbabunnuzul) sebagai petunjuk atas beberapa peristiwa yang dianggap melecehkan posisi bayi pada zaman jahiliyah. Sehingga dibutuhkan penegasan (petunjuk) atas perilaku kasih sayang kepada seorang anak lewat penyusuan. Setiap ibu (meskipun janda) berkewajiban menyusui anaknya sampai mencapai usia dua tahun. Kalau dikurangi dari masa tersebrut apabila kedua ibu bapak memandang ada masalahnya.
     Terhadap penyempurnaan susuan selama dua tahun surat al-baqarah 233, beberapa ulama menberikan penafsiran sebagai berikut:
1.    Kata haulaini kamilaini oleh Abi Thohir bin Ya’qub diartikan sebagai 2 tahun yang benar benar sempurna. Dan itu diperuntukkan atas penyusuan anak-anaknya kepada seorang ayah (ya’ni ‘ala al-Ab). Dengan demikian, seorang ibu tidak terlau mengambil resiko dan tidak terlalu bertanggung jawab secara penuh dalam memberikan penyusuan kepada bayinya itu.
2.    Kedudukan ayat haulaini kamilaini menurut Abi Fadl Shihabuddin adalah sebagai tarkib, dimana haulaini sebagai mashuf dan kamilaini sebagai shifat-nya. Maka tidak salah mana kala hal ini terjadi petunjuk waktu bahwa kasih sayang kepada anak dalam bentuk penyusuan dianggap sebagai hal krusial yang selanjutnya akan mendapatkan penjelasan persoalan waktu penyusuan yang ideal.[6]

G.      Tafsir Ayat
Dalam tafsir Jalalayn, menafsirkan ayat ini dengan, (para ibu menyusukan), maksudnya hendaklah menyusukan (anak-anak mereka selama dua tahun penuh) sifat yang memperkuat, (yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan) dan tidak perlu ditambah lagi. (Dan kewajiban yang diberi anak) maksudnya bapak (memberi mereka [para ibu] sandang pangan). Sebagai imbalan menyusui itu, yakni jika mereka diceraikan (secara makruf), artinya menurut kesanggupannya. (Setiap diri itu tidak dibebani kecuali menurut kadar kemampuannya, maksudnya kesanggupannya. (Tidak boleh seorang ibu itu menderita kesengsaraan disebabkan anaknya) misalnya dipaksa menyusukan padahal ia keberatan (dan tidak pula seorang ayah karena anaknya), misalnya diberi beban di atas kemampuannya. Mengdhifatkan anak kepada masing-masing ibu dan bapak pada kedua tempat tersebut ialah untuk mengimbau keprihatinan dan kesantunan (dan ahli warispun) ahli waris dari bapaknya, yaitu anak yang masih bayi dan di sini ditujukan kepada wali yang mengatur hartanya (berkewajiban seperti demikian), artinya seperti kewajiban bapaknya memberi ibunya sandang pangan. (Apabila keduanya ingin), maksudnya ibu bapaknya (menyapih) sebelum masa dua tahun dan timbul (dari kerelaan) atau persetujuan (keduanya dan hasil musyawarah) untuk mendapatkan kemaslahatan si bayi, (Maka keduanya tidaklah berdosa) atas demikian itu. (Dan jika kamu ingin) ditujukan kepada pihak bapak (anakmu disusukan oleh orang lain) dan bukan oleh ibunya, (maka tidaklah kamu berdosa) dalam hal itu (jika kamu menyerahkan) kepada orang yang menyusukan (pembayaran upahnya) atau upah yang hendak kamu bayarkan (menurut yang patut) secara baik-baik dengan kerelaan hati. (Dan bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha melihat yang kamu kerjakan) hingga tiada satupun yang tersembunyi bagi-Nya.[7]

H.      Kandungan Hukum
Terdapat beberapa kandungan hukum di dalam ayat ini, namun kami akan fokus terhadap kepada hukum seorang suami yang harus memberikan nafkah kepada seorang istri, baik dalam ikatan nikah atau sudah bercerai, namun memiliki seorang anak dari pernikahan tersebut yang masih membutuhkan air susu dari seorang ibu.
Seorang suami harus tetap memberikan kewajibannya berupa hafkah harta kepada istri, lebih-lebih dalam perikatan pernikahan. Namun jika suami istri bercerai dan memiliki anak yang masih harus diberikan air susu, maka suami harus memberikan upah yang patut kepada orang yang menyusuinya, baik itu mantan istrinya maupun orang lain yang dimintai tolong untuk menyusui bayi tersebut.

I.         Hikmah Ijarah
1.    Dengan adanya ijarah akan mampu membina kerjasama antara mu’jir dan musta’jir
2.    Dengan mengetahui tata cara upah-mengupah dalam ijarah, maka musta’jir dapat memenuhi nafkah keluarga
3.    Dengan adanya transaksi ijarah khususnya tentang pemakaian jasa, maka akan mampu memenuhi hajat hidup masyarakat baik yang ikut bekerja maupun yang menikmati proyek
4.    Disini pada intinya hikmah ijarah yaitu untuk memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnyya sehari-hari.















BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Ijarah merupakan hak pemanfaatan barang atau jasa dengan upah yang harus diberikan oleh orang yang menggunakan barang atau jasa kepada orang yang mempunyai barang atau jasa tersebut. Dengan demikian ijarah bukanlah perpindahan hak kepemilikian namun diberikannya hak untuk menngunakan manfaat dari suatu barang atau jasa.
Dari contoh ayat di atas, bahkan seorang perempuan yang menyussi seorang bayi harus diberikan haknya karena telah rela memberikan air susunya kepada sang bayi.


DAFTAR PUSTAKA

Karim, Adiwarman A. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009.
Kementrian Agama R.I. Al-Qur’an dan Terjemah. Bandung: Semesta Al-Qur’an, 2013.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Press, 2010.
http://library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=4025


[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 114.
[2]Kementrian Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemah (Bandung: Semesta Al-Qur’an, 2013), hlm. 37.
[3] Ibid, hlm. 37.
[4] http://noe2warits.blogspot.co.id/2010/02/radhaah.html?m=1
[5] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 114.
[6] http://library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=4025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar