BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia bukanlah makhluk yang sempurna. Manusia
saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Apalagi dalam hubungan bisnis
yang sangat membutuhkan hubungan antar satu dengan yang lainnya, karena bisnis
merupakan kegiatan yang butuh banyak hubungan untuk menjalankannya. Namun tidak
selamanya manusia memiliki apa yang dibutuhkan, maka untuk mengatasi kekurangan
tersebut manusia dapat melakukan hal yang namanya menyewa, baik itu barang,
tenaga, dan lain-lainnya.
Sebagai kaum muslim landasan utama dalam melakukan
tindakan adalah al-Qur’an. Al-Qur’an
memberikan peraturan kepada umat Islam agar kegiatan yang dilakukan berjalan
sesuai yang diinginkan Tuhan dan tentunya mendapatkan pahala. Mengenai ijarah
(sewa) tersebut dalam al-Qur’an terdapat ayat yang memberikan hukum tentangnya
yaitu surat al-Baqarah ayat 233. Namun untuk memahami ayat tersebut diperlukan
beberapa komponen ilmu yang lain seperti tafsir, asbabun nuzul, mufradat,
musabah, dan lain sebaginya. Oleh karena itu ayat tersebut akan dibahas dalam
bab berikutnya.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas penulis merumuskan
beberapa masalagh sebagai berikut:
1. Apa
pengertian Ijarah?
2. Bagaimana
bunyi dalil surat al-Baqarah ayat 233?
3. Bagaimana
terjemah ayat tersebut?
4. Apa
makna mufradat ayat tersebut?
5. Apa
munasabah ayat tersebut dengan ayat lainnya?
6. Bagaimana
asbab an-Nuzulnya?
7. Bagaimana
tafsir ayat tersebut?
8. Apa
kandungan hukum ayat tersebut?
9. Apa
hikmah ijarah?
C. Tujuan Masalah
dari rumusan masalah di atas penulis memiliki
beberapa tujuan yang dicapai, yaitu:
1. Ingin
mengetahui pengertian ijarah
2. Ingin
mengetahui bunyi dalil surat al-Baqarah ayat 233
3. Ingin
mengetahui terjemah ayat tersebut
4. Ingin
mengetahui mufradat ayat tersebut
5. Ingin
mengetahui munasabah ayat tersebut dengan ayat lainnya
6. Ingin
mengetahui asbab an-Nuzulnya
7. Ingin
mengetahui tafsir ayat tersebut
8. Ingin
mengetahui kandungan hukum ayat tersebut
9. Ingin
mengetahui hikmah ijarah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijarah
Al-ijarah berasal dari kata al-ajru
yang arti menurut bahasanya ialah al-‘iwadh
yang arti dalam bahasa Indonesianya ganti dan upah.
Sedangkan menurut istilah, ulama berbeda-beda
mendefinisikan ijarah, antara lain adalah sebagai berikut:
1. menurut
Hanafiyah ijarah ialah: “akad untuk membolehkan pemilikan yang diketahui dan
disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.”
2. Menurut
Malikiyah bahwa ijarah ialah: “Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang
bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan.”
3. Menurut
syaikh Syihab al-Din dan syaikh Umairah bahwa yang dimaksud dengan ijarah
ialah: “Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memenuhi dan
membolehkan dengan imbalan ynag diketahui ketika itu.”
4. Menurut
Muhammad al-Syarbini al-Khatib bahwa yang dimaksud dengan ijarah adalah:
“Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat.”[1]
B. Naskah Ayat Q.S. Al-Baqarah 2 : 233
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ
الرَّضَاعَةَۗوَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
لاَ تُكَلِّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ
مَوْلُوْدٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَ
فِصَالاً عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ
أَرَدْتُّمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوْا أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا
سَلَّمْتُمْ مَا أَتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
C. Terjemah
“Dan
ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin
menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian
mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula
seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli warispun (berkewajiban) seperti
itu pula apabila keduanya ingin dengan persetujuan dan permusyawaratan antara
keduanya, maka tidak akan dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan
anakmu kepada orang lain maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran
dengan cara yang patut bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha
melihat apa yang kamu kerjakan.”[2]
D. Makna Mufradat
وَالْوَالِدَاتُ
|
Dan
para ibu
|
يُرْضِعْنَ
|
Menyusui
|
أَوْلاَدَهُنَّ
|
Anak
anak mereka
|
حَوْلَيْنِ
|
Dua
tahun
|
كَامِلَيْنِ
|
Sempurna
|
لِمَنْ
|
Bagi
siapa yang
|
أَرَادَ
|
Menghendaki
|
أَنْ يُتِمَّ
|
Menyempurnakan
|
الرَّضَاعَةَ
|
Penyusuan
|
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ
|
Dan
atas seorang ayah
|
رِزْقُهُنَّ
|
Rizki
mereka
|
وَكِسْوَتُهُنَّ
|
Dan
pakaian mereka
|
بِالْمَعْرُوْفِ
|
Dengan
cara yang baik
|
لاَ تُكَلِّفُ
|
Tidak
di bebani
|
نَفْسٌ
|
Seseorang
|
إِلاَّ
|
Melainkan
|
وُسْعَهَا
|
Menurut
kesanggupannya
|
لاَ تُضَارَّ
|
Tidak
menderita
|
وَالِدَةٌ
|
Seorang
ibu
|
بِوَلَدِهَا
|
Karena
anaknya
|
وَلاَ مَوْلُوْدٌ لَهُ
|
Dan
tidak pula seorang ayah
|
بِوَلَدِهِ
|
Karena
anaknya
|
وَعَلَى الْوَارِثِ
|
Dan
atas ahli waris
|
مِثْلُ
|
Seperti
|
ذَلِكَ
|
Demikian
|
فَإِنْ
|
Maka
jika
|
أَرَادَ
|
Keduanya
ingin
|
فِصَالاً
|
Menyapih
|
عَنْ تَرَاضٍ
|
Dengan
kerelaan
|
مِنْهُمَا
|
Dari
keduanya
|
وَتَشَاوُرٍ
|
Dan
musyawarah
|
فَلاَ جُنَاحَ
|
Maka
tidak ada dosa
|
عَلَيْهِمَا
|
Atas
keduanya
|
وَإِنْ
|
Dan
jika
|
أَرَدْتُّمْ
|
Kalian
menginginkan
|
أَنْ تَسْتَرْضِعُوْا
|
Menyusukan
|
أَوْلاَدَكُمْ
|
Anak
anak kalian
|
فَلاَ جُنَاحَ
|
Maka
tidak ada dosa
|
عَلَيْكُمْ
|
Atas
kalian
|
إِذَا
|
Apabila
|
سَلَّمْتُمْ
|
Kalian
menyerahkan
|
مَا
|
Apa
yang
|
أَتَيْتُمْ
|
Kalian
berikan
|
بِالْمَعْرُوْفِ
|
Dengan
cara yang patut
|
وَاتَّقُوا اللهَ
|
Dan
bertaqwalah kepada Allah
|
وَاعْلَمُوا
|
Dan
ketahuilah
|
أَنَّ اللهَ
|
Bahwasanya
Alllah
|
بِمَا
|
Dengan
apa yang
|
تَعْمَلُوْنَ
|
Kalian
kerjakan
|
بَصِيْرٌ
|
Maha
melihat[3]
|
E. Munasabah Ayat
Munasabah al-Baqarah 233 pada ayat sebelumnya Allah
menjelaskan tentang hukum-hukum yang berhubungan dengan nikah, talaq, iddah,
rujuk, dan hal-hal yang menghalangi pernikahan. Pada ayat ini dijelaskan hukum
radha’ah (penyusuan) sebagai konsekuensi talaq yang terkadang terjadi
perpisahan jauh antara suami dan istri, dan perempuan yang ditalaq tersebut
mempunyai anak kecil yang sedang menyusu.
Para perempuan terkadang mengabaikan anak kecil
bahkan melarangnya menyusui sebagai pelampiasan dendam kepada mantan suaminya. Perbuatan
thalaq yang telah dilakukan tersebut tidak bisa menghapuskan hubungan nashab
antara seorang ibu dengan seorang anak. Sehingga kewajiban seorang ibu pada
anaknya yang masih dalam masa penyusuan adalah tanggung jawab yang tidak bisa
dipungkiri (ditinggalkan) karena kasih sayang seorang ibu merupakan poin
penting yang sangat berpengaruh pada perilaku anak nantinya.[4]
Ayat tersebut juga berhubungan dengan surah
al-Thalaq ayat 6 yang artinya: “Jika mereka menyusukan anakmu, maka berilah
upah mereka”. Selain ayat tersebut, ijarah juga diterangkan dalam hadits nabi
yang berbunyi: “Berikanlah olehmu uah orang sewaan sebelum keringatnya kering”
(Riwayat Ibnu Majah). Juga dalam hadits lain “Berbekamlah kamu, kemudian
berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”. (Riwayat Bukhari dan
Muslim)[5]
F. Asbab an-Nuzul
Ayat ini turun (asbabunnuzul) sebagai
petunjuk atas beberapa peristiwa yang dianggap melecehkan posisi bayi pada
zaman jahiliyah. Sehingga dibutuhkan penegasan (petunjuk) atas perilaku kasih
sayang kepada seorang anak lewat penyusuan. Setiap ibu (meskipun janda)
berkewajiban menyusui anaknya sampai mencapai usia dua tahun. Kalau dikurangi
dari masa tersebrut apabila kedua ibu bapak memandang ada masalahnya.
Terhadap
penyempurnaan susuan selama dua tahun surat al-baqarah 233, beberapa ulama
menberikan penafsiran sebagai berikut:
1. Kata
haulaini kamilaini oleh Abi Thohir bin Ya’qub diartikan sebagai 2 tahun
yang benar benar sempurna. Dan itu diperuntukkan atas penyusuan anak-anaknya
kepada seorang ayah (ya’ni ‘ala al-Ab). Dengan demikian, seorang ibu
tidak terlau mengambil resiko dan tidak terlalu bertanggung jawab secara penuh
dalam memberikan penyusuan kepada bayinya itu.
2. Kedudukan
ayat haulaini kamilaini menurut Abi Fadl Shihabuddin adalah sebagai
tarkib, dimana haulaini sebagai mashuf dan kamilaini
sebagai shifat-nya. Maka tidak salah mana kala hal ini terjadi petunjuk
waktu bahwa kasih sayang kepada anak dalam bentuk penyusuan dianggap sebagai
hal krusial yang selanjutnya akan mendapatkan penjelasan persoalan waktu
penyusuan yang ideal.[6]
G. Tafsir Ayat
Dalam tafsir Jalalayn, menafsirkan ayat ini dengan,
(para ibu menyusukan), maksudnya hendaklah menyusukan (anak-anak mereka selama
dua tahun penuh) sifat yang memperkuat, (yaitu bagi orang yang ingin
menyempurnakan penyusuan) dan tidak perlu ditambah lagi. (Dan kewajiban yang
diberi anak) maksudnya bapak (memberi mereka [para ibu] sandang pangan).
Sebagai imbalan menyusui itu, yakni jika mereka diceraikan (secara makruf),
artinya menurut kesanggupannya. (Setiap diri itu tidak dibebani kecuali menurut
kadar kemampuannya, maksudnya kesanggupannya. (Tidak boleh seorang ibu itu
menderita kesengsaraan disebabkan anaknya) misalnya dipaksa menyusukan padahal
ia keberatan (dan tidak pula seorang ayah karena anaknya), misalnya diberi
beban di atas kemampuannya. Mengdhifatkan anak kepada masing-masing ibu dan
bapak pada kedua tempat tersebut ialah untuk mengimbau keprihatinan dan
kesantunan (dan ahli warispun) ahli waris dari bapaknya, yaitu anak yang masih
bayi dan di sini ditujukan kepada wali yang mengatur hartanya (berkewajiban
seperti demikian), artinya seperti kewajiban bapaknya memberi ibunya sandang
pangan. (Apabila keduanya ingin), maksudnya ibu bapaknya (menyapih) sebelum
masa dua tahun dan timbul (dari kerelaan) atau persetujuan (keduanya dan hasil
musyawarah) untuk mendapatkan kemaslahatan si bayi, (Maka keduanya tidaklah
berdosa) atas demikian itu. (Dan jika kamu ingin) ditujukan kepada pihak bapak
(anakmu disusukan oleh orang lain) dan bukan oleh ibunya, (maka tidaklah kamu
berdosa) dalam hal itu (jika kamu menyerahkan) kepada orang yang menyusukan
(pembayaran upahnya) atau upah yang hendak kamu bayarkan (menurut yang patut)
secara baik-baik dengan kerelaan hati. (Dan bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah maha melihat yang kamu kerjakan) hingga tiada satupun
yang tersembunyi bagi-Nya.[7]
H. Kandungan Hukum
Terdapat beberapa kandungan hukum di dalam ayat ini,
namun kami akan fokus terhadap kepada hukum seorang suami yang harus memberikan
nafkah kepada seorang istri, baik dalam ikatan nikah atau sudah bercerai, namun
memiliki seorang anak dari pernikahan tersebut yang masih membutuhkan air susu
dari seorang ibu.
Seorang suami harus tetap memberikan kewajibannya
berupa hafkah harta kepada istri, lebih-lebih dalam perikatan pernikahan. Namun
jika suami istri bercerai dan memiliki anak yang masih harus diberikan air
susu, maka suami harus memberikan upah yang patut kepada orang yang
menyusuinya, baik itu mantan istrinya maupun orang lain yang dimintai tolong
untuk menyusui bayi tersebut.
I.
Hikmah
Ijarah
1.
Dengan adanya
ijarah akan mampu membina kerjasama antara mu’jir dan musta’jir
2.
Dengan
mengetahui tata cara upah-mengupah dalam ijarah, maka musta’jir dapat memenuhi
nafkah keluarga
3.
Dengan adanya
transaksi ijarah khususnya tentang pemakaian jasa, maka akan mampu memenuhi
hajat hidup masyarakat baik yang ikut bekerja maupun yang menikmati proyek
4.
Disini pada
intinya hikmah ijarah yaitu untuk memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnyya sehari-hari.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijarah merupakan hak pemanfaatan barang atau jasa
dengan upah yang harus diberikan oleh orang yang menggunakan barang atau jasa
kepada orang yang mempunyai barang atau jasa tersebut. Dengan demikian ijarah
bukanlah perpindahan hak kepemilikian namun diberikannya hak untuk menngunakan
manfaat dari suatu barang atau jasa.
Dari contoh ayat di atas, bahkan seorang perempuan
yang menyussi seorang bayi harus diberikan haknya karena telah rela memberikan
air susunya kepada sang bayi.
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Adiwarman A. Bank Islam
Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009.
Kementrian Agama R.I. Al-Qur’an
dan Terjemah. Bandung: Semesta Al-Qur’an, 2013.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta:
Rajawali Press, 2010.
http://library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=4025
[1] Hendi Suhendi,
Fiqh Muamalah (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 114.
[2]Kementrian
Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemah (Bandung: Semesta Al-Qur’an, 2013),
hlm. 37.
[3] Ibid, hlm. 37.
[4]
http://noe2warits.blogspot.co.id/2010/02/radhaah.html?m=1
[5] Hendi Suhendi,
Fiqh Muamalah (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 114.
[6]
http://library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=4025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar