Jumat, 18 November 2016



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Seiring dengan berkembangnya zaman yang mengakibatkan kebutuhan yang semakin berkembang, kita dituntut untuk kreatif dan cerdas dalam memenuhi kebutuhan. Di setiap Negara di dunia pati membutuhkan bantuan dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan akan enis suatu barang. Mengingat mata uang disatu negara tak berlaku di negara lain, maka dibutuhkan alat transaksi yang dapat diterima oleh negara lain. Kini alat transaksi yang mampu diterima d negara lain sudah kita kenal dengan sebutan valas (vluta asing), sedangkan tempat terjadinya transaksi jual beli valas (valuta asing) biasa kita kenal dengan pasar valuta asing.
B.       Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian valuta asing?
2.    Apa saja prinsip yang boleh dilakukan dalam pasar jual beli mata uang?
3.    Apa saja landasan yang menjelaskan tentang valuta asing?
C.      Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui tenang pengertian valuta asing
2.    Untuk mengetahui prinsip yang diperbolehkan dalam jual beli
3.    Untuk mengetahui landasan apa saja yang membahas tentang valuta asing







BAB II
PEMBAHASAN
A.      PENGERTIAN VALUTA ASING
Valuta asing merupakan mata uang luar negeri yang digunakan setelah terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing sebagai alat pembayaran luar negeri yang  dalam dunia perdagangn disebut devisa.[1]
Sedangkan tempat terjadinya valuta asing kita sebut dengan pasar valuta asing. Pasar valuta asing (valas) atau sering disebut  foreign erchange market merupakan pasar dimana transaksi valuta asing dilakukan baik antara negara maupun dalam suatu negara. Pasar valas adalah suatu mekanisme dimana orang dapat mentransfer daya beli antar negara, memperoleh atau menyediakan kredit untuk transaksi perdagangan internasional, dan meminimalkan kemungkinan resiko kerugian (exposure risk) akibat terjadinya fluktuasi kurs suatu mata uang.
Transaksi valas dapat dilakukan oleh suatu badan atau perusahaan secara perorangan dengan berbagai tujuan. Dalam setiap kali melakukan transaksi valas, maka digunakan kurs (nilai tukar). Nilai tukar ini dapat berubah sesuai kondisi dari waktu ke waktu yang disebabkan oleh berbagai faktor. Terjadinya fluktuasi nilai tukar pada dasarnya tergantung pada keuatan pasar yang memengaruhi sisi permintaan dan penawaran suatu valuta atau mata uang asing. Perdagangan valuta asing dapat dianalogikan dan dikategorikan dengan pertukaran antara emas dan perak atau dikenal dalam terminologi fiqih dengan istilah (sharf) yang disepakati para ulama tentang keabsahannya. Emas dan perak sebagai mata uang tidak boleh ditukarkan dengan sejenisnya misalnya rupiah kepada rupiah (IDR) atau US dollar (USD) kepada dollar kecuali sama jumlahnya. Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dilakukan dengan ketentuan:
1.      Tidak spekulasi (untung-untungan).
2.      Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
3.      Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis, maka nilainya harus sama dengan secara tunai.
4.    Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.[2]
B.       Dalil Yang Mendasari Valuta Asing
Adapun dalil yang mendasari valuta asing adalah dari al-Qur’an dan Hadits yaitu:
1.        Dalil dari al-Qur’an, Qs. Al-Baqarah: 275
الَّذيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَوالاَيَقُومُوْنَ اِلاَّ كَماَ يَقُومُوْالَّذِ يْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَنُ مِنَ المَسِّ* ذَلِكَ  بِاَ نَّهُمْ قاَلُوْااِنَّمَاَالبَيْعُ مِسْلُ الرِّبَواوَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّباَ فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةُ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ {275}
Artinya: “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lan-taran (tekanan) penyakit gila. Yang demikan itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”[3]
2.    Dalil dari Hadits
إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولُ للَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ باِ لذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ باِالْفِضَّةِ وَالْبَرِّباِالْبَرّوَالشَّعِيْرِباِالشَّعِيْرِوَالتَّمْرِباِالتَّمْرِوَالْمِلْحِ باِالْمِلْحِ إِلَّ سَوَاءًبِسَوَاءٍعَيْناًبِعَيْنٍ فَمَنْ زَادَ أَوْازْدَادَ فَقَدْ أَرْبَى

Artinya:“Bahwasanya aku telah mendengar Rasulullah SAW. melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, tamar dengan tamar, gandum dengan gandum, syair dengan syair, garam dengan garam, kecuali satu rupa dengan satu rupa, dibayar tunai. Maka barangsiapa yang menambah atau meminta tambah, sesungguhnya dia telah melakukan riba.” (Riwayat Muslim)[4]
3.    Pendapat ulama’
Fatwa dewan syari’ah Nasional majelis ulama’ indonesia no.28/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli mata uang. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual beli mata uang, baik mata uang sejenis maupun antar mata uang lain jenis. Dalam tradisi perdagangan jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandangan ajaran islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lainnya. Agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang valuta asing untuk dijadikan pedoman.[5]
Dalam jual beli mata uang harus memenuhi syarat khusus, yaitu: tiada penundaan yang berarti harus tunai, dan tiada pelebihan uang berarti dengan syarat keseimbangan. Dalam jual beli mata uang asing ulama’ sepakat dengan syarat tunai tetapi mereka berbeda tentang waktu yang membatasi pengertian tunai ini. Imam Hanafi dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa jual beli mata uang terjadi secara tunai selama kedua belah pihak belum berpisah, baik penerimaannya itu segera atau lambat. Jadi penerimaannya bisa dengan perjanjian waktu tertentu. Berbeda dengan Imam Malik yang berpendapat bahwa jika penerimaan pada majlis  terlambat, maka jual beli itu batal, meski kedua belah pihak belum berpisah, karena ia tidak menyukai janji-janji di dalamnya.[6]
C.      Makna Mufradat dari Qs. Al-Baqarah: 275
الَّذِينَيَأْكُلُونَالرِّبَا
Orang-orang yang makan/ mengambil Riba
مَوْعِظَةٌمِنْرَبِّهِ
peringatan dari Allah
لايَقُومُونَ
tidak dapat berdiri
فَانْتَهَى
Lalu ia berhenti 
إِلَّاكَمَايَقُومُ
melainkan seperti berdirinya
فَلَهُ
maka  baginya  adalah 
الَّذِييَتَخَبَّطُهُالشَّيْطَانُ 
orang yang kemasukan syaitan
مَا سَلَفَ
apa  yang telah berlalu 
مِنَالْمَسّ
lantaran (tekanan) penyakit gila
وَأَمْرُهُ
dan urusannya  adalah  
ذَلِكَ
Keadaan mereka yang demikian itu
إِلَى اللَّهِ
kepada Allah
بِأَنَّهُمْقَالُوا
adalah  disebabkan mereka berkata (berpendapat)
وَمَنْ
barang siapa
إِنَّمَا الْبَيْعُ
sesungguhnya jual-beli itu
 عَادَ
yang kembali lagi
مِثْلُ الرِّبَا
sama dengan riba
فَأُولَئِكَ
maka  mereka  adalah
 وَأَحَلَّاللَّهُالْبَيْعَ
padahal Allah telah menghalalkan jual-beli
أَصْحَابُ النَّارِ
penghuni  neraka
وَحَرَّمَالرِّبَا 
dan mengharamkan riba
هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Mereka yang kekal di dalamnya
فَمَنْجَاءَهُ
Barang siapa yang datang kepadanya[7]



D.  Munasabah al-Ayat
Dari surat al-Baqarah ayat diatas Allah SWT memulai dengan menceritakan tentang orang-orang yang memakan riba dari harta kekayaan orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan, serta berbagai macam syubhat. Lalu Allah, mengibaratka keadaan meraka pada saat bangkit dan keluar dari kubur pada hari kebangkitan.[8]
E.  Asbab Al-Nuzul
Riwayat  dari  Ibnu  Abbas  mengatakan  bahwa  ayat  ini  turun kepada  Bani  Amru  bin  Umair  bin  Auf  bin  Tsaqif.  Adalah  Bani Mughirah  bin  Makhzum  mengambil  riba  dari  Bani  Amru  bin  Umair bin  Auf  bin  Tsaqif,  selanjutnya  mereka  melaporkan  hal  tersebut kepada Rasulullah SAW dan beliau melarang mereka melalui ayat ini untuk mengambil riba.
Berkata ‘Atho dan ‘Ikrimah  bahwasanya  ayat  ini  diturunkan kepada  Abbas  bin  Abdul  Mutholib  dan  Utsman  bin  Affan.  Adalah Rasulullah melarang keduanya untuk mengambil riba dari korma yang dipinjamkan  dan  Allah  SWT  menurunkan  ayat  ini  kepada  mereka, setelah mereka mendengar ayat ini mereka mengambil modal mereka saja tanpa mengambil ribanya.
Berkata  Sadi:  Ayat  ini  diturunkan  kepada  Abbas  dan  Khalid bin Walid. Mereka melakukan kerjasama pada masa Jahiliyah. Mereka meminjamkan  uang  kepada  orang-orang  dari  Bani  Tsaqif.  Ketika Islam  datang  mereka  memiliki  harta  berlimpah  yang  berasal  dari usaha riba, maka Allah menurunkan ayat :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Maka Nabi SAW bersabda:
“Ketahuilah setiap riba dari riba jahiliyah telah dihapuskan dan riba pertama yang saya hapus adalah riba Abbas bin Abdul Muthollib”.[9]
F.   Tafsir Ayat
Tatkala Allah menyebutkan tentang kondisi orang-orang yang bersedekah dan apa yang mereka dapatkan disisi Allah dari segala kebaikan dan digugurkannya kesalahan dan dosa-dosa mereka. Lalu Allah menyebutkan tentang orang-orang yang zhalim para pemakan riba dan memiliki muamalah yang licik, dan Allah mengabarkan bahwa mereka akan diberi balasan menurut perbuatan mereka. Untuk itu, sebagaimana mereka saat masih di dunia dalam mencari penghidupan yang keji seperti orang-orang gila, mereka disiksa di alam barzakh di hari kiamat, bahwa mereka tidak akan bangkit dari kubur mereka hingga hari Kebangkitan dan hari berkumpulnya makhluk, “melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila”. Maksud, dari kegilaan dan kerasukan itu adalah siksaan, penghinaan dan dipamerkannya segala dosanya, sebagai balasan untuk mereka atas segala bentuk riba mereka dan kelancangan mereka dengan berkata,”sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”. Mereka menyatukan dengan kelancangan mereka antara apa yang dihalalkan oleh Allah dengan apa yang diharamkan oleh-Nya hingga mereka membolehkan riba dengan dianggap suatu yang halal.[10]
G.      Kandungan Hukum
Allah menceritakan bahwa seorang pemakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat layaknya orang gila yang mengamuk seperti kesurupan setan. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas juga berkata pada hari kiamat akan dikatakan kepada pemakan riba, “Ambillah senjatamu untuk berperang! (Allah dan Rasul-Nya menantang mereka untuk berperang dengan-Nya dikarenakan mereka tidak berkenan untuk meninggalkan sisa riba dan mereka tidak memiliki senjata apapun selain berharap perlindungan dari azab Allah) Ibnu Abbas membaca ayat ke 275 dari surat Al Baqarah tersebut, lalu dikatakan juga hal itu terjadi pada saat mereka dibangkitkan dari kubur”.
Allah menegaskan bahwa telah dihalalkan jual-beli dan diharamkan riba. Orang-orang yang membolehkan riba dapat ditafsirkan sebagai pembantahan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Riba yang dahulu telah dimakan sebelum turunya firman Allah ini, apabila pelakunya bertobat, tidak ada kewajiban untuk mengembalikannya dan dimaafkan oleh Allah. Sedangkan bagi siapa saja yang kembali lagi kepada riba setelah menerima larangan dari Allah, maka mereka adalah penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya.[11]









BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
1.    Valuta asing merupakan mata uang luar negeri yang digunakan setelah terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing sebagai alat pembayaran luar negeri yang  dalam dunia perdagangn disebut devisa.
2.      -Tidak spekulasi (untung-untungan).
-Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
-Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis, maka nilainya harus sama dengan secara tunai.
-Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
3.      Dalil yang mendasari valuta asing adalah dari al-Qur’an Qs. Al-Baqarah: 275 dan Hadits.
B.       Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan yang menyebabkan makalah ini jauh dari kesempurnaan yang diharapkan. Oleh karena itu, penulis mengharap sumbang kritik dan saran yang membangun yang nantinya bermanfaat bagi penulis sendiri maupun seluruh pembaca.











DAFTAR PUSTAKA

Depardemen Agama RI. Al Qur’an Dan Terjemahannya hlm. 86-87.
Soemitra, Andri. 2009. Bank Lembaga Keuangan Syari’ah. Jakarta: Prenadamedia group.
Rusyd, Ibnu. 1989.Bidayat Al-Mujtahid Wa Nihayat Al-Muqtasid, Juz III, Cet 1. kairo: al-Maktabah al-Kulliyat al-Ashariyah.
http://www.syaria’ahonline.com/v2/fatwa/MUI/2764-fatwa-MUI-tentang -trading-forex.html




[1]http:// www.academia.edu/6424527/valuta-asing (di akses tanggal 3 mei 2016)
[2]Andri Soemitra, Bank Lembaga Keuangan Syari’ah, (Jakarta: Prenadamedia group, 2009), hlm.230.
[3]. Depardemen Agama RI. Al Qur’an Dan Terjemahannya hlm. 86-87.
[5] http://www.syaria’ahonline.com/v2/fatwa/MUI/2764-fatwa-MUI-tentang -trading-forex.html
[6]Ibnu Rusyd, bidayat al-mujtahid wa nihayat al-Muqtasid, Juz III, Cet 1 (kairo: al-Maktabah al-Kulliyat al-Ashariyah, 1989), hlm.320.