Senin, 24 April 2017

salam



MAKALAH

SALAM
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Telaah Teks Arab Hukum Ekonomi Syari’ah (HES)
Dosen Pengampu: Ahmad Zayyadus Zabidi
STAINColor






Disusun Oleh:
ARWANI
DURROTUN NASHIHAH
FAIZAL FANANI
NIRI ARIANSYAH
REVIA QONITA JAUHARI

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
HUKUM EKONOMI SYARI’AH
PAMEKASAN
2016
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin segala puji bagi Allah yang Maha Esa, Tuhan pemberi rezeki, Tuhan yang Maha memuliakan dan Maha menghinakan. Manusia hanya dapat berusaha dan Tuhan yang mengabulkan atas usaha kita, oleh karena itu kami sangat bersyukur kepada Allah karena kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Salawat dan salam kami haturkan bagi Nabi Muhammad, makhluk pilihan Allah untuk mengajak manusia kejalan yang diridlai-Nya.
Kami ucapkan terima kasih juga kepada teman-teman yang telah memberikan dukungan kepada kami dalam menyelesaikan tugas makalah ini. Kami hanya manusia biasa yang tidak dapat mengerjakan pekerjaan sendirian. Tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang juga telah memberikan semangat kepada kami.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan dari para pembaca supaya makalah ini kedepannya menjadi lebih  baik dan tidak terdapat kesalahan-kesalahan lagi.
Akhirnya atas perhatian para pembaca kami ucapkan terima kasih.



                                                                          


                                                                           Penulis



DAFTAR ISI

HALAMAN AWAL  ………………………………………………………..    i
KATA PENGANTAR  ..................................................................................   ii
DAFTAR ISI                                                                                                                           .................................................................................................. iii
BAB I             : PENDAHULUAN  ...............................................................   1
A.  Latar Belakang Masalah   ..................................................   1
B.  Rumusan Masalah    ...........................................................   1
C.  Tujuan Masalah   ................................................................   2
BAB II           : PEMBAHASAN ...................................................................   3
A.  Pengartian Salam       .........................................................   3
B.   Rukun dan Syarat salam      ...............................................   4
C.   Naskah Ayat al-Baqarah ayat 282  ....................................   5
D.  Terjemah    .........................................................................   5
E.   Makna Mufradat  ...............................................................   6
F.    Munasabah Ayat  ...............................................................   9
G.  Asbab an-Nuzul   ............................................................... 10
H.  Tafsir Ayat  ........................................................................ 10
I.     Kandungan Hukum  .......................................................... 17
J.     Contoh Akad Salam  ......................................................... 17
BAB III          : PENUTUP   .......................................................................... 19
A.  Kesimpulan      ………………………………………....... 19
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 20


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Pada jaman sekarang, dimana banyak sekali suatu kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Hal tersebut dimaksudkan agar kehidupan manusia bisa tetap eksis dan nyaman. Dengan berbagai macam kebutuhan tersebut otomatis tiap-tiap manusia melakukan kegiatan yang dinamakan transaksi. Banyaknya suatu transaksi itu menyebabkan banyak orang melakukan hutang. Hal tersebut terjadi ketika manusia tidak bisa membayar kebutuhan yang diinginkannya, akan tetapi mereka membutuhkan barang-barang yang dihutang itu. Oleh karena itu diperlukannya suatu hukum untuk mengatur bagaimana cara hutang yang benar. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan mencari dalil-dalil yang berkaitan dengan transaksi hutang piutang, begitu pula dengan analisa tafsir yang digunakan untuk memperjelas tentang bagaimana transaksi hutang yang benar.

B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas penulis merumuskan beberapa masalagh sebagai berikut:
1.         Apa pengertian akad salam?
2.         Apa rukun dan syarat akad salam?
3.         Bagaimana bunyi dalil surat al-Baqarah ayat 282?
4.         Bagaimana terjemah ayat tersebut?
5.         Apa makna mufradat ayat tersebut?
6.         Apa munasabah ayat tersebut dengan ayat lainnya?
7.         Bagaimana asbab an-Nuzulnya?
8.         Bagaimana tafsir ayat tersebut?
9.         Apa kandungan hukum ayat tersebut?
10.     Bagamana contoh akad salam?


C.      Tujuan Masalah
dari rumusan masalah di atas penulis memiliki beberapa tujuan yang dicapai, yaitu:
1.         Ingin mengetahui pengertian akad salam
2.    Ingin mengetahui rukun dan syarat akad salam
3.    Ingin mengetahui bunyi dalil surat al-Baqarah ayat 282
4.    Ingin mengetahui terjemah ayat tersebut
5.    Ingin mengetahui mufradat ayat tersebut
6.    Ingin mengetahui munasabah ayat tersebut dengan ayat lainnya
7.    Ingin mengetahui asbab an-Nuzulnya
8.    Ingin mengetahui tafsir ayat tersebut
9.         Ingin mengetahui kandungan hukum ayat tersebut
10.     Ingin mengetahui contoh akad salam

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Akad Salam
Salam secara etimologi artinya pendahuluan, dan secara muamalah adalah penjualan suatu barang yang disebutkan sifat-sifatnya sebagai persyaratan jual beli dan barang yang dibeli masih dalam tanggungan penjual, dimana syaratnya ialah mendahulukan pembayaran pada waktu akad. Salam adalah akad jual beli barang pesanan antara pembeli dan penjual dengan pembayaran dilakukan di muka pada saat akad dan pengiriman barang dilakukan pada saat akhir kontrak. Barang disini harus jelas spesifikasinya.[1]
Spesifikasi barang pesanan telah disepakati oleh pembeli disepakati oleh penjual dan pembeli di awal akad. Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati. Jika barang pesanan itu tidak sesuai dengan spesifikasi yang tertuang dalam akad, maka bank sayaria’ah mengembalikannya kepada penjual. Bila barang pesanan  pada saat diterima oleh bank harganya lebih rendah dibanding pada saat akad, maka selisihnya merupakan kerugian pembeli (bank syari’ah). Sebaliknya, bila harga barang pesanan pada saat diterima lebih tinggi, maka selisihnya diakui sebagai keuntungan salam. [2]
Salam diperbolehkan oleh Rasulullah Saw. Dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Tujuan utama dari jual beli salam adalah untuk memenuhi kebutuhan para petani kecil yang memerlukan modal untuk memulai masa tanam dan untuk menghidupi keluarganya sampai musim panen tiba. Setelah pelarangan Riba, mereka tidak dapat lagi mengambil pinjaman riba untuk keperluan ni sehngga diperbolehkan bagi mereka untuk menjual produk pertaniannya dimuka.[3]
Salam bermanfaat bagi penjual karena mereka menerima pembayaran dimuka. Salam juga bermanfaat bagi pembeli karena pada umumnya harga dengan akad salam lebih murah dari pada dengan akad tunai.[4]

B.       Rukun dan Syarat Akad Salam
Rukun dari akad salam yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa yaitu:
1.    Pelaku akad, yaitu muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang, dan muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok atau memproduksi barang pesanan.
2.    Objek akad, yaitu barang atau hasil prodksi (muslam fiih) dengan spesifikasinya dan harga (tsaman)
3.    Shighah, yaitu ijab dan qabul.[5]
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad salam.
1.    Pembeli harus membayar penuh barang yang dipesan pada saat akad salam ditandatangani.
2.    Salam hanya boleh digunakan untuk jual beli komoditas yang kualitas dan kuantitasnya dapat ditentukan dengan tepat. Komoditas yang tidak dapat ditentukan kuntitas dan kualitasnya  tidak dapat dijual mengunakan akad salam
3.    Salam tidak dapat dilakukan untuk jual beli komoditas tertentu atau produk dan lahan pertanian atau peternakan tertentu.
4.    Tanggal dan tempat penyerahan barang yang pasti harus ditetapkan dalam kontrak.
5.    Salam tidak dapat dilakukan utuk barang-barang yang harus diserahkan langsung.[6]



C.      Dalil Dasar Akad Salam Q.S al-Baqarah 2 : 282
يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلَى اَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ وَالْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلاَ يَاْبَ كَاتِبٌ اَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللهُ فَالْيَكْتُبْ وَالْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَالْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَاِنْ كَانَ الَّذِى عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيْهًا اَوْ ضَعِيْفًا اَوْ لاَ يَسْتَطِيْعُ اَنْ يُمِلَّ هُوَ فَالْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَاِنْ لَمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَاَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدَاهُمَا الْاُخْرَى وَلاَيَاْبَ الشُّهَدَاءُ اِذَا مَا دُعُوْا وَلاَ تَسْئَمُوْا اَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا اَوْ كَبِيْرًا اِلَى اَجَلِهِ ذَلِكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ وَاَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَاَدْنَى اَلَّا تَرْتَابُوا اِلاَّ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَلاَّ تَكْتُبُوْهَا وَاَشْهِدُوا اِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلاَ يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلاَ شَهِيْدٌ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهُ فُسُوْقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَئٍ عَلِيْمٌ
D.      Terjemah
“Wahai orang-orang yang beriman! apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.Den hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah orang yang berhutang itu mendektekan, dan hendaklah dia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya, dan jangalah dia mengurangi sedikitpun dari padanya. Jika yang berhutang itu kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendektekan sendiri, maka hendaklah walinya mendektekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua oranng saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki dan dua orang perempuan diantara oranng-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-skasi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidak raguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya.  Dan ambilah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu sungguh kefasikan kepada kamu. Dan bertaqwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepada kamu, dan Allah maha mengetahui segala sesuatu.”

E.       Makna Mufradat
يايها
Wahai
الذين
Orang-orang yang
ءامنوا
Beriman
اذا
Apabila
تداينتم
Kalian  berutang piutang
بدين
Dengan utang
الى اجل
Sampai waktu
مسمى
Yang ditentukan
فاكتبوه
Maka catatlah dia
واليكتب
Dan catatlah
بينكم
Di antara kalian
كاتب
Seorang penulis
بالعدل
Dengan adil
ولا ياب
Dan janganlah enggan
ان
Bahwa
يكتب
Menulis
كما
Sebagaimana
علمه الله
Allah telah mengajarkan
واليملل
Dan hendaklah mendektekan
الذي
Yang
عليه
Atasnya
الحق
Hak
واليتق الله
Dan bertaqwalah kepada Allah
ربه
Tuhannya
ولا يبخس
Dan janganlah ia mengurangi
منه
Darinya
شيئا
Sesuatu
فان
Maka jika
كان
Dia
سفيها
Lemah akal
او
Atau
ضعيفا
Lemah
لا يستطيع
Ia tidak mampu
يمل
Membacanya
هو
Dia
فاليملل
Maka hendaklah membacanya
وليه
Walinya
واستشهدوا
Dan persaksikanlah
شهيدين
Dua orang saksi
من رجالكم
Dari laki-laki kalian
لم
Tidak
يكون
Ada
رجلين
Dua orang laki-laki
فرجل
Maka seorang laki-laki
وامراتان
Dan dua orang perempuan
ممن
Dari orang yang
ترضون
Kalian ridoi
من الشهداء
Dari saksi-saksi
تضل
Lupa
احداهما
Salah seorang dari keduanya
فتذكر
Maka mengingatkan
الاخرى
Yang lain
اذا
Apabila
مادعوا
Mereka dipanggil
ولا تسئمو
Dan jangan jemu
تكتبوه
Menuliskannya
صغيرا
Kecil
كبيرا
Besar
ذلكم
Demikian itu
اقسط
Lebih adil
عندالله
Di sisi Allah
واقوم
Dan lebih menguatkan
للشهادة
Lagi persaksian
وادنى
Dan leih dekat
الا ترتابوا
Untuk tidak menimbulkan keragu-raguan
الا
Kecuali
تكون
Muamalah itu
تجارة
Perdagangan
حاضرة
Yang hadir
تضيرونها
Kalian jalankan
فليس
Maka tidak ada
عليكم
Atas kalian
جناح
Dosa
الا تكتبوها
Untuk tidak kalian menulisnya
واشهدوا
Dan persaksikanlah
تبايعتم
Kalian berjual beli
ولا يضار
Dan janganlah sulit menyulitkan
وان
Dan jika
تفعلوا
Kalian lakukan
فسوق
Kefasikan
بكم
Kepada kalian
ويعلمكم الله
Dan Allah mengajar kalian
بكل شئ
Dengan segala sesuatu
عليم
Maha mengetahui

F.       Munasabah Ayat
Munasabah Ayat dalam hal ini dilakukan dengan munasabah antar ayat yang merupakan penjelasan lebih lanjut dengan ayat berikutnya yang dirinci sebagai berikut: Dalam surat Al-Baqarah ayat 282 bahwasannya yang dimaksud utang piutang adalah meminjam atau memberi pinjaman yang merupakan salah satu bentuk kegiatan bermuamalah. Dalam ayat ini, Allah menunjukkan beberapa aturan kepada para hamba-Nya apabila mereka bermuamalat dengan cara utang piutang dan pengembalian dalam jangka waktu tertentu, maka hendaklah menulis perjanjian dengan menghadirkan dua orang saksi yang mampu bersikap adil. Pada surat al-Baqarah ayat 282 memiliki kaitan dengan surat al-Baqarah ayat 283 bahwa salah satu bentuk utang piutang adalah melakukan transaksi tidak tunai (utang-piutang) yang dilakukan dalam perjalanan. Dengan demikian, orang yang berpiutang hendaknya diberikan barang tangguhan apabila masing-masing pihak tidak saling percaya. Apabila masing-masing pihak tersebut saling percaya dan menyerahkan diri kepada Allah, maka barang tangguhan tersebut tidak diperlukan. Sesengguhnya allah mengetahui segala perbuatan manusia.

G.      Asbab an-Nuzul
Pada waktu Rasullullah saw datang ke Madinah pertama kali, orang-orang penduduk asli biasa menyewakan kebunnya dalam waktu satu, dua atau tiga tahun. Oleh sebab itu Rosul bersabda: “Barang siapa menyewakan (mengutangkan sesuatu hendaklah dengan timbangan atau ukuran yang tertentu dan daam jangka waktu yang tertentu pula” sehubungan dengan itu Allah swt menurunkan ayat 282 sebagai perintah apabila mereka melakukan utang piutang maupun dalam jangka waktu tertentu hendaklah ditulis perjanjian an mendatangkan saksi. Hal mana untuk menjaga terjadinya sengketa pada waktu-waktu yang akan mendatang (H.R. Bukhari dari Sofyan bin Uyainah dari ibnu Abi Najih Abdillah bin Katsir dari Minhal dari ibnu Abbas).[7]

H.      Tafsir Ayat
Inilah ayat terpanjang dalam al-Quran, dan yang dikenal oleh para ulama dengan nama ayat al-mudayanah (ayat utang piutang). Ayat ini antara lain berbicara tentang anjuran atau menurut sebagian ulama kewajiban menulis utang piutang dan mempersaksikannya dihadapan pihak ketiga yang dipercaya (notaris), sambil menekankan perlunya menulis utang walau sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya.
Ayat ini ditempatkan setelah uraian tentang anjuran bersedekah dan berinfaq (ayat 271-274), kemudian disusul dengan larangan melakukan riba (ayat 275-279), serta anjuran memberi tangguh kepada yang tidak mampu atau bahkan menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu (ayat 280). Penempatan uraian tentang anjuran atau kewajiban menulis hutang piutang setelah anjuran dan larangan di atas, mengandung makna tersendiri. Anjuran bersedekah dan melakukan infaq di jalan Allah, merupakan pengejawantahan rasa kasih sayang yang murni; selanjutnya larangan riba merupakan pengejawantahan kekejaman dan kekerasan hati, maka dengan perintah menulis hutang piutang yang mengakibatkan terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang mengakibatkan terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang didambakan al-Quran, sehingga lahir jalan tengah antara rahmat murni yang diperankan oleh sedekah dengan kekejaman yang diperagakan oleh pelaku riba.
Larangan mengambil keuntungan melalui riba dan perintah bersedekah, dapat menimbulkan kesan bahwa al-Quran tidak bersimpati terhadap orang yang memiliki harta atau mengumpulkannya. Kesan keliru itu dihapus melalui ayat ini, yang intinya memerintahkan memelihara harta dengan menulis hutang piutang walau sedikit, serta mempersaksikannya. Seandainya kesan itu benar, tentulah tidak akan ada tuntutan yang sedemikian rinci menyangkut pemeliharaan dan penulisan hutang piutang.
Ayat 282 ini dimulai dengan seruan Allah swt kepada kaum yang menyatakan beriman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.”
Perintah ayat ini secara redaksional ditunjukkan kepada orang-orang beriman, tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi hutang-piutang, bahkan yang lebih khusus adalah yang berhutang. Ini agar yang memberi piutang merasa lebih tenang dengan penulisan itu, karena menulisnya adalah perintah atau tuntunan yang sangat dianjurkan, walau kreditor tidak memintanya.
Perintah utang piutang dipahami oleh banyak ulama sebagai anjuran, bukan kewajiban. Demikian praktek para sahabat ketika itu. Memang sungguh sulit perintah diterapkan diterapkan oleh kaum muslimin ketika turunnya ayat ini jika perintah menulis hutang piutang bersifat wajib, karena kepandaian tulis menulis ketika itu sangat langka. Namun demikian ayat ini mengisyaratkan perlunya belajar tulis menulis, karena dalam hidup ini setiap orang mengalami pinjam dan meminjamkan.
Sufyan ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Ayat ini diturunkan berkaitan dengan masalah salam (mengutangkan) hingga waktu tertentu. Firman Allah, “hendaklah kamu menuliskannya” merupakan perintah dari-Nya agar dilakukan pencatatan untuk arsip. Perintah disini merupakan perintah yang bersifat membimbing, bukan mewajibkan.
Selanjutnya Allah swt menegaskan: “Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan adil.” Yakni dengan benar, tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak juga merugikan salah satu pihak yang bermuamalah, sebagaimana dipahami dari kata adil dan di antara kamu. Dengan demikian dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis, yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tatacara menulis perjanjian, dan kejujuran.
Ayat ini mendahulukan penyebutan adil daripada penybutan pengetahuan yang diajarkan Allah. Ini karena keadilan, di samping menuntut adanya pengetahauan bagi yang akan berlaku adil, juga karena seseorang yang adil tapi tidak mengetahui, keadilannya akan mendorong dia untuk belajar. Berbeda dengan yang mengetahui tetapi tidak adil. Ketika itu pengetahuannya akan digunakan untuk menutupi ketidakadilannya. Ia akan mencari celah hukum untuk membenarkan penyelewengan dan menghindari saksi.
Selanjutnya kepada para penulis diingatkan, agar janganlah enggan menulisnya sebagai tanda syukur, sebab Allah telah mengajarnya, maka hendaklah ia menulis. Penggalan ayat ini meletakkan tanggung jawab di atas pundak penulis yang mampu, bahkan setiap orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
Setelah menjelaskan tentang hukum penulisan hutang piutang, penulis, kriteria, dan tanggung jawabnya, maka dikemukakan tentang siapa yang mengimlakkan kandungan perjanjian, yakni dengan firmannya: Dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang disepakati untuk ditulis. Mengapa yang berhutang, bukan yang memberi hutang? Karena dia dalam posisi lemah, jika yang memberi hutang yang mengimlakkan, bisa jadi suatu ketika yang berhutang mengingkarinya. Dengan mengimlakkan sendiri hutangnya, dan didepan penulis, serta yang memberinya juga, maka tidak ada alasan bagi yang berhutang untuk mengingkari isi perjanjian. Sambil mengimlakkan segala sesuatu yang diperlukan untuk kejelasan transaksi, Allah mengingatkan yang berhutang agar hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya. Kemudian ayat selanjutnya adalah menyatakan nasihat, janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya, baik yang berkaitan dengan kadar hutang, waktu, cara pembayaran dan lain-lain, yang dicakup kesepakatan bersama.
Bagaimana kalau yang berhutang, karena suatu dan lain hal tidak mampu mengimlakkan? Lanjutan ayat menjelaskannya, jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya, tidak pandai mengurus harta, karena suatu dan lain sebab, atau lemah keadaannya, seperti sakit, atau sangat tua, atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, karena bisu atau tidak mengetahui bahasa yang digunakan, atau boleh jadi malu, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.
Setelah menjelaskan penulisan, maka uraian berikut adalah menyangkut persaksian, baik dalam tulis menulis maupun selainnya.
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orng lelaki di antara kamu. Dua orang saksi dimaksud adalah saksi-saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Atau kalau tidak ada- demikian tim Departemen Agama RI dan banyak ulama menerjemahkan dan memahami lanjutan ayat-atau kalau bukan- menurut hemat penulis yakni kalau bukan dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa kesaksian dua orang lelaki, diseimbangkan dengan satu lelaki dan dua perempuan. Yakni seseorang lelaki diseimbangkan dengan satu lelaki dan dua perempuan? Ayat ini menjelaskan bahwa hal tersebut adalah supaya jika salah seorang dari perempuan itu lupa maka seorang lagi, yakni yang menjadi saksi bersamanya mengingatkannya. Mengapa kemungkinan ini disebutkan dalam konteks kesaksian wanita. Apakah karena kemampuan intelektualnya kurang, seperti diduga sementara ulama atau karena emosinya sering tidak terkendali? Hemat penulis tidak ini dan tidak itu.
Persoalan ini harus dilihat pada pandangan dasar Islam tentang tugas utama wanita dan fungsi utama yang dibebankan atasnya.
Al-Quran dan Sunnah mengatur pembagian kerja antara wanita dan pria, suami dan istri. Suami bertugas mencari nafkah dan dituntut untuk memberi perhatian utama dalam hal ini untuk menyediakan kecukupan nafkah untuk anak istrinya. Sedang tugas utama wanita atau istri adalah membina rumah tangga dan memberi perhatian besar bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa anak-anaknya. Namun perlu dicatat, bahwa pembagian kerja itu tidak ketat. Tidak jarang istri para sahabat Nabi ikut bekerja mencari nafkah, karena suaminya tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan tidak sedikit pula suami yang melakukan aktivitas di rumah serta mendidik anak-anaknya. Pembagian kerja yang disebut di atas, dan perhatian berbeda yang dituntut terhadap masing-masing jenis kelamin, menjadikan kemampuan dan ingatan mereka menyangkut objek perhatiannya berbeda. Ingatan wanita dalam soal rumah tangga, pastilah lebih kuat dari pria yang perhatiannya lebih banyak atau seharusnya lebih banyak banyak tertuju kepada kerja, perniagaan, termasuk hutang piutang. Ingatannya pasti juga lebih kuat dari wanita yang perhatian utamanya tidak tertuju atau tidak diharapkan tertuju kesana. Atas dasar besar kecilnya perhatian itulah tuntunan di atas ditetapkan. Dan, karena al-Quran menghendaki wanita memberi perhatian lebih banyak kepada rumah tangga atau atas dasar kenyataan pada masa turunnya ayat ini, wanita-wanita tidak memberi perhatian yang cukup terhadap hutang-piutang, baik suami tidak mengizinkan keterlibatan mereka maupun oleh sebab lain, maka kemungkinan mereka lupa lebih besar dari kemungkinannya oleh pria. Karena itu demi menguatkan persaksian, dua orang wanita diseimbangkan dengan seorang pria, supaya jika seseorang lupa maka seseorang lakgi mengingatkannya. Sekali lagi hemat penulis ayat ini tidak berbicara tentang kemampuan intelektual wanita, tidak juga berarti bahwa kemampuannya menghafal lebih rendah dari kemampuan pria.
Sebagaimana Allah berpesan kepada para penulis, kepada para saksipun Allah berpesan, “janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keteranganapabila mereka dipanggil,” karena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban.
Yang dinamai saksi adalah orang yang berpotensi menjadi saksi, walaupun ketika itu dia belum melaksanakan kesaksian, dan dapat juga secara aktual telah menjadi saksi. Jika anda melihat satu peristiwa, katakanlah tabrakan, maka ketika itu anda telah berpotensi memikul tugas kesaksian, sejak saat itu anda telah dapat dinamai saksi walaupun belum lagi melakukan kesaksian itu di pengadilan. Ayat ini dapat berarti, janganlah orang-orang yang berpotensi menjadi saksi enggan menjadi saksi apabila mereka diminta. Memang, banyak orang, sejak dahulu apalagi sekarang, yang enggan menjadi saksi, akibat berbagai faktor, paling sedikit karena kenyamanan dan kemaslahatan pribadinya terganggu. Karena itu, mereka perlu dihimbau. Perintah ini adalah anjuran, apalagi jika ada orang lain yang memberi keterangan, dan wajib hukumnya bila kesaksiannya mutlak untuk menegakkan keadilan.
Setelah mengingatkakn para saksi, ayat ini kembali berbicara tentang penulisan hutang piutang, tapu dengan memberi penekanan pada hutang piutang yang jumlahnya kecil, padahal yang kecilpun dapat menyebabkan permusuhan, bahkan pembunuhan. Memang menulis yang kecil-kecil, apalagi seringkali dapat membosankan. Karena itu, ayat ini mengingatkan, janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai yakni termasuk batas waktu membayarnya.
Yang demikian itu, yakni penulisan hutang-piutang dan persaksian yang dibicarakan itu, lebih adil disisi Allah, yakni dalam pengetahuan-Nya dan dalam kenyataan hidup, dan lebih dapat menguatkan persaksian, yakni lebih membantu penegakan persaksian, serta lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguan di antara kamu.
Petunjuk-petunjuk di atas adalah jika muammalah dilakukan dalam bentuk hutang-piutang. Tetapi jika ia merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; perintah di sini oleh mayoritas ulama dipahami sebagai petunjuk umum, bukan perintah wajib.
Saksi dan penulis yang diminta atau diwajibkan untuk menulis dan menyaksikan, tentu saja maempunyai aneka kepentingan pribadi atau keluarga; kehadirannya sebagai saksi, dan atau tugasnya menulis, dapat mengganggu kepentingannya. Di sisi lain, mereka yang melakukan transaksi jual beli atau hutang piutang itu, dapat juga mengalami kesulitan dari para penulis dan saksi jika karena menyelewengkan kesaksiasn atau menyalahi ketentuan penulisan. Karena itu Allah berpesan dengan menggunakan satu redaksi yang dapat dipahami sebagai tertuju kepada penulis saksi, kepada penjual dan pembeli, serta yang berhutang dan pemberi hutang. Wala yudharra katibun wa la syahid, dapat berarti janganlah penulis dan saksi memudharatkan yang bermuamalah, dan dapat juga berarti janganlah yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis.
Salah satu bentuk dari mudharat yang dapat dialami oleh saksi dan penulis adalah hilangnya kesempatan memperoleh rejeki, karena itu tidak ada salahnya memberikan mereka ganti transport dan biaya administrasi sebagai imbalan jeri payah dan penggunakan waktu mereka. Di sisi lain, para penulis dan saksi hendaknya tidak juga merugikan yang bermuamalah dengan memperlambat kesaksian, apalagi menyembunyikannya, atau melakukan penulisan yang tidak sesuai dengan kesepakatan mereka. Jika kamu, wahai para saksi dan penulis serta yang melakukan muammalah, melakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.
Kefasikan terambil dari akar kata yang bermakana terkelupasnya kulit sesuatu. Kefasikan adalah keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Allah swt atau dengan kata lain kedurhakaan. Ini berarti, siapa pun yang melakukan suatu aktivitas yang mengakibatkan kesulitan bagi orang lain, maka dia dinilai durhaka kepada Allah serta keluar dari ketaatan kepada-Nya.
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Dan bertaqwalah kepada Allah mengajar kamu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Menutup ayat ini dengan perintah bertaqwa yang disusul dengan mengingatkan pengajaran ilahi, merupakan penutup yang amat tepat, karena seringkali yang melakukan transaki perdagangan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dengan berbagai cara terselubung untuk mencari keuntungan sebanyak mungkin. Dari sini peringatan tentang perlunya taqwa serta mengingat pengajaran Ilahi menjadi sangat tepat.[8]



I.         Kandungan Hukum
Akad salam ini dibolehkan dalam syariah Islam karena punya hikmah dan manfaat yang besar, dimana kebutuhan manusia dalam bermuamalat seringkali tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan atas akad ini. Kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli bisa sama-sama mendapatkankeuntungan dan manfaat dengan menggunakan akad salam.Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa:
1.    Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.
2.    Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada barang tersebut.Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
3.    Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga. Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajibanapapun.
4.    Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.[9]

J.        Contoh Akad Salam
Secara ilustrasi, akad salam ini bisa digambarkan:
Misalnya seorang petani yang membutuhkan modal untuk menanam. Dia butuh bibit,pupuk, obat hama dan biaya lainnya. Dengan akad salam ini,dia bisa menjual hasil panennya sebelum dia menanam. Namun yang membedakannya dengan sistem ijon yang haram itu adalah dalam akad salam ini, hasil panen yang dijual harus ditetapkan spesifikasinya sejak akad disepakati secara tepat. Baik jenisnya kualitas, kuantitas dan lainnya.Tidak boleh digantungkan pada semata-mata hasil panen. Sehingga apabila hasil panennya tidak sesuai dengan spesifikasi yang sudah disepakati, hutangnya dianggap tetap belum terbayar. Petani itu wajib membayar dengan hasil panen yang sesuai dengan spesifikasi yang sudah disepakati,bagaimana pun caranya termasuk dengan membeli dari petani lain. Sedangkan sistem ijon itu haram, karena barang yang dijual semata-mata apa adanya dari hasil panen. Bila hasil panennya jelek atau tidak sesuai harapan, maka yang membeli hasil panen itu rugi. Sebaliknya, bila hasilnya bagus,maka boleh jadi petaninya yang rugi, karena harga jualnya jauh lebih rendah dari harga pasar yang berlaku saat itu.[10]





















BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Ayat tersebut menganjurkan kepada manusia untuk mencatat apabila melakukan suatu hutang piutang. Hal tersebut biar tidak terjadi suatu perselisihan dikemudian hari apabila tersjadi suatu permasalahan yang timbul selama berjalannya transaksi hutang sampai kepada suatu pelunasan. Apabila terjadi suatu masalah, tinggal dibuka saja catatan-catatan perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
 
DAFTAR PUSTAKA

Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Ismail. Perbankan Syariah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.


[1] Ismail, Perbankan Syariah (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 152.
[2] Ibid, hlm. 153.
[3] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 90.
[4] Ibid, hlm. 91.
[5] Ibid, hlm. 91.
[6] Ibid, hlm. 93.

[9] http://syariah99.blogspot.co.id/2013/05/fiqih-muamalah-akad-salam.html
[10] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar