MAKALAH
SALAM
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Telaah Teks Arab Hukum Ekonomi
Syari’ah (HES)
Dosen
Pengampu: Ahmad Zayyadus Zabidi

Disusun
Oleh:
ARWANI
DURROTUN
NASHIHAH
FAIZAL
FANANI
NIRI
ARIANSYAH
REVIA
QONITA JAUHARI
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI
HUKUM EKONOMI SYARI’AH
PAMEKASAN
PAMEKASAN
2016
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin segala puji bagi Allah yang Maha Esa, Tuhan pemberi rezeki, Tuhan yang
Maha memuliakan dan Maha menghinakan. Manusia hanya dapat berusaha dan Tuhan
yang mengabulkan atas usaha kita, oleh karena itu kami sangat bersyukur kepada
Allah karena kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Salawat dan salam kami
haturkan bagi Nabi Muhammad, makhluk pilihan Allah untuk mengajak manusia
kejalan yang diridlai-Nya.
Kami ucapkan terima kasih
juga kepada teman-teman yang telah memberikan dukungan kepada kami dalam
menyelesaikan tugas makalah ini. Kami hanya manusia biasa yang tidak dapat
mengerjakan pekerjaan sendirian. Tidak lupa juga kami
ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang juga telah memberikan
semangat kepada kami.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat kami
harapkan dari para pembaca supaya makalah ini kedepannya menjadi lebih baik dan
tidak terdapat kesalahan-kesalahan lagi.
Akhirnya atas perhatian para
pembaca kami ucapkan terima kasih.
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
AWAL ……………………………………………………….. i
KATA
PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR
ISI .................................................................................................. iii
BAB
I : PENDAHULUAN ............................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................... 1
C. Tujuan Masalah ................................................................ 2
BAB
II : PEMBAHASAN ................................................................... 3
A. Pengartian Salam ......................................................... 3
B.
Rukun dan Syarat salam ............................................... 4
C.
Naskah Ayat al-Baqarah ayat 282 .................................... 5
D. Terjemah ......................................................................... 5
E.
Makna Mufradat ............................................................... 6
F.
Munasabah Ayat ............................................................... 9
G. Asbab an-Nuzul ............................................................... 10
H. Tafsir Ayat ........................................................................ 10
I.
Kandungan Hukum .......................................................... 17
J.
Contoh Akad Salam ......................................................... 17
BAB
III : PENUTUP .......................................................................... 19
A. Kesimpulan ………………………………………....... 19
DAFTAR
PUSTAKA .................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada jaman sekarang, dimana banyak sekali suatu
kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Hal tersebut dimaksudkan agar kehidupan
manusia bisa tetap eksis dan nyaman. Dengan berbagai macam kebutuhan tersebut
otomatis tiap-tiap manusia melakukan kegiatan yang dinamakan transaksi.
Banyaknya suatu transaksi itu menyebabkan banyak orang melakukan hutang. Hal
tersebut terjadi ketika manusia tidak bisa membayar kebutuhan yang
diinginkannya, akan tetapi mereka membutuhkan barang-barang yang dihutang itu.
Oleh karena itu diperlukannya suatu hukum untuk mengatur bagaimana cara hutang
yang benar. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan mencari dalil-dalil
yang berkaitan dengan transaksi hutang piutang, begitu pula dengan analisa
tafsir yang digunakan untuk memperjelas tentang bagaimana transaksi hutang yang
benar.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas penulis merumuskan
beberapa masalagh sebagai berikut:
1.
Apa pengertian akad
salam?
2.
Apa rukun dan
syarat akad salam?
3.
Bagaimana bunyi
dalil surat al-Baqarah ayat
282?
4.
Bagaimana
terjemah ayat tersebut?
5.
Apa makna
mufradat ayat tersebut?
6.
Apa munasabah
ayat tersebut dengan ayat lainnya?
7.
Bagaimana asbab
an-Nuzulnya?
8.
Bagaimana tafsir
ayat tersebut?
9.
Apa kandungan
hukum ayat tersebut?
10. Bagamana contoh
akad salam?
C. Tujuan Masalah
dari rumusan masalah di atas penulis memiliki
beberapa tujuan yang dicapai, yaitu:
1.
Ingin mengetahui
pengertian akad salam
2. Ingin
mengetahui rukun dan syarat akad salam
3. Ingin
mengetahui bunyi dalil surat al-Baqarah ayat 282
4. Ingin
mengetahui terjemah ayat tersebut
5. Ingin
mengetahui mufradat ayat tersebut
6. Ingin
mengetahui munasabah ayat tersebut dengan ayat lainnya
7. Ingin
mengetahui asbab an-Nuzulnya
8. Ingin
mengetahui tafsir ayat tersebut
9.
Ingin mengetahui
kandungan hukum ayat tersebut
10. Ingin
mengetahui contoh akad
salam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akad Salam
Salam secara etimologi artinya pendahuluan, dan secara
muamalah adalah penjualan suatu barang yang disebutkan sifat-sifatnya sebagai
persyaratan jual beli dan barang yang dibeli masih dalam tanggungan penjual,
dimana syaratnya ialah mendahulukan pembayaran pada waktu akad. Salam adalah
akad jual beli barang pesanan antara pembeli dan penjual dengan pembayaran
dilakukan di muka pada saat akad dan pengiriman barang dilakukan pada saat
akhir kontrak. Barang disini harus jelas spesifikasinya.[1]
Spesifikasi barang pesanan telah disepakati oleh
pembeli disepakati oleh penjual dan pembeli di awal akad. Barang pesanan harus
sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati. Jika barang pesanan itu
tidak sesuai dengan spesifikasi yang tertuang dalam akad, maka bank sayaria’ah
mengembalikannya kepada penjual. Bila barang pesanan pada saat diterima oleh bank harganya lebih
rendah dibanding pada saat akad, maka selisihnya merupakan kerugian pembeli
(bank syari’ah). Sebaliknya, bila harga barang pesanan pada saat diterima lebih
tinggi, maka selisihnya diakui sebagai keuntungan salam. [2]
Salam diperbolehkan oleh Rasulullah Saw. Dengan
beberapa syarat yang harus dipenuhi. Tujuan utama dari jual beli salam adalah
untuk memenuhi kebutuhan para petani kecil yang memerlukan modal untuk memulai
masa tanam dan untuk menghidupi keluarganya sampai musim panen tiba. Setelah
pelarangan Riba, mereka tidak dapat lagi mengambil pinjaman riba untuk
keperluan ni sehngga diperbolehkan bagi mereka untuk menjual produk pertaniannya
dimuka.[3]
Salam bermanfaat bagi penjual karena mereka menerima
pembayaran dimuka. Salam juga bermanfaat bagi pembeli karena pada umumnya harga
dengan akad salam lebih murah dari pada dengan akad tunai.[4]
B. Rukun dan Syarat Akad Salam
Rukun dari akad salam yang harus dipenuhi dalam
transaksi ada beberapa yaitu:
1. Pelaku
akad, yaitu muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang,
dan muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok atau memproduksi barang
pesanan.
2. Objek
akad, yaitu barang atau hasil prodksi (muslam fiih) dengan spesifikasinya dan
harga (tsaman)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad salam.
1. Pembeli
harus membayar penuh barang yang dipesan pada saat akad salam ditandatangani.
2. Salam
hanya boleh digunakan untuk jual beli komoditas yang kualitas dan kuantitasnya
dapat ditentukan dengan tepat. Komoditas yang tidak dapat ditentukan kuntitas
dan kualitasnya tidak dapat dijual
mengunakan akad salam
3. Salam
tidak dapat dilakukan untuk jual beli komoditas tertentu atau produk dan lahan
pertanian atau peternakan tertentu.
4. Tanggal
dan tempat penyerahan barang yang pasti harus ditetapkan dalam kontrak.
C. Dalil Dasar Akad Salam Q.S al-Baqarah 2 : 282
يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اِذَا تَدَايَنْتُمْ
بِدَيْنٍ اِلَى اَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ وَالْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ
بِالْعَدْلِ وَلاَ يَاْبَ كَاتِبٌ اَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللهُ
فَالْيَكْتُبْ وَالْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَالْيَتَّقِ اللهَ
رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَاِنْ كَانَ الَّذِى عَلَيْهِ الْحَقُّ
سَفِيْهًا اَوْ ضَعِيْفًا اَوْ لاَ يَسْتَطِيْعُ اَنْ يُمِلَّ هُوَ فَالْيُمْلِلْ
وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَاِنْ
لَمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَاَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ
الشُّهَدَاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدَاهُمَا الْاُخْرَى
وَلاَيَاْبَ الشُّهَدَاءُ اِذَا مَا دُعُوْا وَلاَ تَسْئَمُوْا اَنْ تَكْتُبُوْهُ
صَغِيْرًا اَوْ كَبِيْرًا اِلَى اَجَلِهِ ذَلِكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ
وَاَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَاَدْنَى اَلَّا تَرْتَابُوا اِلاَّ اَنْ تَكُوْنَ
تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ
اَلاَّ تَكْتُبُوْهَا وَاَشْهِدُوا اِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلاَ يُضَارَّ كَاتِبٌ
وَلاَ شَهِيْدٌ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهُ فُسُوْقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ
وَيُعَلِّمُكُمُ اللهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَئٍ عَلِيْمٌ
D. Terjemah
“Wahai orang-orang yang
beriman! apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya.Den hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah orang yang
berhutang itu mendektekan, dan hendaklah dia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya,
dan jangalah dia mengurangi sedikitpun dari padanya. Jika yang berhutang itu
kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendektekan sendiri,
maka hendaklah walinya mendektekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan
dua oranng saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang
laki-laki, maka (boleh) seorang laki dan dua orang perempuan diantara
oranng-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang
lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-skasi itu
menolak apabila dipanggil. Dan janganlah bosan menuliskannya, untuk batas
waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di
sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada
ketidak raguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu
jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak
menuliskannya. Dan ambilah saksi apabila
kamu berjual beli, dan janganlah dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu
lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu sungguh kefasikan kepada kamu.
Dan bertaqwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepada kamu, dan
Allah maha mengetahui segala sesuatu.”
E. Makna Mufradat
يايها
|
Wahai
|
الذين
|
Orang-orang yang
|
ءامنوا
|
Beriman
|
اذا
|
Apabila
|
تداينتم
|
Kalian
berutang piutang
|
بدين
|
Dengan utang
|
الى اجل
|
Sampai waktu
|
مسمى
|
Yang ditentukan
|
فاكتبوه
|
Maka catatlah dia
|
واليكتب
|
Dan catatlah
|
بينكم
|
Di antara kalian
|
كاتب
|
Seorang penulis
|
بالعدل
|
Dengan adil
|
ولا ياب
|
Dan janganlah enggan
|
ان
|
Bahwa
|
يكتب
|
Menulis
|
كما
|
Sebagaimana
|
علمه الله
|
Allah telah mengajarkan
|
واليملل
|
Dan hendaklah mendektekan
|
الذي
|
Yang
|
عليه
|
Atasnya
|
الحق
|
Hak
|
واليتق الله
|
Dan bertaqwalah kepada Allah
|
ربه
|
Tuhannya
|
ولا يبخس
|
Dan janganlah ia mengurangi
|
منه
|
Darinya
|
شيئا
|
Sesuatu
|
فان
|
Maka jika
|
كان
|
Dia
|
سفيها
|
Lemah akal
|
او
|
Atau
|
ضعيفا
|
Lemah
|
لا يستطيع
|
Ia tidak mampu
|
يمل
|
Membacanya
|
هو
|
Dia
|
فاليملل
|
Maka hendaklah membacanya
|
وليه
|
Walinya
|
واستشهدوا
|
Dan persaksikanlah
|
شهيدين
|
Dua orang saksi
|
من رجالكم
|
Dari laki-laki kalian
|
لم
|
Tidak
|
يكون
|
Ada
|
رجلين
|
Dua orang laki-laki
|
فرجل
|
Maka seorang laki-laki
|
وامراتان
|
Dan dua orang perempuan
|
ممن
|
Dari orang yang
|
ترضون
|
Kalian ridoi
|
من الشهداء
|
Dari saksi-saksi
|
تضل
|
Lupa
|
احداهما
|
Salah seorang dari keduanya
|
فتذكر
|
Maka mengingatkan
|
الاخرى
|
Yang lain
|
اذا
|
Apabila
|
مادعوا
|
Mereka dipanggil
|
ولا تسئمو
|
Dan jangan jemu
|
تكتبوه
|
Menuliskannya
|
صغيرا
|
Kecil
|
كبيرا
|
Besar
|
ذلكم
|
Demikian itu
|
اقسط
|
Lebih adil
|
عندالله
|
Di sisi Allah
|
واقوم
|
Dan lebih menguatkan
|
للشهادة
|
Lagi persaksian
|
وادنى
|
Dan leih dekat
|
الا ترتابوا
|
Untuk tidak menimbulkan keragu-raguan
|
الا
|
Kecuali
|
تكون
|
Muamalah itu
|
تجارة
|
Perdagangan
|
حاضرة
|
Yang hadir
|
تضيرونها
|
Kalian jalankan
|
فليس
|
Maka tidak ada
|
عليكم
|
Atas kalian
|
جناح
|
Dosa
|
الا تكتبوها
|
Untuk tidak kalian menulisnya
|
واشهدوا
|
Dan persaksikanlah
|
تبايعتم
|
Kalian berjual beli
|
ولا يضار
|
Dan janganlah sulit menyulitkan
|
وان
|
Dan jika
|
تفعلوا
|
Kalian lakukan
|
فسوق
|
Kefasikan
|
بكم
|
Kepada kalian
|
ويعلمكم الله
|
Dan Allah mengajar kalian
|
بكل شئ
|
Dengan segala sesuatu
|
عليم
|
Maha mengetahui
|
F. Munasabah Ayat
Munasabah Ayat dalam hal ini dilakukan dengan
munasabah antar ayat yang merupakan penjelasan lebih lanjut dengan ayat
berikutnya yang dirinci sebagai berikut: Dalam surat Al-Baqarah ayat 282
bahwasannya yang dimaksud utang piutang adalah meminjam atau memberi pinjaman yang
merupakan salah satu bentuk kegiatan bermuamalah. Dalam ayat ini, Allah menunjukkan
beberapa aturan kepada para hamba-Nya apabila mereka bermuamalat dengan cara
utang piutang dan pengembalian dalam jangka waktu tertentu, maka hendaklah
menulis perjanjian dengan menghadirkan dua orang saksi yang mampu bersikap
adil. Pada surat al-Baqarah ayat 282 memiliki
kaitan dengan surat al-Baqarah ayat 283 bahwa salah satu bentuk utang piutang
adalah melakukan transaksi tidak tunai (utang-piutang) yang dilakukan dalam
perjalanan. Dengan demikian, orang yang berpiutang hendaknya diberikan barang
tangguhan apabila masing-masing pihak tidak saling percaya. Apabila
masing-masing pihak tersebut saling percaya dan menyerahkan diri kepada Allah,
maka barang tangguhan tersebut tidak diperlukan. Sesengguhnya allah mengetahui
segala perbuatan manusia.
G. Asbab an-Nuzul
Pada waktu Rasullullah saw datang ke Madinah pertama kali,
orang-orang penduduk asli biasa menyewakan kebunnya dalam waktu satu, dua atau
tiga tahun. Oleh sebab itu Rosul bersabda: “Barang siapa menyewakan
(mengutangkan sesuatu hendaklah dengan
timbangan atau ukuran yang tertentu dan daam jangka waktu yang tertentu pula”
sehubungan dengan itu Allah swt menurunkan ayat 282 sebagai perintah apabila
mereka melakukan utang piutang maupun dalam jangka waktu tertentu hendaklah
ditulis perjanjian an mendatangkan saksi. Hal mana untuk menjaga terjadinya
sengketa pada waktu-waktu yang akan mendatang (H.R. Bukhari dari Sofyan bin Uyainah
dari ibnu Abi Najih Abdillah bin Katsir dari Minhal dari ibnu Abbas).[7]
H. Tafsir Ayat
Inilah ayat terpanjang dalam al-Quran, dan yang
dikenal oleh para ulama dengan nama ayat al-mudayanah (ayat utang piutang).
Ayat ini antara lain berbicara tentang anjuran atau menurut sebagian ulama
kewajiban menulis utang piutang dan mempersaksikannya dihadapan pihak ketiga
yang dipercaya (notaris), sambil menekankan perlunya menulis utang walau
sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya.
Ayat ini ditempatkan setelah uraian tentang anjuran
bersedekah dan berinfaq (ayat 271-274), kemudian disusul dengan larangan
melakukan riba (ayat 275-279), serta anjuran memberi tangguh kepada yang tidak
mampu atau bahkan menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu (ayat 280).
Penempatan uraian tentang anjuran atau kewajiban menulis hutang piutang setelah
anjuran dan larangan di atas, mengandung makna tersendiri. Anjuran bersedekah
dan melakukan infaq di jalan Allah, merupakan pengejawantahan rasa kasih sayang
yang murni; selanjutnya larangan riba merupakan pengejawantahan kekejaman dan
kekerasan hati, maka dengan perintah menulis hutang piutang yang mengakibatkan
terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang mengakibatkan terpeliharanya
harta, tercermin keadilan yang didambakan al-Quran, sehingga lahir jalan tengah
antara rahmat murni yang diperankan oleh sedekah dengan kekejaman yang
diperagakan oleh pelaku riba.
Larangan mengambil keuntungan melalui riba dan
perintah bersedekah, dapat menimbulkan kesan bahwa al-Quran tidak bersimpati
terhadap orang yang memiliki harta atau mengumpulkannya. Kesan keliru itu dihapus
melalui ayat ini, yang intinya memerintahkan memelihara harta dengan menulis
hutang piutang walau sedikit, serta mempersaksikannya. Seandainya kesan itu
benar, tentulah tidak akan ada tuntutan yang sedemikian rinci menyangkut
pemeliharaan dan penulisan hutang piutang.
Ayat 282 ini dimulai dengan seruan Allah swt kepada
kaum yang menyatakan beriman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menulisnya.”
Perintah ayat ini secara redaksional ditunjukkan
kepada orang-orang beriman, tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan
transaksi hutang-piutang, bahkan yang lebih khusus adalah yang berhutang. Ini
agar yang memberi piutang merasa lebih tenang dengan penulisan itu, karena
menulisnya adalah perintah atau tuntunan yang sangat dianjurkan, walau kreditor
tidak memintanya.
Perintah utang piutang dipahami oleh banyak ulama
sebagai anjuran, bukan kewajiban. Demikian praktek para sahabat ketika itu.
Memang sungguh sulit perintah diterapkan diterapkan oleh kaum muslimin ketika
turunnya ayat ini jika perintah menulis hutang piutang bersifat wajib, karena
kepandaian tulis menulis ketika itu sangat langka. Namun demikian ayat ini
mengisyaratkan perlunya belajar tulis menulis, karena dalam hidup ini setiap
orang mengalami pinjam dan meminjamkan.
Sufyan ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
“Ayat ini diturunkan berkaitan dengan masalah salam (mengutangkan) hingga waktu
tertentu. Firman Allah, “hendaklah kamu menuliskannya” merupakan perintah
dari-Nya agar dilakukan pencatatan untuk arsip. Perintah disini merupakan
perintah yang bersifat membimbing, bukan mewajibkan.
Selanjutnya Allah swt menegaskan: “Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan adil.” Yakni dengan benar,
tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat.
Tidak juga merugikan salah satu pihak yang bermuamalah, sebagaimana dipahami
dari kata adil dan di antara kamu. Dengan demikian dibutuhkan tiga kriteria
bagi penulis, yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta
tatacara menulis perjanjian, dan kejujuran.
Ayat ini mendahulukan penyebutan adil daripada
penybutan pengetahuan yang diajarkan Allah. Ini karena keadilan, di samping
menuntut adanya pengetahauan bagi yang akan berlaku adil, juga karena seseorang
yang adil tapi tidak mengetahui, keadilannya akan mendorong dia untuk belajar.
Berbeda dengan yang mengetahui tetapi tidak adil. Ketika itu pengetahuannya
akan digunakan untuk menutupi ketidakadilannya. Ia akan mencari celah hukum
untuk membenarkan penyelewengan dan menghindari saksi.
Selanjutnya kepada para penulis diingatkan, agar
janganlah enggan menulisnya sebagai tanda syukur, sebab Allah telah
mengajarnya, maka hendaklah ia menulis. Penggalan ayat ini meletakkan tanggung
jawab di atas pundak penulis yang mampu, bahkan setiap orang yang memiliki
kemampuan untuk melaksanakan sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
Setelah menjelaskan tentang hukum penulisan hutang
piutang, penulis, kriteria, dan tanggung jawabnya, maka dikemukakan tentang
siapa yang mengimlakkan kandungan perjanjian, yakni dengan firmannya: Dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang disepakati untuk
ditulis. Mengapa yang berhutang, bukan yang memberi hutang? Karena dia dalam
posisi lemah, jika yang memberi hutang yang mengimlakkan, bisa jadi suatu
ketika yang berhutang mengingkarinya. Dengan mengimlakkan sendiri hutangnya,
dan didepan penulis, serta yang memberinya juga, maka tidak ada alasan bagi
yang berhutang untuk mengingkari isi perjanjian. Sambil mengimlakkan segala
sesuatu yang diperlukan untuk kejelasan transaksi, Allah mengingatkan yang
berhutang agar hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya. Kemudian ayat
selanjutnya adalah menyatakan nasihat, janganlah ia mengurangi sedikitpun dari
hutangnya, baik yang berkaitan dengan kadar hutang, waktu, cara pembayaran dan
lain-lain, yang dicakup kesepakatan bersama.
Bagaimana kalau yang berhutang, karena suatu dan
lain hal tidak mampu mengimlakkan? Lanjutan ayat menjelaskannya, jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya, tidak pandai mengurus harta, karena
suatu dan lain sebab, atau lemah keadaannya, seperti sakit, atau sangat tua,
atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, karena bisu atau tidak mengetahui
bahasa yang digunakan, atau boleh jadi malu, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur.
Setelah menjelaskan penulisan, maka uraian berikut
adalah menyangkut persaksian, baik dalam tulis menulis maupun selainnya.
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orng lelaki di antara kamu. Dua orang saksi dimaksud adalah saksi-saksi
lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Atau kalau tidak ada- demikian
tim Departemen Agama RI dan banyak ulama menerjemahkan dan memahami lanjutan
ayat-atau kalau bukan- menurut hemat penulis yakni kalau bukan dua orang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa kesaksian
dua orang lelaki, diseimbangkan dengan satu lelaki dan dua perempuan. Yakni
seseorang lelaki diseimbangkan dengan satu lelaki dan dua perempuan? Ayat ini
menjelaskan bahwa hal tersebut adalah supaya jika salah seorang dari perempuan
itu lupa maka seorang lagi, yakni yang menjadi saksi bersamanya
mengingatkannya. Mengapa kemungkinan ini disebutkan dalam konteks kesaksian
wanita. Apakah karena kemampuan intelektualnya kurang, seperti diduga sementara
ulama atau karena emosinya sering tidak terkendali? Hemat penulis tidak ini dan
tidak itu.
Persoalan ini harus dilihat pada pandangan dasar
Islam tentang tugas utama wanita dan fungsi utama yang dibebankan atasnya.
Al-Quran dan Sunnah mengatur pembagian kerja antara
wanita dan pria, suami dan istri. Suami bertugas mencari nafkah dan dituntut
untuk memberi perhatian utama dalam hal ini untuk menyediakan kecukupan nafkah
untuk anak istrinya. Sedang tugas utama wanita atau istri adalah membina rumah
tangga dan memberi perhatian besar bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa
anak-anaknya. Namun perlu dicatat, bahwa pembagian kerja itu tidak ketat. Tidak
jarang istri para sahabat Nabi ikut bekerja mencari nafkah, karena suaminya
tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan tidak sedikit pula suami yang
melakukan aktivitas di rumah serta mendidik anak-anaknya. Pembagian kerja yang
disebut di atas, dan perhatian berbeda yang dituntut terhadap masing-masing jenis
kelamin, menjadikan kemampuan dan ingatan mereka menyangkut objek perhatiannya
berbeda. Ingatan wanita dalam soal rumah tangga, pastilah lebih kuat dari pria
yang perhatiannya lebih banyak atau seharusnya lebih banyak banyak tertuju
kepada kerja, perniagaan, termasuk hutang piutang. Ingatannya pasti juga lebih
kuat dari wanita yang perhatian utamanya tidak tertuju atau tidak diharapkan
tertuju kesana. Atas dasar besar kecilnya perhatian itulah tuntunan di atas
ditetapkan. Dan, karena al-Quran menghendaki wanita memberi perhatian lebih
banyak kepada rumah tangga atau atas dasar kenyataan pada masa turunnya ayat
ini, wanita-wanita tidak memberi perhatian yang cukup terhadap hutang-piutang,
baik suami tidak mengizinkan keterlibatan mereka maupun oleh sebab lain, maka
kemungkinan mereka lupa lebih besar dari kemungkinannya oleh pria. Karena itu
demi menguatkan persaksian, dua orang wanita diseimbangkan dengan seorang pria,
supaya jika seseorang lupa maka seseorang lakgi mengingatkannya. Sekali lagi
hemat penulis ayat ini tidak berbicara tentang kemampuan intelektual wanita,
tidak juga berarti bahwa kemampuannya menghafal lebih rendah dari kemampuan
pria.
