Proses Penarikan Konklusi Secara Tidak
Langsung
ABSTRAK
Berfikir nampaknya dapat dilakukan oleh semua
orang, mulai dari ank kecil sampai orang dewasa telah terbiasa melakukannya
tetapi kalau kita amati lebih lanjut, terutama bila dipraktikkan, ternyata menghadapi
banyak kesulitan. Prasangka-prasangka subyektif yang mempengaruhi jalan
pikirannya. Semboyang-semboyang dan pendapat-pendapat subyektif kadang-kadang
menutup mata terhadap kenyataan dan dalam perdebatan yang biasanya hanya
mencari kemenangan bukan kebenaran; terutama tentang yang sulit-sulit dan
berbeli-belit, sukar sekali untuk menentukan dimana letak kebenarannya. Untuk
menghindari kesesatan dan kesalahan dalam usaha untuk mencapai kebenaran
tersebut, maka kita harus mengetahui aturannya; dan olek karenanya kita harus
bisa menarik sebuah kesimpulan yang benar dari apa yang sudah kiuta ucapkan
atau dari apa yang sudah kita pelajari, Dimana itulah yang dapat mengantarkan
alur berfikir kita menjadi benar.
Kata kunci: proses, panarikan konklusi, secara tidak
langsung.
PENDAHULUAN
Pikiran manusia pada hakikatnya mencari dan berusaha untuk memperoleh
kebenaran. Karena itu pikiran tersebut juga merupkan suatu proses. Dalam proses
tersebut haruslah diperhatikan kebenaran bentuk (formal) untuk dapar berfikir
logis. Kebanaran ini hanyalah menyatakan serta mengandaikan adanya jalan, cara,
tehnik serta hukum-hukum yang perlu diikuti. Semua hal ini diselidiki serta
dirumuskan dalam logika, khususnya logika formal yang merupakan pokok uraian
dalam buku ini. Namun demikian kebenaran
tersebut perlu digandengakan dengan kebenaran isi (material)nya.
Apabila jalan serta hukum-hukum itu diuraikan, nampaklah bahwa pemikiran
manusia sebenarnya terdiri atas tiga unsur. Unsur-unsur itu adalah pengertian,
keputusan dan penyimpulan serta penyimpulan. Ini smua sebenrnya yang paling
pokok dan paling penting dalam logika.
Logika tidak mempelajari cara berfikir dari semua ragamnya, tetapi
pemikiran dalam bentuk yang paling sehat dan praktis. Banyak jalan pemikiran
kita dipengaruhi oleh keyakinan, pola pikir klompok, kecendrungan pribadi,
pergaulan dan sugesti juga banyak
pemikiran yang diungkapkan sebagai luapan emosi seperti caci maki, kata pujian
atau penyataan keheranan dan kekaguman. Ada juga pemikiran yang diungkapkan dengan
argumen yang secara selintas kelihatan benar untuk memutar balikkan kenyataan
denga tujuan memperoleh keuntungan pribadi maupun golongan. Dengan kesempatan
ini kami memberikan pemaparan tentang proses penarikan kesimpulan secara tidak langsung. Sehingga manusi dapat bernalar dan berfikir dengan baik, serta
menyimpulakan dengan benar.
A.
Pengertian konklusi
Penarikan konklusi atau inferensi ialah proses mendapatkan suatu proposisi
yang ditarik dari satu atau lebih proposisi, sedangkan proposisi yang diperoleh
harus dibenarkan oleh proposisi (proposisi) tempat menariknya. Proposisi yang
diperoleh itu disebut konklusi.Penarikan suatu konklusi dilakukan atas
lebih dari satu proposisi dan jika dinyatakan dalam bahasa disebut argumen.Proposisi
yang digunakan untuk menarik proposisi baru disebut premis sedangkan
proposisi yang ditarik dari premis disebut konklusi atau inferensi.
Penarikan konklusi ini dilakukan denga dua cara yaitu induktif dan
deduktif. Pada induktif, konklusi harus lebih umum dari premis (premisnya),
sedangkan pada deduktif, konklusi tidak mungkin lebih umum sifatnya dari premis
(premisnya).Atau dengan pengertian yang popular, penarikan konklusi yang
induktif merupakan hasil berfikir dari soal-soal yang khusus membawanya kepada
kesimpulan-kesimpulan yang umum. Sebaliknya, penarikan konklusi yang deduktif
yaitu hasil proses berfikir dari soal-soal yang umum kepada
kesimpulan-kesimpulan yang khusus.
Penarikan suatu konklusi deduktif dapat dilakukan denga dua cara yaitu secara
langsung dan tidak langsung. Penarikan konklusi secara langsung
dilakukan jika premisnya hanya satu buah.Konklusi langsung ini sifatnya
menerangkan arti proposisi itu.Karena sifatnya deduktif, konklusi yang
dihasilkannya tidak dapat lebih umum sifatnya dari premisnya.Penarikan konklusi
secara tidak langsung terjadi jika proposisi atau premisnya lebih dari satu.
Jika konklusi itu ditarik dari dua proposisi yang diletakan sekaligus, maka
bentuknya disebut silogisme.[1]
B.
Silogisme
silogisme, adalah suatu proses penarikan kesimpulan yang memerlukan dua data
sebagai data utamanya. Dari dua data ini, akan dihasilkan sebuah simpulan.
Premis yang pertama adalah premis yang bersifat umum dan premis yang kedua
adalah premis yang bersifat khusus.
Silogisme merupakan penyimpulan tidak langsung dikatakan
demikain karena dalam silogisme kita menyimpulkan pengetahuan baru yang
kebenarannya diambil secara sintetis dari dua permasalahan yang dihubungkan
dengan cara tertentu, yang tidak terjadi dalam penyimpulan melalui edukasi
Aristoteles
membatasi silogisme sebagai argumen yang konklusinya diambil secara pasti dari
premis-premis yang menyatakan permasalahan yang berlainan.
Disamping itu untuk
dapat melahirkan konklusi harus ada pangkalan umum tempat kita berpijak.
Pangkalan umum ini kita hubungkan dengan permasalahan yang lebbih khusus
melalui term yang ada pada keduanya, maka lahirlah konklusi.[2]
C. Ciri-ciri silogisme
Ciri-ciri silogisme
yang membedakannya dari jenis penarikan konklusi lainnya adalah:
Konklusi
dalam silogisme ditarik dari dua premis
yang serentak disediakan, bukan dari salah satu premisnya
saja. Konklusinya tidaklah merupakan penjumlahan premis-premis itu, tetapi
merupakan sesuatu yang dapat diperoleh bila kedua premis itu diletakkan
serentak. Ciri-ciri ini membedakan silogisme dari
bentuk-bentuk penarikan konklusi langsung dan
bentuk-bentuk penarikan konklusi tak langsung lainnya.
Konklusi dari suatu
silogisme tidak dapat mempunyai sifat yang lebih umum daripada premis-premisnya.
Silogisme adalah suatu jenis penarikan
konklusi secara deduktif dan penarikan
konklusi secara deduktif konklusinya tidak
ada yang lebih umum dari premis-premis yang
disediakan itu.
Konklusinya benar,
bila dilengkapi dengan premis-premis yang benar. Suatu hal
yang penting, pada silogisme dan pada
bentuk-bentuk inferensi deduktif yang lain, persoalan
kebenaran dan ketidak benaran pada premis-premis tak pernah timbul,
karena premis-premis selalu diambil yang benar;
akibatnya konklusi sudah diperlengkapi dengan
hal-hal yang Dengan kata lain,
silogisme tinggal hanya mempersoalkan kebenaran
formal (kebenaran bentuk) dan tidak lagi
mempersoalkan kebenaran material (kebenaran isinya).
Premis yang
di dalamnya terdapat term mayor dinamai
premis mayor, dan premis yang di dalamnya terdapat term
minor dinamai premis minor. Dalam bentuk silogisme logika yang
sesungguhnya, premis mayor diberikan mula-mula
dan sudah itu diikuti oleh premis minor. [3]
D. Bentuk-Bentuk
Silogisme
Untuk menarik simpulan secara tidak langsung ini, kita memerlukan
suatu premis (pernyataan dasar) yang bersifat umum (PU) dan premis yang kedua bersifat
khusus (PK). Sebagai umpama:
PU : Setiap manusia akan mati
PK : Pak ujang adalah manusia
K :
Pak ujang akan mati
Hal- hal penting yang harus diperhatikan dalam
penyusunan suatu silogisme adalah sebagai berikut:
1. Silogisme terdiri
dari tiga pernyataan.
2.
Pernyataan (premis) pertama disebut premis umum.
3.
Pernyataan (premis) kedua disebut premis khusus
4.
Pernyataan ketiga disebut kesimpulan.
5. Apabila
salah satu premisnya negatif, maka kesimpuulannya pasti negatif.
6. Dua
premis negatif tidak dapat menghasilkan kesimpulan.
7. Dari dua premis
khusus tidak dapat ditarik kesimpulan.
Pola penarikan kesimpulan tidak langsung
atau silogisme, dapat dikelompokan kedalam beberapa jenis:
D.1. Silogisme Kategorial
Yang dimaksud dengan silogisme kategorial adalah, silogisme yang
terjadi dari tiga proposisi (pernyataan). Dua proposisi merupakan premis dan
satu proposisi, merupakan simpulan. Premis yang bersifat umum, disebut premis
mayor. Dan premis yang
bersifat khusus disebut premis minor. Dalam simpulan terdapat subjek dan
predikat. Subjek simpulan disebut term minor dan predikat simpulan
disebut term mayor.
Contoh:
PU :
Semua manusia bijaksana.
PK :
Semua polisi adalah bijaksana.
K :
Jadi, semua polisi bijaksana.
Contoh dalam bentuk paragraf
Setelah
tugas menggambar kelas I B dikumpulkan, ternyata duapuluh anak perempuan
menggambar bunga, dua orang anak perempuan menggambar pemandangan, dan satu
orang saja menggambar binatang, sedangkan anak laki-laki bermacam-macam.Boleh
dikatakan anak perempuan kelas I B cenderung membuat gambar bunga.
·
Analogi ialah suatu
penalaran yang bertolak dari peristiwa khusus mirip satu sama lain, kemudian
menyimpulkan apa yang berlaku untuk suatu hal akan bertolak pula untuk hal
lain.
·
Kausalitas
(sebab-akibat) ialah memulai suatu penjelasan dari peristiwa atau hal yang
merupakan sebab, kemudian bergerak menuju ke suatu kesimpulan sebagai aspek
(akibat) terdekat.
·
Bentuk Gagasan /
Penalaran Deduktif
Untuk menghasilkan simpulan harus ada term penengah sebagai
penghubung antara premis mayor dan premis minor. Term penengah adalah silogisme
diatas ialah manusia. Term penengah hanya terdapat pada premis, tidak
terdapat pada simpulan. Kalau term penengah tidak ada, simpulan tidak dapat
diambil.
Contoh:
PU :
Semua manusia tidak bijaksana.
PK :
Semua kera bukan manusia.
K : Jadi, (tidak ada kesimpulan).
Aturan umum mengenai silogisme kategorial adalah sebsgai berikut:
a)
Silogisme
harus terdiri atas tiga term. Yaitu term mayor, term minor dan term penengah.
Contoh:
PU : Semua atlet harus giat
berlatih.
PK : Xantipe adalah seorang
atlet.
K : Xantipe harus giat
berlatih.
Term mayor
= harus giat berlatih.
Term minor =
Xantipe.
Term penengah =
atlet.
Kalau lebih
dari tiga term, simpulan akan menjadi salah.
Contoh: Gambar itu menempel di dinding.
Dinding itu menempel di tiang.
Dalam
premis ini terdapat empat term, yaitu gambar yang menempel di dinding dan
dinding menempel ditiang. Oleh sebab itu, disini tidak dapat ditarik
kesimpulan.
b)
Silogisme
terdiri atas tiga proposisi, yaitu premis mayor, premis minor dan simpulan.
c)
Dua
premis yang negatif tidak dapat menghasilkan simpulan.
Contoh: Semua semut bukan ulat.
Tidak seekor ulat pun adalah
manusia.
d)
Bilah
salah satu premisnya negatif, simpulan pasti negatif.
Contoh: PU :Tidak
seekor gajah pun adalah singa.
PK : Semua gajah berbelalai.
K : Jadi, tidak seekor singa
pun berbelalai.
e)
Dari
premis yang positif, akan dihasilkan simpulan yang positif.
Contoh: PU ; Semua mahasiswa adalah lulusan SMA
PK : Ujang adalah mahasiswa
K :
Ujang lulusan SMA
f)
Dari
dua premis yang khusus, tidak dapat ditarik satu simpulan.
Contoh: PU : Sebagian
orang jujur adalah petani.
PK : Sebagian pegawai negeri adalah orang
jujur.
K :
Jadi, . . . (tidak ada simpulan)
g)
Bila
salah satu premis khusus, simpulan akan bersifat khusus.
Contoh: PU : Semua
mahasiswa adalah lulusan SLTA.
PK : Radit adalah mahasiswa.
K : Jadi, Radit adalah lulusan SLTA.
h)
Dari
premis mayor yang khusus dan premis minor yang negatif tidak dapat ditarik satu
simpulan.
Contoh: PU : Beberapa manusia adalah bijaksana.
PK :
Tidak seekor binatang pun adalah manusia.
K :
Jadi, . . . (tidak ada simpulan)
D.2. Silogisme Hipotesis
Silogisme hipotesis adalah silogisme yang terdiri atas pernyataan
umum, pernyataan khusus, dan kesimpulan. Akan tetapi, premis umumnya bersifat
pengandaian. Hal ini ditandai adanya penggunaan konjungsi jika dalam pernyataannya. Dengan demikian, pernyataan umumnya
dibentuk oleh dua bagian. Bagian pertama disebut anteseden dan bagian keduanya disebut konsekuensi. Sementara itu, pernyataan khususnya menyatakan
kenyataan yang terjadi, yang kemungkinannya hanya dua: sesuai atau tidak sesuai
dengan yang diandaikannya itu.
Contoh PU : jika saya lulus ujian, saya akan melanjutkan kuliah ke
(anteseden) (konsekuensi)
perguruan
tinggi.
D.3. Silogisme Alterntif
Silogisme ini menggunakan pernyataan
umum yang memiliki dua alternatif. Jika alternative satu itu benar menurut
pernyaataan khususnya, alternatif yang lain itu salah.
Contoh:
Premis Mayor èmerupakan proposisi alternative (proposisi yang
mengandung kemungkinan-kemungkinan atau pilihan-pilihan)
Premis Minor è
Kesimpulannya tergantung pada premis minor.
PU ; Lampu temple ini akan mati apabila minyaknya habis atau
sumbunya pendek.
PK ; Lampu ini mati, tetapi minyaknya tidak
habis.
D.4. Entimen
Pada percakapan dalam kehidupan sehari-hari, suatu logisme seringkali
diperpendek, yakni tanpa menyebutkan premis-premis umum. Seseorang lansung
mengatakan kesimpulan yang diikuti dengan premis khusus sebagai penyebabnya.
Bentuk silogisme seperti ini disebut entimem.
Rumus:
C = B, karena C = A
C = B, karena C = A
Contoh:
PU: Semua pemimpin yang jujur tidak mau melakukan korupsi.
PK: Pak Brewok seorang pemimpin yang jujur.
K : Pak Brewok tidak mau melakukan korupsi.
PU: Semua pemimpin yang jujur tidak mau melakukan korupsi.
PK: Pak Brewok seorang pemimpin yang jujur.
K : Pak Brewok tidak mau melakukan korupsi.
Entimem: Pak Brewok tidak melakukan korupsi, karena ia seorang pemimpin
yang jujur.
Entimem adalah silogisme yang diperpendek. Entimen tidak peerlu menyebutkan
premis umum, tetapi langsung mengetengahkan simpulan dengan premis khusus yang
menjadi penyebabnya.
Rumus entimem : C = B, Karena C = A
Contoh :
Silogisme :
PU : Pegawai yang baik tidak mau
menerima suap.
PK : Ali pegawai yang baik.
S : Ali tidak
mau menerima suap.
Entimem
Ali tidak mau menerima suap, karena ia pegawai yang baik.
Penjelasan:
C = Ali ;ia
B = tidak mau menerima suap
A = pegawai yang baik
C = B, karena C = A
Contoh di atas silogisme yang dijadikan entimen. Jika entimen dapat
dikembalikan menjadi silogisme
Contoh :
Entimem :
Badu harus bekerja keras, karena ia orang yang ingin sukses.
C : Badu
B : harus bekerja keras
A : orang yang ingin sukses
Silogisme :
PU
:Semua orang yang ingin sukses harus bekerja
keras.
PK :
Badu orang yang ingin sukses.
S : Maka, Badu harus bekerja keras.
Rantai Deduksi
Penalaran yang deduktif dapat berlangsung lebih informal dari entimem. Orang tidak berhenti pada sebuah silogisme saja, tetapi dapat pula berupa merangkaikan beberapa bentuk silogisme yang tertuang dalam bentuk yang informal.
Semua coklat manis rasanya
Sebagian yang manis rasanya adalah coklat
Jika stres saya makan coklat
Karena coklat dapat menghilangkan stres
Saya tidak pernah menolak diberi coklat
Karena saya memang sangat suka coklat
Penalaran yang deduktif dapat berlangsung lebih informal dari entimem. Orang tidak berhenti pada sebuah silogisme saja, tetapi dapat pula berupa merangkaikan beberapa bentuk silogisme yang tertuang dalam bentuk yang informal.
Semua coklat manis rasanya
Sebagian yang manis rasanya adalah coklat
Jika stres saya makan coklat
Karena coklat dapat menghilangkan stres
Saya tidak pernah menolak diberi coklat
Karena saya memang sangat suka coklat
Laras tidak suka
buah nanas
Karena nanas asam rasanya
Laras diberi buah nanas
Jadi Laras tidak memakannya.[5]
Karena nanas asam rasanya
Laras diberi buah nanas
Jadi Laras tidak memakannya.[5]
E. Hukum-Hukum
Penarikan Kesimpulan
Terdapat 8 kaidah atau hukum yang berlaku dalam penyusunan silogisme
kategoris. Masing-masing 4 menyangkut term, dan 4 menyangkut proposisi.
Kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menyangkut term-term.
2. S ilogisme tidak boleh
mengandung lebih atau kurang dari tiga term. Kurang dari tiga term berarti
tidak ada silogisme. Lebih dari tiga term berarti tidak adanya perbandingan.
Kalaupun ada tiga term, ketiga term itu haruslah digunakan dalam arti yang sama
tepatnya. Kalau tidak, hal itu sama saja dengan menggunakan lebih dari tiga
term. Misalnya:
Kucing itu mengeong
Binatang itu kucing
Jadi, binatang itu mengeong
1. Term-antara (M) tidak
boleh masuk (terdapat dalam) kesimpulan. Hal ini sebenarnya sudah jelas dari
bagan silogisme. Selain itu, masih dapat dijelaskan bagini: term-antara (M)
dimaksudkan untuk mengadakan perbandingan dengan term-term. Perbandingan itu
terjadi dalam premis-premis. Karena itu, term-antara (M) hanya berguna dalam
premis-premis saja.
2. Term subyek dan
predikat dalam kesimpulan tidak boleh lebih luas daripada dalam premis-premis.
Artinya, term subyek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh universal, kalau
dalam premis-premis particular. Ada bahaya ‘latius hos’. Istilah ini sebenarnya
merupakan singkatan dari hukum silogisme yang berbunyi: ‘Latius hos quam
praemiisae conclusion non vult’. Isi ungkapan yang panjang ini sama saja dengan
‘generalisasi’. Baik ‘Latius hos’ maupun ‘generalisasi’ menyatakan
ketidakberesan atau kesalahan penyimpulan, yakni menarik kesimpulan yang
terlalu luas. Menarik kesimpulan yang universal pada hal yang benar hanyalah
kesimpulan dalam bentuk keputusan yang particular saja. Misalnya:
Kucing adalah makhluk hidup
Manusia bukan kucing
Jadi, manusia bukan makhluk hidup
1. Term-antara (M) harus
sekurang-kurangnya satu kali universal. Jika term-antara particular baik dalam
premis major maupun minor, mungkin sekali term-antara itu menunjukkan
bagian-bagian yang berlainan dari seluruh luasnya. Kalau begitu term-antara
tidak lagi berfungsi sebagai term-antara dan tidak lagi menghubungkan
(memisahkan) subyek dan predikat. Misalnya:
Banyak orang kaya yang kikir
Si Fulan adalah orang kaya
Jadi, Si Fulan adalah orang yang kikir.
2. Menyangkut
keputusan-keputusan (proposisi)
1. Jika kedua premis
(yakni major dan minor) afirmatif atau positif, maka kesimpulannya harus
afirmatif dan positif pula.
2. Kedua premis tidak
boleh negatif, sebab term-antara (M) tidak lagi berfungsi sebagai penghubung
atau pemisah subyek dan predikat. Dalam silogisme sekurang-kurangnya satu,
yakni subyek atau predikat, harus dipersamakan dengan term-antara (M).
Misalnya:
Batu bukan binatang
Kucing bukan batu
Jadi, kucing bukan binatang
1. Kedua premis tidak
boleh partikular. Sekurang-kurangnya satu premis harus universal. Misalnya:
Ada orang kaya yang tidak tenteram hatinya
Banyak orang yang jujur tenteram hatinya
Jadi, orang-orang kaya tidak jujur
1. Kesimpulan harus sesuai
dengan premis yang paling lemah. Keputusan particular adalah keputusan yang
‘lemah’ dibandingkan dengan keputusan yang universal. Keputusan negatif adalah
keputusan yang ‘lemah’ dibandingkan dengan keputusan afirmatif atau positif.
Oleh karena itu:
·
Jika satu premis partikular, kesimpulan juga partikular;
·
Jika salah satu premis negatif, kesimpulan juga harus negatif;
·
Jika salah satu premis negatif dan partikular, kesimpulan juga harus
negatif dan partikular. Kalau tidak, ada bahaya ‘latius hos’ lagi. Misalnya:
Beberapa anak puteri tidak jujur
Semua anak puteri itu manusia (orang)
Jadi, beberapa manusia (orang) itu tidak juju.[6]
PENUTUP
Berpikir deduktif atau berpikir rasional
merupakan sebagian dari berpikir ilmiah. Dalam penalaran
deduktif, menarik suatu simpulan dimulai dari pernyataan umum menuju
pernyataan-pernyataan khusus dengan menggunakan
rasio (berpikir rasional).
Silogisme adalah suatu bentuk penarikan konklusi secara deduktif tak
langsung yang konklusinya ditarik dari premis yang disediakan
serentak. Oleh karena silogisme adalah penarikan
konklusi yang sifatnya deduktif, maka
konklusinya tidak dapat mempunyai sifat yang lebih umum
dari pada premisnya.
Silogisme dalam logika tradisional digunakan
sebagai bentuk standar dari penalaran
deduktif. Hanya deduksi yang dapat di
kembalikan menjadi bentuk standar inilah
yang dapat dibahas dalam logika
tradisional. Silogisme itu terdiri atas
tiga proposisi kategorik. Dua proposisi
yang pertama berfungsi sebagai premis, sedang yang ketiga sebagai
konklusi. Jumlah termnya ada tiga, yaitu term subjek, term predikat, dan term
medius. Term medius berperan sebagai penghubung antara premis
mayor dengan premis minor di dalam menarik
konklusi, dan term medius itu tidak boleh muncul pada konklusi. Silogisme
ini dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengetahui sesuatu secara
logika. Misalnya :
·
Semua manusia yang ada akan mati.
·
Sally adalah manusia.
·
Oleh karena itu, Sally akan mati.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Modul Silogisme Kategoris, Yogyakarta: Staff UNY, 2014.
Kattsof, Louis A. Pengantar Filsafat (alih bahasa: Soejono Soemargono), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Mundiri, logika, jakarta: rajawali press , 2012.
Surajiyo. Dasar-Dasar Logika, Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Pramsky.blogspot. November, 2008. Dasar logika proposisi standar..
[5] http://aris-riswara.blogspot.sg/2014/03/deduktif-silogisme-entimen-dan-rantai.html. diakses tanggal 5 April 2016.
[6] A. Louis Kattsof, Pengantar Filsafat (alih bahasa: Soejono Soemargono), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. 47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar