TABUNGAN
SYARI’AH
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Tela’ah Teks Arab
Dosen pengampu: Muhammad Zayyadus Zabidi
Disusun Oleh:
Kelompok 8
Ahmad Suyuti
Nur Hasanah
Taufiqurrahman
![]() |
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PAMEKASAN
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dari kehidupan pada
zaman Rasulullah SAW bahkan zaman sebelumnya sampai dizaman yang modern
sekarang ini, kelangsungan dan kesejahteraan hidup manusia tidak pernah
terlepas dari kegiatan ekonomi.Mulai saat manusia mulai membuka mata mereka di
pagi hari hingga tidur kembali, semua aktifitas manusia merupakan aktifitas
ekonomi.
Aktifitas ekonomi
merupakan aktifitas menggunakan atau mengkonsumsi suatu barang atau jasa.Hal
ini pasti dan tidak dapat dipungkiri oleh manusia bahwa mereka melakukannya
demi kelangsungan dan kesejahteraan hidup mereka.Namun, suatu barang atau jasa
yang tersedia di bumi ini memilki batas untuk terus dikonsumsi.Sedangkan sifat
konsumtif manusia tidak pernah terbatas serta diiringi dengan jumlah manusia
yang semakin banyak.
Oleh karena itu,
manusia berbondong-bondong melakukan segala hal demi mendapatkan apa yang
mereka butuhkan dan mereka inginkan. Dengankegiatanekonomiitulahsemuakebutuhanakandapatterpenuhi.
Dalamkegiatanekonomi di sini, tidakakanterlepasdenganistilahtransaksi. Seseorang
untuk mendapatkan suatu barang yang diabutuhkan,
makadiaharusmelakukantransaksi.
Padazamandahulu,transaksidilakukandengansalingmenukarkanbarangataudisebutbarter.Seiringperkembanganzaman,
transaksisudahmulaiberkembangdenganmenggunakanuang.Denganuang,
segalakebutuhanakanmudahdidapatkan. Sehingga, Dalamhukum Islam
telahdiaturbagaimanatransaksi yang sesuaisyar’i.Hal inidiatur di dalamal-Qur’andanHaditsdengantujuanuntukmencegahterjadinyakecurangan
yang menimbulkanadanyahasiltransaksi yang haram.Sudahpasti, Haramdisinipastimenyimpansejutakerugian.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian bank syari’ah?
2.
Apa
saja prinsip-prinsip yang digunakan dalam tabungan syari’ah?
3.
Apa
saja landasan hukum yang mendasari tabungan syari’ah?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian bank syari’ah
2.
Untuk
mengetahui prinsip apa saja yang digunakan dalam tabungan syari’ah
3.
Untuk
mengetahui landasan hukum tabungan syari’ah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tabungan Syari’ah
Di sampinggiro,
produkperbankansyri’ahlainnya yang termasukprodukpenghimpunandana (funding)
adalahtabungan. Berdasarkan UUD No.10 tahun 1998 tentangperubahanatas UUD No.7
tahun 1992 tentangperbankan, yang dimaksuddengantabunganadalahsimpanan yang
penarikannya yang hanyadapatdilakukanmenurutsyarattertentu yang disepakati,
tetapitidakdapatditarikdengancek, bilyetgiroataualatlainnya yang dipersamakandenganitu.[1]
Adapun yang
dimaksudtabungansyari’ahadalahtabungan yang dijalankanberdasarkanprinsip-prinsipsyari’ah.Dalamhalini, dewansyari’ahnasionaltelahmengeluarkan fatwa yang
menyatakanbahwatabunganyang dibenarkanadalahtabungan yang berdasarkanprinsipwadi’ahdanmudharabah.
1.
Wadi’ahadalahtabungan yang dijalankanberdasarkanakadwadi’ahyaknititipanmurni
yang harusdijagadandikembalikansetiapsaatsesuaidengankehendakpemiliknya.Ketentuanumumtabunganwadi’ahsebagaiberikut:
-
Tabungan
wadi’ahmerupakantabungan yang bersifattitipanmurni yang
harusdijagadandikembalikantiapsaatsesuaidengankehendakpemilikharta.
-
Keuntunganataukerugiandaripenyalurandanaataupemanfaatanbarangmenjadimilikatautanggungan
bank, sedangkannasabahpenitiptidakdijanjikanimbalandantidakmenanggungkerugian.
-
Bank
dimungkinkanmemberikan bonus kepadapemilikhartasebagaisebuahinsentifselamatidakdiperjanjikandalamakadpembukaanrekening.
2. Mudharabahadalahtabungan yang dijalankanberdasarkanakadmudharabah.
Adapunakadmudharabahdibagimenjadiduayakni: mutlaqohdanmuqoyyadah. Yang
menjadiperbedaanutamadiantarakeduanyaterletakpaadadaatautidaknyapersyaratan
yang diberikankepemilikdanakepada bank dalammengelolahartanya.[2]
B. Dalil yang mendasaritabungansyari’ah
Adapun dalil yang mendasari tabungan syari’ah adalah dari al-Qur’an
dan Hadits yaitu:
1. Dalil dari beberapa ayat al-Qur’an
Ø
Qs.Al-Hasyr:18
ياَ ايُّها الَّذِ يْنَ اَمَنُوْا اتَّقُوْااللهَ وَلَتَنْظُرْنَفْسٌ
مَاقَدَّمَتْ لِغَدِ وَاتَّقُوْااللهَ اِنَّ اللهَ خَبيْرٌبِمَاتّعْمَلُوْنَ(الحشر:
١٨
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat),danbertakwalahkepada Allah. Sungguh Allah Mahatelititerhadapa-pa yang kamukerjakan”.(Al-Hasyr:18)
Ø
Qs.Al-Maidah:1
يَا اَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْا اوفو بِاالْعُقُوْدِ… …الماءىدة:١
“Wahaiorang-orang
yang beriman!penuhilah akad-akad itu....”.(Al-Maidah:1)
2.
Dalil
dari beberapa Hadits
Ø
Hadits
Tirmidzi
“sikap
yang baik, penuh kasih sayang, dan berlaku hemat adalah sebagian dari dua puluh
empat bagian kenabian”.(HR.Tirmidzi)
Ø
Hadits
Baihaqi
“Berlaku
hemat adalah setengah dari penghidupan”.(HR.
Baihaqi)
Ø
Hadits
Ahmad
“tidak akan kekurangan bagi orang yang berlaku hemat”.(HR.Ahmad)[3]
3.
Pendapat
Ulama
Para ulama menyatakan, dalam kenyataan banyak orang yang mempunyai harta namun tidak mempunyai kepandaian dalam usaha memproduktifkannya; sementara itu, tidak sedikit pula orang yang tidak memiliki harta namun ia mempunyai kemampuan dalam memproduktifkannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya kerjasama di antara kedua pihak tersebut.Tabungan ada dua jenis:
- Tabungan yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga.
- Tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.Ketentuan Umum Tabungan berdasarkan Mudharabah:Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.Ketentuan Umum Tabungan berdasarkan Wadi’ah:Bersifat simpanan.Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasar-kan kesepakatan.Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Dasarhokumatasprodukperbankansyariahberupatabungandalamhokumpositif
Indonesia adalah UU No. 10 tahun 1998 tentangperubahanatasUndang-undangnomor 7
tahun 1992 tentangPerbankan. Di sampingitujugadapatkitatemukandalampasal 36
huruf a poin 2 PBI Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang
melaksanakanKegiatan Usaha BerdasarkanPrinsipSyariah.Intinyamenyebutkanbahwa
bank
wajibmenerapkanprinsipsyariahdanprinsipkehati-hatiandalamkegiatanusahanyamelakukanpenghimpunandanadarimasyarakatdalambentuksimpanandaninvestasiantara
lain berupatabunganberdasarkanprinsipwadi’ahdanmudharabah.
Disamping itu juga telah mendapatkan pengaturan dalam
fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 12 Mei 2000 yang intinya menyatakan
bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan dan
dalam menyimpan kekayaan, memerlukan jasa perbankan. Salah satu produk
perbankan di bidang penghimpunan dana dari masyarakat adalah tabungan, yaitu
simpanan dana yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat
tertentu yang telah disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet
giro, atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.[4]
C.
Makna Mufradat
Ø
Qs.Al-Hasyr:18
يَا
|
:
|
Wahai
|
اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا
|
:
|
Orang-orang
yang beriman
|
اتقو اللهَ
|
:
|
Bertakwalah
kepada Allah
|
وَلْنَتْظُرْ
|
:
|
Dan
hendaklah memperhatikan
|
نَفْسٌ
|
:
|
Setiap
manusia
|
مَا قَدَّمَتْ
|
:
|
Apa
yang dilakukan
|
لِغَدِ
|
:
|
Hari
esok
|
اِنَّ اللهَ
|
:
|
Sesungguhnya
Allah
|
خَبِيْرٌ
|
:
|
Maha
mengetahui
|
بِمَا
|
:
|
Atas
apa
|
تَعْمَلُوْنَ
|
:
|
Yang
kamu kerjakan
|
Ø Qs.Al-Maidah:1
يَا
|
:
|
Wahai
|
اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا
|
:
|
Orang-orang
yang beriman
|
اوفوا
|
:
|
Penuhilah
|
بِا
|
:
|
Dengan
|
الْعُقُوْدِ
|
:
|
Akad-akad
|
D.
Munasabah Ayat
Dari kedua ayat
tersebut dalam surah Al-Hasyr dan surah Al-Maidah tersebut memerintahkan kita
untuk bersiap-siap dan mengantisipasi masa depan keturunan, baik secara rohani (iman/takwa)
maupun secara ekonomi harus dipikirkan langkah-langkah perencanaan adalah
dengan menabung, namun dengan menggunakan akad-akad dari tabungan syari’ah.
Karena tabungan yang sesuai dengan syariat Islam yaitu tabungan syari’ah.
Hubungan antara Q.S Al-hasyr : 18 dengan ayat sebelumnya yaitu ayat Q.s
Al-Hasyr : 17 bahwasanya didalam ayat ini membahas tentang orang-orang yang
zalim dinyatakan kekal didalam neraka, sebab mereka tidak memperhatikan apa
yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) , padahal kita senatiasa
dianjurkan untuk mempersiapkan dan memperhatikan perbuatan kita untuk hari esok
agar kita bisa selamat dari siksa apai neraka.
Maka dalam Q.S Al-Hasyr : 18 inilah yang membahas tentang upaya yang
harus dipertimbangkan umat Muslim untuk memperoleh manfaat di masa yang akan
datang. Berkaitan dengan hal ini yakni dalam melakukan kegiatan aktivitas
ekonomi seperti investasi, menabung, dan pembentukan bank islami, hendaknya
setiap mengambil keputusan atau menentukan perilaku yang akan diperbuatkan
harus benar-benar diperhitungkan. Karena semua yang hendak dilakukan tersebut
akan mendatangkan manfaat bagi diri kita sendiri dimasa yang akan datang.[5]
E.
Asbab Al-Nuzul
Ø
Qs.Al-Hasyr:18
Tidak
ada asbabunnuzulnya.
Ø Qs.Al-Maidah:1
Ibnu Jabir meriwayatkan dari
Ikrimah, dia berkata: “Al-Hutham bin Hinduwal Bakri datang ke Madinah dengan
beberapa untanya yang membawa bahan makan untuk dijual. Kemudian dia mendatangi
Rasullah, dan menawarkan barang dagangannya, setelah itu dia masuk islam. Ketika
dia keluar dari tempat Rasulullah, beliau bersabda kepada orang-orang yang ada
didekat beliau,“dia datang kepadaku dengan wajah orang yang jahat. Lalu dia
pergi dengan punggung seorang pengkhianat.”Ketika Al-Hatham sampai ke Yamamah,
dia keluar dari islam (murtad). Ketika bulan Dzul Hijjah, dia pergi ke Mekkah
dengan rombingan untanya yang membawa bahan makanan. Ketika orang-orang
Muhajirin dan orang-orang Anshar mendengar berita kepergian Al-Hatham ke
Mekkah, mereka pun bersiap-siap untuk menyerang kafilah untanya. Maka Allah
menurunkan firman-Nya, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah melanggar
syiar-syiar kesucian Allah..’Akhirnya, mereka tidak jadi melakukan hal
itu.”[6]
Ibnu Jabir juga meriwayatkan dari
As-Suddi hadist yang serupa denggannya.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari
Zaid bin Aslam, dia berkata, “Rasulullah dan para sahabat berada di Hudaibiyah
ketika orang-orang musyrik menghalangi mereka pergi ke Baitullah. Hal itu
membuat marah para sahabat. Ketika dalam keadaan demikian, beberapa orang musyrik
dari daerah timur melintasi mereka menuju Baitullah untuk melakukan umrah. Para
sahabat berkata, ‘kita halangi mereka agar tidak pergi ke Baitullah,
sebagaimana mereka menghalangi kita.
F.
Tafsir Ayat
Dari surah Al-Hasyr
ayat 18, penafsiran ayatnya diambil dari tiga kitab tafsir terkemuka, yakni
kitab Tafsîrat-Thabariy, Tafsîr Ibnu Katsîr dan Tafsîr al-Qurthubiy.
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan perintah “bertaqwa” kepada Allah (ittaqûLlâha).
Disebutkan dalam Tafsîr ibnu Katsîr bahwa taqwa sendiri diaplikasikan
dalam dua hal, menepati aturan Allah dan menjauhkan diri dari laranganNya.Jadi,
tidak bisa kita mengatakan “saya telah menegakkan shalat”, setelah itu
berbuat maksiat kembali. Karena makna taqwa sendiri saling bersinergi, tidak
dapat dipisahkan. Bandingkan dengan penjelasan al-Qurthubiy dalam kitab
tafsirnya Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, yang menyatakan bahwa perintah
taqwa (pada rangkaian ayat ini) bermakna: “Bertaqwalah pada semua perintah dan
larangannya, dengan cara melaksanakan farâidh-Nya (kewajiban-kewajiban)
yang dibebankan oleh Allah kepada diri kita sebagai orang yang beriman dan
menjauhi ma’âshî-Nya(larangan-larangan) Allah, yang secara keseluruhan
harus kita tinggalkan dalam seluruh aspek kehidupan kita.
Mengenai pertanyaan:
“Apakah kita selamanya harus bertaqwa kepada Allah?” Jawabnya: “Tentu saja; dharûriyyan
(bahasa Arab), absolutely (bahasa Inggris), tidak boleh tidak!”.
Karena kita adalah orang-orang yang beriman, yang memiliki komitmen untuk
bertaqwa kepada Allah. Perintah bertaqwa dalam hal ini ditujukan bagi
orang-orang yang beriman(Yâ ayyuhâ l-ladzîna âmanû). Sedangkan orang
yang belum beriman haruslah beriman terlebih dahulu, untuk kemudian bertaqwa.[7]
Penggalan ayat
selanjutnya memunyai makna yang mendalam. Waltanzhur nafsun mâ qaddamatl
ighadin. Dan hendaklah seseorang melihat apa yang telah ia perbuat (di masa
lalu) untuk hari esok. Dalam Tafsîr at-Thabariy dijabarkan: “Dan
hendaklah seseorang melihat apa yang telah diperbuatnya untuk hari Kiamat.
Apakah kebajikan yang akan menyelamatkannya, atau kejahatan yang
akanmenjerumuskannya?
Kata-kata ‘ghad’ sendiri
dalam bahasa Arab berarti “besok”. Beberapa mufassir (pakar tafsir) menyatakan
dalam beberapa riwayat: Allah “senantiasa mendekatkan hari kiamat hingga
menjadikannya seakan terjadi besok, dan ‘besok’ adalah hari kiamat”.
Ada juga yang
mengartikan ‘ghad’ sesuai dengan makna aslinya, yakni besok. Hal inibisa
diartikan juga bahwa kita diperintahkan untuk selalu melakukan introspeksi dan
perbaikan guna mencapai masa depan yang lebih baik. Melihat masa lalu,yakni
untuk dijadikan pelajaran bagi masa depan. Atau juga menjadikan pelajaran masa
lalu sebuah investasi besar untuk masa depan.
Dalam kitab Tafsîribnu
Katsîr, ayat ini disamakan dengan perkataan hâsibû anfusakum qablaan
tuhâsabû. Hisablah (introspeksi) diri kalian sebelum nanti kalian dihisab
(di hari akhir).
Wattaqûllâh (bertaqwalah kepada Allah). Kalimat kedua (wattaqûllâh) sama dengan
pernyataan Allah dalam kalimat pertama ayat ini. Perintah bertaqwa disebutkan
dua kali sebagai sebuah bentuk penekanan. Hal ini menggambarkan betapa
pentingnya ketaqwaan kita kepada Allah. Bahkan, perintah bertaqwa juga
disebutkan oleh para khatib secara eksplisit pada setiap khutbah Jum’at.
Al-Qurthubiy menjelaskan bahwa kalimat wattaqûllâh pada rangkaian yang
kedua (dalam ayat ini) memberikan pengertian: “Seandainya rangkaian kalimat
pertama (wattaqûllâh) bisa dipahami sebagai perintah untuk bertaubat
terhadap apa pun perbuatan dosa yang pernah kita lakukan, maka pengulangan
kalimat wattaqûllâh pada ayat ini (untuk yang kedua kalinya) memberikan
pengertian agar kita berhati-hati terhadap kemungkinan perbuatan maksiat yang
bisa terjadi di kemudian hari setelah kita bertaubat, karena setan tidak akan
pernah berhenti menggoda diri kita”.
Innallâha khabîrun
bimâta’malûn (sungguh Allah
Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan), memberikan pengertian bahwa baik dan
buruknya perbuatan kita tidak akan pernah lepas dari pengawasan Sang Khaliq(Allah),
kapan pun dan di mana pun.[8]
Secara tidaklangsung,
ayat ini telah mengajarkan kepada kita suatu hal yang sangat mendasardari Time
Management dalam cakupan waktu yang lebih luas. Jika biasanyahanya mencakup
kemarin, besok, dan sekarang, dalam ayat ini dibahas waktu didunia dan di
akhirat. Karena memang, keterbatasan waktu kita di dunia harusbisa kita
manfaatkan semaksimal mungkin untuk mendapatkan tempat yang terbaikdi sisi-Nya.
Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang bertaqwa.
Tidak terbatas pada Time
Management, tapi juga Life Management. Manajemen hidup sebagai
muslim, yang berorientasikan Allah dan hari Akhir. Menjadikan perbuatan di dunia
sebagai wasilah (sarana) menuju Allah. Ingat! Tujuan penciptaan kita
adalah untuk beribadah pada Allah. Meski begitu, dalam kesehariannya, kita juga
tidak boleh melupakan kedudukan kita di dunia. Keduanya kita jadikan sarana
untuk menambah perbendaharaan amal shalih.
Sedangkan Menurut
tafsiran Quraish Shihab , kata tuqaddimu artinya dikedepankan digunakan
dalam arti amal-amal yang dilakukan untuk meraih manfaat dimasa datang. Ini
seperti hal-hal yang dilakukan terlebih dahulu guna menyambut tamu
kedatangannya. Perintah memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok,
dipahami oleh Thabathaba’i sebagai perintah untuk melakukan evaluasi terhadap
amal-amal yang telah dilakukan. Ini seperti seorang tukang yang telah
menyelesaikakn pekerjaannya. Ia dituntut untuk memperhatikannya kembali agar
menyempurnakannya bila telah baik, atau memperbaikinya bila masih ada
kekurangannya, sehingga jika tiba saatnya diperiksa, tidak ada lagi kekurangan
dan barang tersebut tampil sempurna. Setiap mukmin dituntut melakukan hal itu.
Kalau baik dia dapat mengharap ganjaran, dan kalau amalnya buruk dia hendaknya
segera bertaubat. Atas dasar ini pula, ulama beraliran Syi’ah itu berpendapat
bahwa perintah takwa yang kedua dimaksudkan untuk perbaikan dan penyempurnaan
amal-amal yang telah dilakukan atas dasar perintah takwa yang pertama. Dari satu
sisi untuk mengisyaratkan bahwa tidaklah cukup penilaian sebagian atas sebagian
yang lain, tetapi masing-masing harus melakukannya sendiri-sendiri atas
dirinya, dan sisi lain ia mengisyaratkan bahwa dalam kenyataan otokritik ini
sangatlah jarang dilakukan.[9]
G.
Kandungan Hukum
Dasarhokumatasprodukperbankansyariahberupatabungandalamhokumpositif
Indonesia adalah UU No. 10 tahun 1998 tentangperubahanatasUndang-undangnomor 7
tahun 1992 tentangPerbankan. Di sampingitujugadapatkitatemukandalampasal 36
huruf a poin 2 PBI Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang
melaksanakanKegiatan Usaha BerdasarkanPrinsipSyariah.Intinyamenyebutkanbahwa
bank
wajibmenerapkanprinsipsyariahdanprinsipkehati-hatiandalamkegiatanusahanyamelakukanpenghimpunandanadarimasyarakatdalambentuksimpanandaninvestasiantara
lain berupatabunganberdasarkanprinsipwadi’ahdanmudharabah.
Disamping itu juga telah mendapatkan pengaturan dalam
fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 12 Mei 2000 yang intinya menyatakan
bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan dan
dalam menyimpan kekayaan, memerlukan jasa perbankan. Salah satu produk
perbankan di bidang penghimpunan dana dari masyarakat adalah tabungan, yaitu
simpanan dana yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat
tertentu yang telah disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro,
dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. Ketentuan hukumdalam hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani yang artinya:
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas
bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia
mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang
berbahaya, atau membeli ternak. Jikamenyalahiperaturantersebut, yang
bersangkutanbertanggungjawabatasdanatersebut.
Disampaikanlahsyarat-syarattersebutkepadaRasulullah SAW
danRasulullahpunmembolehkannya”.(HR.Thabrani)[10]
Oleh sebab itu, Allah telah menegaskan dalam al-Qur’an
dan Hadits bahwa menabung itu diwajibkan atau diharuskan untuk kepentingan masa
depan kita, dengan menyisihkan sebagian harta yang kita miliki dan sudah jelas
bahwa sikap hemat merupakan setengah dari penghidupan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tabungan syari’ah merupakan tabungan yang
dijalankanberdasarkanprinsip-prinsipsyari’ah. Dalamhalini,
dewansyari’ahnasionaltelahmengeluarkan fatwa yang menyatakanbahwatabungan yang
dibenarkanadalahtabungan yang berdasarkanprinsipwadi’ahdanmudharabah.
ü Prinsip wadi’ah merupakan titipanmurni yang
harusdijagadandikembalikansetiapsaatsesuaidengankehendakpemiliknya.
ü Prinsip mudharabahmerupakan prinsip yang berdasarkanakadmudharabah.
Adapunakadmudharabahdibagimenjadiduayakni: mutlaqohdanmuqoyyadah.
Dalil yang mendasari tabungan syari’ah adalah dari al-Qur’an yaitu
Qs.Al-Hasyr:18 dan Qs.Al-Maidah:1, sedangkan dari Hadits yaitu riwayat
Tirmidzi, Baihaqi dan Ahmad.
B.
Saran
Sebagai umat manusia/masyarakat yang baik, kita wajib menyisihkan
sebagian harta kita untuk masa depan
kita dan khusussnya anak-anak kita, melalui lembaga yang mengatur dan bertanggung jawab atas
harta yang kiita titipkan. Namun sebagai umat islam kita harus atau
setidaknya memilih lembaga dengan
prinsip atau akad yang sesuai dengan
syariat islam yaitu di bank syari’ah atau tabungan syari’ah.Dan hal ini sudah
dijelaskan dalam al-Qur’an serta Hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman, Bank Islam, Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada,2011.
Antonio Syafi’i,
Muhammad,Bank Syari’ah, Jakarta: Gema Insani,2001.
http://www.Tafsir-Muamalah-Q.S-Al-Hasyr-18-Investasi-Menabung-Dan-Pembentukan-Bank-Islam-Q.S-Al-Hasyr--18.html (17-05-2016).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar