Senin, 24 April 2017

mahkamah syariyah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah memiliki perbedaan yang signifikan. Mahkamah Syar’iyah diberikan kewenangan untuk mengadili perkara-perkara jinayah yang telah diatur oleh qanun-qanun atau hukum positif Aceh. Hal itu tidak diberikan kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan kasus-kasus pidana.
Kajian historis Mahkamah Syar’iah yang sekarang menjadi tempat menyelesaikan persoalan-persoalan umat Islam tentu menjadi kajian yang sangat menarik untuk dikaji. Mengingat Mahkamah Syar’iah merupakan yudicatif poweryang hingga saat ini masih berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman yang membagi empat kekuasaan kehakiman, yakni Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Militer. Keempat lingkungan Peradilan itu merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, sesuai dengan ruang lingkup wewenangnya masing-masing yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Dari keempat lembaga tersebut, disebutkan Mahkamah Syar’iyah sebagai lembaga kekuasaan kehakiman. Akan tetapi pada kenyataan empiris Mahkamah Syar’iyah di Aceh menjalankan tugas-tugas kekuasaan kehakiman yang menggantikan posisi pengadilan agama.
B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian mahkamah syari’ah?
2.      Bagimanana pelaksanaan mahkamah syari’ah?
3.      Bagaimana kewenangan mahkamah syari’ah?
C.    TujuanPenulisan
1.      Untuk mengetahui peraturan yang terdapat pada mahkamah syari’ah beserta perangkatnya.
2.      Sebagai pemenuhan tugas mata kuliah tata negara.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mahkamah Syar’iyyah
Mahkamah Syar'iyah adalah salah satu Peradilan Khusus yang berdasarkan Syariat Islam di Provinsi Aceh sebagai pengembangan dari Peradilan Agama. Mahkamah Syar'iyah terdiri dari Mahkamah Syar'iyah Provinsi dan Mahkamah Syar'iyah (tingkat kabupaten dan Kota). Kekuasaan dan Kewenangan Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi adalah kekuasaan dan kewenangan Peradilan Agama dan Peradilan Tinggi Agama ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam bidang ibadah dan Syariat Islam yang ditetapkan dalam Qanun.
B.     Sekilas Tentang Mahkamah Syar’iyyah
Pada masa Reformasi lahirnya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, telah memberikan hak bagi Prov.Aceh untuk membentuk Peradilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah dalam melengkapi dan mendukung pelaksanaan syari’at Islam di Aceh secara lebih sempurna, kemudian diganti dengan Undang-undang no 7 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pasal 128 ayat 4 “yang memberikan kewenangan kepada masyarakat Aceh mengenai bidang hukum keluarga, hukum perdata,hukum pidana yang berhubungan dengan ketentuan hukum materil maupun hukum formil (hukum acara) khususnya tentang perdata Islam.
Dalam harapan masyarakat masyarakat Aceh, Mahkamah Syar’iyah akan menangani semua sengketa dan permasalahan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan syariat.Dengan demikian kewenangan absolut mahkamah ini mencakup hukum publik dan privat, sesuai dengan aturan yang ada dalam syariat Islam. Untuk ini masyarakat Aceh sangat berharap dalam waktu yang tidak terlalu  lama dapat disiapkan tenaga hakim yang ahli tentang syariat dan juga dapat di susun Qanun Syar’iyah yang akan digunakan sebagai hukum materil oleh Mahkamah Syar’iyah.
Mahkamah Syar’iyah juga menganut 3 tingkat peradilan yakni tingkat pertama kabupaten/kota, tingkat banding di tingkat tinggi pertama dan tingkat kasasi ke mahkamah syar’iyah
Hak dan kesempatan untuk membentuk Peradilan Syari’at Islam adalah satu kekhususan yang diberikan kepada Aceh yang berbeda dengan daerah-daerah lainnya sebagai bagian dari pelaksanaan otonomi khusus.
Menindak lanjuti amanat UU No. 18 Tahun 2001 tersebut pemerintahan Prov. Aceh telah mengeluarkan Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang peradilan Syari’at Islam yang disahkan pada tanggal 14 Oktober 2002 M/7 Sya’ban 1423 H.
Dari beberapa pilihan yang mungkin dilakukan mengenai format Peradilan Syari’at Islam dengan berbagai pertimbangan disepakati untuk tidak membentuk lembaga baru, tapi mengembangkan Peradilan Agama yang sudah ada menjadi Mahkamah Syar’iyah. Pilihan ini dapat kita lihat dari bunyi Qanun No. 10 Tahun 2002 ayat 3 yang berbunyi : “Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan pengembangan dari Peradilan Agama yang sudah ada”.
Peradilan Syari’at Islam (Mahkamah Syar’iyah) di Aceh merupakan bagian dari sistem Peradilan Nasional dalam lingkungan peradilan agama yang diresmikan dalam satu upacara pada tanggal 1 Muharram 1424 H/ 4 Maret 2003 M sesuai dengan Kepres No. 11 Tahun 2003 yang merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh (pasal 128 ayat 2 UU No. 11 Tahun 2006).[1]
Untuk pengembangan Mahkamah Syar’iyah yang lebih sempurna sebagai salah satu alat kelengkapan daerah dalam pelaksanaan otonomi khusus, memerlukan sarana dan prasarana yang melebihi dari kebutuhan Peradilan Agama sebelumnya sesuai dengan penambahan kewenangan sehingga dalam pasal 136 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, menyebutkan :
1.      Pembinaan tehnis Peradilan, organisasi, administrasi dan financial Mahkamah Syar’iyah dilakukan oleh Mahkamah Agung.
2.      Penyediaan sarana dan prasarana serta penyelenggaraan kegiatan Mahkamah Syar’iyah dibiayai dari APBN, APBA, dan APBK
C.    Kewenangan Mahkamah Syar’iyyah
Menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001, Mahkamah Syar’iyah terdiri atas Mahkamah syar’iyah kabupaten dan Mahkamah syar’iyah Provinsi. Sedang Mahkamah Syar’iyah tingkat kasasi dilakukan pada Mahhkamah Agung. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah ialah megadili dan memutuskan perkara-perkara bagi orang Aceh yang beragama Islam dalam bidang Al-Ahwal al-sakhshiyah,mu’amalat dan jinayah.
Dalam menjalankan tugasnya Mahkamah Syar’iyah di dukung oleh lembaga Dinas Syari’at Islam Aceh, WH (wilayatul hisbah), dan Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh.
Dengan kehadiran Mahkamah Syar’iyah maka lembaga peradilan agama tidak lagi terlalu di perlukan di Aceh, karena kewenangannya akan tumpang tindih dengan Mahkamah Syar’iyah, sedang lembaga peradilan umum tetap diperlukan untuk menangani sengketa antara orang-orang yang tidak beragama Islam.
Dalam hubungan dengan hukum materil yang akan digunakan Mahkamah Syar’iyah, hendaknya dapat dipahami secara sungguh-sungguh bahwa syariat boleh dikatakan mempunyai “sistematika” dan “kategori” yang berbeda dengan hukum sekuler yang berasal dari Barat. Sekedar contoh, pertama sekali ada keterkaitan yang erat antara hukum sebagai perintah agama (mempunyai saksi pahala dan dosa di akhirat) dengan hukum sebagai alat control masyarakat yang akan  diputuskan di pengadilan. Karena keterkaitan ini, ada perbedaan yang relatif tajam mengenai prinsip pembuktian dan alat bukti, bahkan mengenai pengertian perbuatan hukum dan tindak pidana.[2]
Ada 2 kewenangan Mahkamah Syar’iyah untuk melaksanakan tugas pokok nya dalam pengadilan, diantaranya :
1.      Kewenangan relatif
Kewenangan relatif atau kompetensi relatif yaitu kewenangan untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan suatu perkara yang di ajukan kepadanya, didasarkan pada wilayah hukum pengadilan mana tergugat bertempat tinggal.
2.      Kewenangan absolut (mutlak)
Kewenangan mutlak atau kompensasi absolut adalah wewenang badan peradilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang mutlak tidak dapat diperiksa peradilan lain.Mengenai kasasi, masyarakat berharap dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung di Banda Aceh, karena membawa berkas perkara (sengketa) ke Jakarta hanyalah akan memperpanjang birokrasi, disamping ada kekhawatiran bahwa Putusan Mahkamah Agung tersebut akan dibuat tidak berdasarkan syariat Islam.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Mahkamah Syar’iyah merupakan pengembangan dari Peradilan Agama yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu, sudah pasti kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki Mahkamah Syar’iyah lebih luas dari kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki Pengadilan Agama. Dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 ditegaskan bahwa Tugas dan wewenang Pengadilan Agama adalah Memeriksa, Memutus, dan Menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
1.      Perkawinan,  b. Waris  c. Wasiat  d. Hibah    e. Wakaf  f. Infaq  g. Shadaqah dan  h. Ekonomi Syariah
2.      Peradilan Syari’at Islam di Aceh adalah bagian dari sistem Peradilan Nasional dalam lingkup Peradilan Agama yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun
3.      Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh
4.      Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalat (hukum perdata), dan jinayat (hukum pidana) yang berdasarkan atas syari’at Islam
5.      Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalat (hukum perdata), dan jinayat (hukum pidana) sebagaimana dimaksud ayat (3) diatur dengan Qanun.
Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana tersebut di atas juga telah diatur dalam Qanun Prov. NAD No. 10 Tahun 2002, yaitu dibidang :
a.       Al-Ahwal al-Sakhshiyah
b.      Mu’amalat;
c.       Jinayat
Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), diantaranya meliputi hal-hal yang diatur dalam pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989, kecuali waqaf, hibah, shadaqah, zakat, dan infaq.[3]
Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di bidang muamalat (hukum perdata), diantaranya meliputi hukum kebendaan dan perikatan, seperti : jual beli, hutang piutang, qirad (permodalan), musaaqah, muzara’ah, mukhabarah (bagi hasil pertanian), wakilah (kuasa), syirkah (perkongsian), ‘ariah (pinjam meminjam), hijru (penyitaan harta), rahnun (gadai), ihyaul mawat (pembukaan lahan), ma’din (tambang), luqathah (barang temuan), ijarah (sewa menyewa), takaful (penjaminan) perbankan, perburuhan, harta rampasan, waqaf, shadaqah, hadiah, zakat, infaq, dan ekonomi syari’ah.
Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di bidang jinayat (hukum pidana) di atur dalam lima qanun diantaranya adalah :
a.       Qanun nomor 11 thn 2002 tentang pelaksanaan syari’at Islam di bidang Aqidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam. Dalam qanun ini ada lima macam perbuatan yang dipandang sebagai jarimah (tindak pidana)
b.      Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang larangan khamar dan sejenisnya
c.       Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang larangan khalwat (mesum)
d.      Qanun nomor 7 tahun 2004 tentang pengelolaan zakat, juga terdapat beberapa perbuatan yang di kategorikan sebagai jarimah (tindak pidana) yang menjadi kewenangan mahkamah syar’iyah mengadilinya.[4]















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Mahakamah Syar’iyah merupakan peradilan agama yang berlaku untuk orang Aceh khususnya yang beragama Islam. Kewenangan mahkamah syar’iyah seperti yang di jelaskan  dalam pasal 3A undang-undang nomor 3 tahun 2006 tidak lagi terbatas dalam bidang perdata, tetapi juga mencakup di bidang mu’amalah dan jinayah. Sebagai sistem dari lembaga peradilan Indonesia, mahkamah memiliki 2 kompetensi dasar, yaitu : wewenang peradilan agama dan sebahagian peradilan umum.
Sejauh ini, kewenangan mahkamah syar’iyah sudah sangat luas tetapi masih banyak masyarakat yang belum mengetahui akan hal itu. Masyarakat menganggap mahkamah syar’iyah  sebagai tempat melakukan perceraian, pembagian warisan dan lainnya yang bersangkutan dengan sengketa keluarga. Walaupun  sudah banyak di keluarkan qanun dengan harapan qanun tersebut di patuhi oleh masyarakat, tapi kenyataanya yang terjadi semakin banyak qanun yang di keluarkan semakin banyak pula pelanggaran yang terjadi. Hali ini terjadi karena qanun yang di buat tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum negara dan tidak bisa di terima  dalam kehidupan masyarakat. Inilah keadaan hukum syari’at Islam yang berlaku di Aceh saat sekarang ini menurut pemakalah. Wallahu’alam.
B.     Saran
Semoga makalah yang penulis buat ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Saya  menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis meminta kepada para pembaca kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.





DAFTAR PUSTAKA
Ka’bah,Rifyal.Penegakan Syariat Islam Di Indonesia, Jakarta: Khairul Bayan, 2004.
Abubakar,Al Yasa.Bunga Rampai Pelaksanaan syariat Islam, Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi NAD,2005.
sarong, A. Hamid . Mahkamah Syar’iyah Aceh, Banda Aceh: Global Education Institute, 2012.
Chalil, Zaki Fuad. Melihat Syariat Islam dari Berbagai Dimensi, Banda Aceh: Katalog Dalam Terbitan, 2007.



[1]Rifyal Ka’bah, Penegakan Syariat Islam Di Indonesia, (Jakarta: Khairul Bayan, 2004), hlm.26.
[2]Al Yasa Abubakar,Bunga Rampai Pelaksanaan syariat Islam,(Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi NAD,2005),hlm.69

[3]A. Hamid sarong, Mahkamah Syar’iyah Aceh, (Banda Aceh: Global Education Institute, 2012), hlm.107
[4]Zaki Fuad Chalil, Melihat Syariat Islam dari Berbagai Dimensi, (Banda Aceh: Katalog Dalam Terbitan, 2007), hlm.107.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar