Senin, 24 April 2017

tabungan syariah




TABUNGAN SYARI’AH
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Tela’ah Teks Arab
Dosen pengampu: Muhammad Zayyadus Zabidi

Disusun Oleh:
Kelompok 8
Ahmad Suyuti
Nur Hasanah
Taufiqurrahman



 














PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PAMEKASAN
2016



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dari kehidupan pada zaman Rasulullah SAW bahkan zaman sebelumnya sampai dizaman yang modern sekarang ini, kelangsungan dan kesejahteraan hidup manusia tidak pernah terlepas dari kegiatan ekonomi.Mulai saat manusia mulai membuka mata mereka di pagi hari hingga tidur kembali, semua aktifitas manusia merupakan aktifitas ekonomi.
Aktifitas ekonomi merupakan aktifitas menggunakan atau mengkonsumsi suatu barang atau jasa.Hal ini pasti dan tidak dapat dipungkiri oleh manusia bahwa mereka melakukannya demi kelangsungan dan kesejahteraan hidup mereka.Namun, suatu barang atau jasa yang tersedia di bumi ini memilki batas untuk terus dikonsumsi.Sedangkan sifat konsumtif manusia tidak pernah terbatas serta diiringi dengan jumlah manusia yang semakin banyak.
Oleh karena itu, manusia berbondong-bondong melakukan segala hal demi mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan mereka inginkan. Dengankegiatanekonomiitulahsemuakebutuhanakandapatterpenuhi. Dalamkegiatanekonomi di sini, tidakakanterlepasdenganistilahtransaksi. Seseorang untuk mendapatkan suatu barang yang diabutuhkan, makadiaharusmelakukantransaksi.
Padazamandahulu,transaksidilakukandengansalingmenukarkanbarangataudisebutbarter.Seiringperkembanganzaman, transaksisudahmulaiberkembangdenganmenggunakanuang.Denganuang, segalakebutuhanakanmudahdidapatkan. Sehingga, Dalamhukum Islam telahdiaturbagaimanatransaksi yang sesuaisyar’i.Hal inidiatur di dalamal-Qur’andanHaditsdengantujuanuntukmencegahterjadinyakecurangan yang menimbulkanadanyahasiltransaksi yang haram.Sudahpasti, Haramdisinipastimenyimpansejutakerugian.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian bank syari’ah?
2.      Apa saja prinsip-prinsip yang digunakan dalam tabungan syari’ah?
3.      Apa saja landasan hukum yang mendasari tabungan syari’ah?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian bank syari’ah
2.      Untuk mengetahui prinsip apa saja yang digunakan dalam tabungan syari’ah
3.      Untuk mengetahui landasan hukum tabungan syari’ah
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tabungan Syari’ah
Di sampinggiro, produkperbankansyri’ahlainnya yang termasukprodukpenghimpunandana (funding) adalahtabungan. Berdasarkan UUD No.10 tahun 1998 tentangperubahanatas UUD No.7 tahun 1992 tentangperbankan, yang dimaksuddengantabunganadalahsimpanan yang penarikannya yang hanyadapatdilakukanmenurutsyarattertentu yang disepakati, tetapitidakdapatditarikdengancek, bilyetgiroataualatlainnya  yang dipersamakandenganitu.[1]
Adapun yang dimaksudtabungansyari’ahadalahtabungan yang dijalankanberdasarkanprinsip-prinsipsyari’ah.Dalamhalini, dewansyari’ahnasionaltelahmengeluarkan fatwa yang menyatakanbahwatabunganyang dibenarkanadalahtabungan yang berdasarkanprinsipwadi’ahdanmudharabah.
1.      Wadi’ahadalahtabungan yang dijalankanberdasarkanakadwadi’ahyaknititipanmurni yang harusdijagadandikembalikansetiapsaatsesuaidengankehendakpemiliknya.Ketentuanumumtabunganwadi’ahsebagaiberikut:
-          Tabungan wadi’ahmerupakantabungan yang bersifattitipanmurni yang harusdijagadandikembalikantiapsaatsesuaidengankehendakpemilikharta.
-          Keuntunganataukerugiandaripenyalurandanaataupemanfaatanbarangmenjadimilikatautanggungan bank, sedangkannasabahpenitiptidakdijanjikanimbalandantidakmenanggungkerugian.
-          Bank dimungkinkanmemberikan bonus kepadapemilikhartasebagaisebuahinsentifselamatidakdiperjanjikandalamakadpembukaanrekening. 
2.      Mudharabahadalahtabungan yang dijalankanberdasarkanakadmudharabah. Adapunakadmudharabahdibagimenjadiduayakni: mutlaqohdanmuqoyyadah. Yang menjadiperbedaanutamadiantarakeduanyaterletakpaadadaatautidaknyapersyaratan yang diberikankepemilikdanakepada bank dalammengelolahartanya.[2]
B.     Dalil yang mendasaritabungansyari’ah
Adapun dalil yang mendasari tabungan syari’ah adalah dari al-Qur’an dan Hadits yaitu:
1.      Dalil dari beberapa ayat al-Qur’an
Ø  Qs.Al-Hasyr:18
ياَ ايُّها الَّذِ يْنَ اَمَنُوْا اتَّقُوْااللهَ وَلَتَنْظُرْنَفْسٌ مَاقَدَّمَتْ لِغَدِ وَاتَّقُوْااللهَ اِنَّ اللهَ خَبيْرٌبِمَاتّعْمَلُوْنَ(الحشر: ١٨
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat),danbertakwalahkepada Allah. Sungguh Allah Mahatelititerhadapa-pa yang kamukerjakan”.(Al-Hasyr:18)
Ø  Qs.Al-Maidah:1
يَا اَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْا اوفو بِاالْعُقُوْدِ… …الماءىدة:١
                          Wahaiorang-orang yang beriman!penuhilah akad-akad itu....”.(Al-Maidah:1)
2.      Dalil dari beberapa Hadits
Ø  Hadits Tirmidzi
“sikap yang baik, penuh kasih sayang, dan berlaku hemat adalah sebagian dari dua puluh empat  bagian kenabian”.(HR.Tirmidzi)
Ø  Hadits Baihaqi
“Berlaku hemat adalah setengah dari penghidupan”.(HR. Baihaqi)
Ø  Hadits Ahmad
“tidak akan kekurangan bagi orang yang berlaku hemat”.(HR.Ahmad)[3]           
3.      Pendapat Ulama

Para ulama menyatakan, dalam kenyataan banyak orang yang mempunyai harta namun tidak mempunyai kepandaian dalam usaha memproduktifkannya; sementara itu, tidak sedikit pula orang yang tidak memiliki harta namun ia mempunyai kemampuan dalam memproduktifkannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya kerjasama di antara kedua pihak tersebut.Tabungan ada dua jenis:

-       Tabungan yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga.

-       Tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.Ketentuan Umum Tabungan berdasarkan Mudharabah:Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.

Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.

Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.Ketentuan Umum Tabungan berdasarkan Wadi’ah:Bersifat simpanan.Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasar-kan kesepakatan.Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.

Dasarhokumatasprodukperbankansyariahberupatabungandalamhokumpositif Indonesia adalah UU No. 10 tahun 1998 tentangperubahanatasUndang-undangnomor 7 tahun 1992 tentangPerbankan. Di sampingitujugadapatkitatemukandalampasal 36 huruf a poin 2 PBI Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakanKegiatan Usaha BerdasarkanPrinsipSyariah.Intinyamenyebutkanbahwa bank wajibmenerapkanprinsipsyariahdanprinsipkehati-hatiandalamkegiatanusahanyamelakukanpenghimpunandanadarimasyarakatdalambentuksimpanandaninvestasiantara lain berupatabunganberdasarkanprinsipwadi’ahdanmudharabah.
Disamping itu juga telah mendapatkan pengaturan dalam fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 12 Mei 2000 yang intinya menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan dan dalam menyimpan kekayaan, memerlukan jasa perbankan. Salah satu produk perbankan di bidang penghimpunan dana dari masyarakat adalah tabungan, yaitu simpanan dana yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang telah disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.[4]
C.    Makna Mufradat
Ø  Qs.Al-Hasyr:18
يَا
:
Wahai
اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا
:
Orang-orang yang beriman
اتقو اللهَ
:
Bertakwalah kepada Allah
وَلْنَتْظُرْ
:
Dan hendaklah memperhatikan
نَفْسٌ
:
Setiap manusia
مَا قَدَّمَتْ
:
Apa yang dilakukan
لِغَدِ
:
Hari esok
اِنَّ اللهَ
:
Sesungguhnya Allah
خَبِيْرٌ
:
Maha mengetahui
بِمَا
:
Atas apa
تَعْمَلُوْنَ
:
Yang kamu kerjakan

Ø  Qs.Al-Maidah:1
يَا
:
Wahai
اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا
:
Orang-orang yang beriman
اوفوا
:
Penuhilah
بِا
:
Dengan
الْعُقُوْدِ
:
Akad-akad

D.    Munasabah Ayat
Dari kedua ayat tersebut dalam surah Al-Hasyr dan surah Al-Maidah tersebut memerintahkan kita untuk bersiap-siap dan mengantisipasi masa depan keturunan, baik secara rohani (iman/takwa) maupun secara ekonomi harus dipikirkan langkah-langkah perencanaan adalah dengan menabung, namun dengan menggunakan akad-akad dari tabungan syari’ah. Karena tabungan yang sesuai dengan syariat Islam yaitu tabungan syari’ah.
Hubungan antara Q.S Al-hasyr : 18 dengan ayat sebelumnya yaitu ayat Q.s Al-Hasyr : 17 bahwasanya didalam ayat ini membahas tentang orang-orang yang zalim dinyatakan kekal didalam neraka, sebab mereka tidak memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) , padahal kita senatiasa dianjurkan untuk mempersiapkan dan memperhatikan perbuatan kita untuk hari esok agar kita bisa selamat dari siksa apai neraka.
Maka dalam Q.S Al-Hasyr : 18 inilah yang membahas tentang upaya  yang harus dipertimbangkan umat Muslim untuk memperoleh manfaat di masa yang akan datang. Berkaitan dengan hal ini yakni dalam melakukan kegiatan aktivitas ekonomi seperti investasi, menabung, dan pembentukan bank islami, hendaknya setiap mengambil keputusan atau menentukan perilaku yang akan diperbuatkan harus benar-benar diperhitungkan. Karena semua yang hendak dilakukan tersebut akan mendatangkan manfaat bagi diri kita sendiri dimasa yang akan datang.[5]

E.     Asbab Al-Nuzul
Ø  Qs.Al-Hasyr:18
Tidak ada asbabunnuzulnya.
Ø  Qs.Al-Maidah:1
Ibnu Jabir meriwayatkan dari Ikrimah, dia berkata: “Al-Hutham bin Hinduwal Bakri datang ke Madinah dengan beberapa untanya yang membawa bahan makan untuk dijual. Kemudian dia mendatangi Rasullah, dan menawarkan barang dagangannya, setelah itu dia masuk islam. Ketika dia keluar dari tempat Rasulullah, beliau bersabda kepada orang-orang yang ada didekat beliau,dia datang kepadaku dengan wajah orang yang jahat. Lalu dia pergi dengan punggung seorang pengkhianat.Ketika Al-Hatham sampai ke Yamamah, dia keluar dari islam (murtad). Ketika bulan Dzul Hijjah, dia pergi ke Mekkah dengan rombingan untanya yang membawa bahan makanan. Ketika orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar mendengar berita kepergian Al-Hatham ke Mekkah, mereka pun bersiap-siap untuk menyerang kafilah untanya. Maka Allah menurunkan firman-Nya, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah melanggar syiar-syiar kesucian Allah..’Akhirnya, mereka tidak jadi melakukan hal itu.”[6]
Ibnu Jabir juga meriwayatkan dari As-Suddi hadist yang serupa denggannya.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, dia berkata, “Rasulullah dan para sahabat berada di Hudaibiyah ketika orang-orang musyrik menghalangi mereka pergi ke Baitullah. Hal itu membuat marah para sahabat. Ketika dalam keadaan demikian, beberapa orang musyrik dari daerah timur melintasi mereka menuju Baitullah untuk melakukan umrah. Para sahabat berkata, ‘kita halangi mereka agar tidak pergi ke Baitullah, sebagaimana mereka menghalangi kita.
F.     Tafsir Ayat
Dari surah Al-Hasyr ayat 18, penafsiran ayatnya diambil dari tiga kitab tafsir terkemuka, yakni kitab Tafsîrat-Thabariy, Tafsîr Ibnu Katsîr dan Tafsîr al-Qurthubiy. Ayat ini secara eksplisit menyebutkan perintah “bertaqwa” kepada Allah (ittaqûLlâha). Disebutkan dalam Tafsîr ibnu Katsîr bahwa taqwa sendiri diaplikasikan dalam dua hal, menepati aturan Allah dan menjauhkan diri dari laranganNya.Jadi, tidak bisa kita mengatakan “saya telah menegakkan shalat”, setelah itu berbuat maksiat kembali. Karena makna taqwa sendiri saling bersinergi, tidak dapat dipisahkan. Bandingkan dengan penjelasan al-Qurthubiy dalam kitab tafsirnya Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, yang menyatakan bahwa perintah taqwa (pada rangkaian ayat ini) bermakna: “Bertaqwalah pada semua perintah dan larangannya, dengan cara melaksanakan farâidh-Nya (kewajiban-kewajiban) yang dibebankan oleh Allah kepada diri kita sebagai orang yang beriman dan menjauhi ma’âshî-Nya(larangan-larangan) Allah, yang secara keseluruhan harus kita tinggalkan dalam seluruh aspek kehidupan kita.
Mengenai pertanyaan: “Apakah kita selamanya harus bertaqwa kepada Allah?” Jawabnya: “Tentu saja; dharûriyyan (bahasa Arab), absolutely (bahasa Inggris), tidak boleh tidak!”. Karena kita adalah orang-orang yang beriman, yang memiliki komitmen untuk bertaqwa kepada Allah. Perintah bertaqwa dalam hal ini ditujukan bagi orang-orang yang beriman(Yâ ayyuhâ l-ladzîna âmanû). Sedangkan orang yang belum beriman haruslah beriman terlebih dahulu, untuk kemudian bertaqwa.[7]
Penggalan ayat selanjutnya memunyai makna yang mendalam. Waltanzhur nafsun mâ qaddamatl ighadin. Dan hendaklah seseorang melihat apa yang telah ia perbuat (di masa lalu) untuk hari esok. Dalam Tafsîr at-Thabariy dijabarkan: “Dan hendaklah seseorang melihat apa yang telah diperbuatnya untuk hari Kiamat. Apakah kebajikan yang akan menyelamatkannya, atau kejahatan yang akanmenjerumuskannya?
Kata-kata ‘ghad’ sendiri dalam bahasa Arab berarti “besok”. Beberapa mufassir (pakar tafsir) menyatakan dalam beberapa riwayat: Allah “senantiasa mendekatkan hari kiamat hingga menjadikannya seakan terjadi besok, dan ‘besok’ adalah hari kiamat”.
Ada juga yang mengartikan ‘ghad’ sesuai dengan makna aslinya, yakni besok. Hal inibisa diartikan juga bahwa kita diperintahkan untuk selalu melakukan introspeksi dan perbaikan guna mencapai masa depan yang lebih baik. Melihat masa lalu,yakni untuk dijadikan pelajaran bagi masa depan. Atau juga menjadikan pelajaran masa lalu sebuah investasi besar untuk masa depan.
Dalam kitab Tafsîribnu Katsîr, ayat ini disamakan dengan perkataan hâsibû anfusakum qablaan tuhâsabû. Hisablah (introspeksi) diri kalian sebelum nanti kalian dihisab (di hari akhir).
Wattaqûllâh (bertaqwalah kepada Allah). Kalimat kedua (wattaqûllâh) sama dengan pernyataan Allah dalam kalimat pertama ayat ini. Perintah bertaqwa disebutkan dua kali sebagai sebuah bentuk penekanan. Hal ini menggambarkan betapa pentingnya ketaqwaan kita kepada Allah. Bahkan, perintah bertaqwa juga disebutkan oleh para khatib secara eksplisit pada setiap khutbah Jum’at. Al-Qurthubiy menjelaskan bahwa kalimat wattaqûllâh pada rangkaian yang kedua (dalam ayat ini) memberikan pengertian: “Seandainya rangkaian kalimat pertama (wattaqûllâh) bisa dipahami sebagai perintah untuk bertaubat terhadap apa pun perbuatan dosa yang pernah kita lakukan, maka pengulangan kalimat wattaqûllâh pada ayat ini (untuk yang kedua kalinya) memberikan pengertian agar kita berhati-hati terhadap kemungkinan perbuatan maksiat yang bisa terjadi di kemudian hari setelah kita bertaubat, karena setan tidak akan pernah berhenti menggoda diri kita”.
Innallâha khabîrun bimâta’malûn (sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan), memberikan pengertian bahwa baik dan buruknya perbuatan kita tidak akan pernah lepas dari pengawasan Sang Khaliq(Allah), kapan pun dan di mana pun.[8]
Secara tidaklangsung, ayat ini telah mengajarkan kepada kita suatu hal yang sangat mendasardari Time Management dalam cakupan waktu yang lebih luas. Jika biasanyahanya mencakup kemarin, besok, dan sekarang, dalam ayat ini dibahas waktu didunia dan di akhirat. Karena memang, keterbatasan waktu kita di dunia harusbisa kita manfaatkan semaksimal mungkin untuk mendapatkan tempat yang terbaikdi sisi-Nya. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang bertaqwa.
Tidak terbatas pada Time Management, tapi juga Life Management. Manajemen hidup sebagai muslim, yang berorientasikan Allah dan hari Akhir. Menjadikan perbuatan di dunia sebagai wasilah (sarana) menuju Allah. Ingat! Tujuan penciptaan kita adalah untuk beribadah pada Allah. Meski begitu, dalam kesehariannya, kita juga tidak boleh melupakan kedudukan kita di dunia. Keduanya kita jadikan sarana untuk menambah perbendaharaan amal shalih.
Sedangkan Menurut tafsiran Quraish Shihab , kata tuqaddimu artinya dikedepankan digunakan dalam arti amal-amal yang dilakukan untuk meraih manfaat dimasa datang. Ini seperti hal-hal yang dilakukan terlebih dahulu guna menyambut tamu kedatangannya. Perintah memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok, dipahami oleh Thabathaba’i sebagai perintah untuk melakukan evaluasi terhadap amal-amal yang telah dilakukan. Ini seperti seorang tukang yang telah menyelesaikakn pekerjaannya. Ia dituntut untuk memperhatikannya kembali agar menyempurnakannya bila telah baik, atau memperbaikinya bila masih ada kekurangannya, sehingga jika tiba saatnya diperiksa, tidak ada lagi kekurangan dan barang tersebut tampil sempurna. Setiap mukmin dituntut melakukan hal itu. Kalau baik dia dapat mengharap ganjaran, dan kalau amalnya buruk dia hendaknya segera bertaubat. Atas dasar ini pula, ulama beraliran Syi’ah itu berpendapat bahwa perintah takwa yang kedua dimaksudkan untuk perbaikan dan penyempurnaan amal-amal yang telah dilakukan atas dasar perintah takwa yang pertama. Dari satu sisi untuk mengisyaratkan bahwa tidaklah cukup penilaian sebagian atas sebagian yang lain, tetapi masing-masing harus melakukannya sendiri-sendiri atas dirinya, dan sisi lain ia mengisyaratkan bahwa dalam kenyataan otokritik ini sangatlah jarang dilakukan.[9]
G.    Kandungan Hukum
Dasarhokumatasprodukperbankansyariahberupatabungandalamhokumpositif Indonesia adalah UU No. 10 tahun 1998 tentangperubahanatasUndang-undangnomor 7 tahun 1992 tentangPerbankan. Di sampingitujugadapatkitatemukandalampasal 36 huruf a poin 2 PBI Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakanKegiatan Usaha BerdasarkanPrinsipSyariah.Intinyamenyebutkanbahwa bank wajibmenerapkanprinsipsyariahdanprinsipkehati-hatiandalamkegiatanusahanyamelakukanpenghimpunandanadarimasyarakatdalambentuksimpanandaninvestasiantara lain berupatabunganberdasarkanprinsipwadi’ahdanmudharabah.
Disamping itu juga telah mendapatkan pengaturan dalam fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 12 Mei 2000 yang intinya menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan dan dalam menyimpan kekayaan, memerlukan jasa perbankan. Salah satu produk perbankan di bidang penghimpunan dana dari masyarakat adalah tabungan, yaitu simpanan dana yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang telah disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. Ketentuan hukumdalam hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani yang artinya:
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jikamenyalahiperaturantersebut, yang bersangkutanbertanggungjawabatasdanatersebut. Disampaikanlahsyarat-syarattersebutkepadaRasulullah SAW danRasulullahpunmembolehkannya”.(HR.Thabrani)[10]
Oleh sebab itu, Allah telah menegaskan dalam al-Qur’an dan Hadits bahwa menabung itu diwajibkan atau diharuskan untuk kepentingan masa depan kita, dengan menyisihkan sebagian harta yang kita miliki dan sudah jelas bahwa sikap hemat merupakan setengah dari penghidupan.
















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tabungan syari’ah merupakan tabungan yang dijalankanberdasarkanprinsip-prinsipsyari’ah. Dalamhalini, dewansyari’ahnasionaltelahmengeluarkan fatwa yang menyatakanbahwatabungan yang dibenarkanadalahtabungan yang berdasarkanprinsipwadi’ahdanmudharabah.
ü Prinsip wadi’ah merupakan titipanmurni yang harusdijagadandikembalikansetiapsaatsesuaidengankehendakpemiliknya.
ü Prinsip mudharabahmerupakan prinsip yang berdasarkanakadmudharabah. Adapunakadmudharabahdibagimenjadiduayakni: mutlaqohdanmuqoyyadah.
Dalil yang mendasari tabungan syari’ah adalah dari al-Qur’an yaitu Qs.Al-Hasyr:18 dan Qs.Al-Maidah:1, sedangkan dari Hadits yaitu riwayat Tirmidzi, Baihaqi dan Ahmad.
B.     Saran
Sebagai umat manusia/masyarakat yang baik, kita wajib menyisihkan sebagian harta kita untuk  masa depan kita dan khusussnya anak-anak kita, melalui lembaga  yang mengatur dan bertanggung jawab atas harta yang kiita titipkan. Namun sebagai umat islam kita harus atau setidaknya  memilih lembaga dengan prinsip atau akad yang  sesuai dengan syariat islam yaitu di bank syari’ah atau tabungan syari’ah.Dan hal ini sudah dijelaskan dalam al-Qur’an serta Hadits.
DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman, Bank Islam, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,2011.
Antonio Syafi’i, Muhammad,Bank Syari’ah, Jakarta: Gema Insani,2001.
                                                                          


[2]Adiwarman, Bank Islam, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2011), hlm.339-340
[3]Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah, (Jakarta: Gema Insani,2001), hlm.154-155

Tidak ada komentar:

Posting Komentar