Sebagaimana Allah berpesan kepada para penulis,
kepada para saksipun Allah berpesan, “janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keteranganapabila mereka dipanggil,” karena keengganannya dapat mengakibatkan
hilangnya hak atau terjadi korban.
Yang dinamai saksi adalah orang yang berpotensi
menjadi saksi, walaupun ketika itu dia belum melaksanakan kesaksian, dan dapat
juga secara aktual telah menjadi saksi. Jika anda melihat satu peristiwa,
katakanlah tabrakan, maka ketika itu anda telah berpotensi memikul tugas
kesaksian, sejak saat itu anda telah dapat dinamai saksi walaupun belum lagi
melakukan kesaksian itu di pengadilan. Ayat ini dapat berarti, janganlah
orang-orang yang berpotensi menjadi saksi enggan menjadi saksi apabila mereka
diminta. Memang, banyak orang, sejak dahulu apalagi sekarang, yang enggan
menjadi saksi, akibat berbagai faktor, paling sedikit karena kenyamanan dan
kemaslahatan pribadinya terganggu. Karena itu, mereka perlu dihimbau. Perintah
ini adalah anjuran, apalagi jika ada orang lain yang memberi keterangan, dan
wajib hukumnya bila kesaksiannya mutlak untuk menegakkan keadilan.
Setelah mengingatkakn para saksi, ayat ini kembali
berbicara tentang penulisan hutang piutang, tapu dengan memberi penekanan pada
hutang piutang yang jumlahnya kecil, padahal yang kecilpun dapat menyebabkan
permusuhan, bahkan pembunuhan. Memang menulis yang kecil-kecil, apalagi
seringkali dapat membosankan. Karena itu, ayat ini mengingatkan, janganlah kamu
jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai yakni termasuk batas
waktu membayarnya.
Yang demikian itu, yakni penulisan hutang-piutang
dan persaksian yang dibicarakan itu, lebih adil disisi Allah, yakni dalam
pengetahuan-Nya dan dalam kenyataan hidup, dan lebih dapat menguatkan
persaksian, yakni lebih membantu penegakan persaksian, serta lebih dekat kepada
tidak menimbulkan keraguan di antara kamu.
Petunjuk-petunjuk di atas adalah jika muammalah
dilakukan dalam bentuk hutang-piutang. Tetapi jika ia merupakan perdagangan
tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu (jika)
kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; perintah
di sini oleh mayoritas ulama dipahami sebagai petunjuk umum, bukan perintah
wajib.
Saksi dan penulis yang diminta atau diwajibkan untuk
menulis dan menyaksikan, tentu saja maempunyai aneka kepentingan pribadi atau
keluarga; kehadirannya sebagai saksi, dan atau tugasnya menulis, dapat
mengganggu kepentingannya. Di sisi lain, mereka yang melakukan transaksi jual
beli atau hutang piutang itu, dapat juga mengalami kesulitan dari para penulis
dan saksi jika karena menyelewengkan kesaksiasn atau menyalahi ketentuan
penulisan. Karena itu Allah berpesan dengan menggunakan satu redaksi yang dapat
dipahami sebagai tertuju kepada penulis saksi, kepada penjual dan pembeli,
serta yang berhutang dan pemberi hutang. Wala yudharra katibun wa la syahid,
dapat berarti janganlah penulis dan saksi memudharatkan yang bermuamalah, dan
dapat juga berarti janganlah yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan
penulis.
Salah satu bentuk dari mudharat yang dapat dialami
oleh saksi dan penulis adalah hilangnya kesempatan memperoleh rejeki, karena
itu tidak ada salahnya memberikan mereka ganti transport dan biaya administrasi
sebagai imbalan jeri payah dan penggunakan waktu mereka. Di sisi lain, para
penulis dan saksi hendaknya tidak juga merugikan yang bermuamalah dengan
memperlambat kesaksian, apalagi menyembunyikannya, atau melakukan penulisan
yang tidak sesuai dengan kesepakatan mereka. Jika kamu, wahai para saksi dan
penulis serta yang melakukan muammalah, melakukan yang demikian, maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.
Kefasikan terambil dari akar kata yang bermakana
terkelupasnya kulit sesuatu. Kefasikan adalah keluarnya seseorang dari ketaatan
kepada Allah swt atau dengan kata lain kedurhakaan. Ini berarti, siapa pun yang
melakukan suatu aktivitas yang mengakibatkan kesulitan bagi orang lain, maka
dia dinilai durhaka kepada Allah serta keluar dari ketaatan kepada-Nya.
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Dan bertaqwalah
kepada Allah mengajar kamu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Menutup
ayat ini dengan perintah bertaqwa yang disusul dengan mengingatkan pengajaran
ilahi, merupakan penutup yang amat tepat, karena seringkali yang melakukan
transaki perdagangan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dengan berbagai
cara terselubung untuk mencari keuntungan sebanyak mungkin. Dari sini
peringatan tentang perlunya taqwa serta mengingat pengajaran Ilahi menjadi
sangat tepat.[8]
I.
Kandungan
Hukum
Akad salam
ini dibolehkan dalam syariah Islam karena punya hikmah dan manfaat yang besar, dimana
kebutuhan manusia dalam bermuamalat seringkali tidak bisa dipisahkan dari
kebutuhan atas akad ini. Kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli bisa
sama-sama mendapatkankeuntungan dan manfaat dengan menggunakan akad
salam.Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa:
1.
Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia
inginkan.
2.
Sebagaimana
ia juga mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan
dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada barang tersebut.Sedangkan
penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli,
diantaranya:
3.
Penjual
mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal,
sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar
bunga. Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang
pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajibanapapun.
4.
Penjual
memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya
tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup
lama.[9]
J.
Contoh Akad Salam
Secara ilustrasi, akad salam ini bisa digambarkan:
Misalnya
seorang petani yang membutuhkan modal untuk menanam. Dia butuh bibit,pupuk,
obat hama dan biaya lainnya. Dengan akad salam ini,dia bisa menjual hasil
panennya sebelum dia menanam. Namun yang membedakannya dengan sistem ijon
yang haram itu adalah dalam akad salam ini, hasil panen yang dijual harus
ditetapkan spesifikasinya sejak akad disepakati secara tepat. Baik jenisnya
kualitas, kuantitas dan lainnya.Tidak boleh digantungkan pada semata-mata hasil
panen. Sehingga apabila hasil panennya tidak sesuai dengan spesifikasi yang
sudah disepakati, hutangnya dianggap tetap belum terbayar. Petani itu wajib
membayar dengan hasil panen yang sesuai dengan spesifikasi yang sudah
disepakati,bagaimana pun caranya termasuk dengan membeli dari petani lain. Sedangkan
sistem ijon itu haram, karena barang yang dijual semata-mata apa adanya dari
hasil panen. Bila hasil panennya jelek atau tidak sesuai harapan, maka yang
membeli hasil panen itu rugi. Sebaliknya, bila hasilnya bagus,maka boleh jadi
petaninya yang rugi, karena harga jualnya jauh lebih rendah dari harga
pasar yang berlaku saat itu.[10]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ayat tersebut menganjurkan kepada manusia untuk
mencatat apabila melakukan suatu hutang piutang. Hal tersebut biar tidak
terjadi suatu perselisihan dikemudian hari apabila tersjadi suatu permasalahan
yang timbul selama berjalannya transaksi hutang sampai kepada suatu pelunasan.
Apabila terjadi suatu masalah, tinggal dibuka saja catatan-catatan perjanjian
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Ascarya. Akad dan Produk Bank
Syariah.
Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2008.
Ismail. Perbankan
Syariah.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
http://ekonomiislamindonesia.blogspot.co.id/2012/08/tafsir-ekonomi-al-quran-surat-al.html di akses tanggal 12 Mei 2016
http://suriantinasutionumy.wordpress.com/2013/04/24/tafsir-qs-al-baqarah-282-utang-piutang/ diakses tanggal 09 Mei 2016
[1] Ismail, Perbankan
Syariah (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 152.
[2] Ibid, hlm.
153.
[3] Ascarya, Akad
dan Produk Bank Syariah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 90.
[4] Ibid, hlm. 91.
[5] Ibid, hlm. 91.
[6] Ibid, hlm. 93.
[7] http://suriantinasutionumy.wordpress.com/2013/04/24/tafsir-qs-al-baqarah-282-utang-piutang/ diakses tanggal 09 Mei 2016
[8] http://ekonomiislamindonesia.blogspot.co.id/2012/08/tafsir-ekonomi-al-quran-surat-al.html di akses tanggal 12 Mei 2016
[9]
http://syariah99.blogspot.co.id/2013/05/fiqih-muamalah-akad-salam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar