BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pengadilan Agama
dan Mahkamah Syar’iyah memiliki perbedaan yang signifikan. Mahkamah Syar’iyah
diberikan kewenangan untuk mengadili perkara-perkara jinayah yang telah diatur
oleh qanun-qanun atau hukum positif Aceh. Hal itu tidak diberikan kepada
Pengadilan Agama untuk menyelesaikan kasus-kasus pidana.
Kajian historis
Mahkamah Syar’iah yang sekarang menjadi tempat menyelesaikan
persoalan-persoalan umat Islam tentu menjadi kajian yang sangat menarik untuk
dikaji. Mengingat Mahkamah Syar’iah merupakan yudicatif poweryang
hingga saat ini masih berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana yang terdapat
dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman
yang membagi empat kekuasaan kehakiman, yakni Pengadilan Negeri, Pengadilan
Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Militer. Keempat lingkungan
Peradilan itu merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, sesuai dengan ruang
lingkup wewenangnya masing-masing yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Dari
keempat lembaga tersebut, disebutkan Mahkamah Syar’iyah sebagai lembaga
kekuasaan kehakiman. Akan tetapi pada kenyataan empiris Mahkamah Syar’iyah di
Aceh menjalankan tugas-tugas kekuasaan kehakiman yang menggantikan posisi
pengadilan agama.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian mahkamah
syari’ah?
2.
Bagimanana pelaksanaan
mahkamah syari’ah?
3.
Bagaimana kewenangan
mahkamah syari’ah?
C.
TujuanPenulisan
1.
Untuk mengetahui peraturan
yang terdapat pada mahkamah syari’ah beserta perangkatnya.
2.
Sebagai pemenuhan tugas
mata kuliah tata negara.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mahkamah
Syar’iyyah
Mahkamah
Syar'iyah adalah salah satu Peradilan Khusus yang berdasarkan Syariat
Islam di Provinsi Aceh sebagai pengembangan dari Peradilan
Agama. Mahkamah Syar'iyah terdiri dari Mahkamah Syar'iyah Provinsi dan
Mahkamah Syar'iyah (tingkat kabupaten dan Kota). Kekuasaan dan
Kewenangan Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi adalah kekuasaan
dan kewenangan Peradilan Agama dan Peradilan Tinggi Agama ditambah dengan
kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam
bidang ibadah dan Syariat Islam yang ditetapkan dalam Qanun.
B.
Sekilas Tentang
Mahkamah Syar’iyyah
Pada masa
Reformasi lahirnya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, telah
memberikan hak bagi Prov.Aceh untuk membentuk Peradilan Syari’at Islam yang
dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah dalam melengkapi dan mendukung pelaksanaan
syari’at Islam di Aceh secara lebih sempurna, kemudian diganti dengan
Undang-undang no 7 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pasal 128 ayat 4 “yang
memberikan kewenangan kepada masyarakat Aceh mengenai bidang hukum keluarga,
hukum perdata,hukum pidana yang berhubungan dengan ketentuan hukum materil
maupun hukum formil (hukum acara) khususnya tentang perdata Islam.
Dalam harapan
masyarakat masyarakat Aceh, Mahkamah Syar’iyah akan menangani semua sengketa
dan permasalahan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan syariat.Dengan
demikian kewenangan absolut mahkamah ini mencakup hukum publik dan privat,
sesuai dengan aturan yang ada dalam syariat Islam. Untuk ini masyarakat Aceh
sangat berharap dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat disiapkan
tenaga hakim yang ahli tentang syariat dan juga dapat di susun Qanun Syar’iyah
yang akan digunakan sebagai hukum materil oleh Mahkamah Syar’iyah.
Mahkamah
Syar’iyah juga menganut 3 tingkat peradilan yakni tingkat pertama
kabupaten/kota, tingkat banding di tingkat tinggi pertama dan tingkat kasasi ke
mahkamah syar’iyah
Hak dan
kesempatan untuk membentuk Peradilan Syari’at Islam adalah satu kekhususan yang
diberikan kepada Aceh yang berbeda dengan daerah-daerah lainnya sebagai bagian
dari pelaksanaan otonomi khusus.
Menindak lanjuti
amanat UU No. 18 Tahun 2001 tersebut pemerintahan Prov. Aceh telah mengeluarkan
Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang peradilan Syari’at Islam yang disahkan pada
tanggal 14 Oktober 2002 M/7 Sya’ban 1423 H.
Dari beberapa
pilihan yang mungkin dilakukan mengenai format Peradilan Syari’at Islam dengan
berbagai pertimbangan disepakati untuk tidak membentuk lembaga baru, tapi mengembangkan
Peradilan Agama yang sudah ada menjadi Mahkamah Syar’iyah. Pilihan ini dapat
kita lihat dari bunyi Qanun No. 10 Tahun 2002 ayat 3 yang berbunyi : “Mahkamah
Syar’iyah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan pengembangan dari
Peradilan Agama yang sudah ada”.
Peradilan
Syari’at Islam (Mahkamah Syar’iyah) di Aceh merupakan bagian dari sistem
Peradilan Nasional dalam lingkungan peradilan agama yang diresmikan dalam satu
upacara pada tanggal 1 Muharram 1424 H/ 4 Maret 2003 M sesuai dengan Kepres No.
11 Tahun 2003 yang merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam
dan berada di Aceh (pasal 128 ayat 2 UU No. 11 Tahun 2006).[1]
Untuk
pengembangan Mahkamah Syar’iyah yang lebih sempurna sebagai salah satu alat
kelengkapan daerah dalam pelaksanaan otonomi khusus, memerlukan sarana dan
prasarana yang melebihi dari kebutuhan Peradilan Agama sebelumnya sesuai dengan
penambahan kewenangan sehingga dalam pasal 136 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, menyebutkan :
1.
Pembinaan tehnis Peradilan,
organisasi, administrasi dan financial Mahkamah Syar’iyah dilakukan oleh
Mahkamah Agung.
2.
Penyediaan sarana dan
prasarana serta penyelenggaraan kegiatan Mahkamah Syar’iyah dibiayai dari APBN,
APBA, dan APBK
C.
Kewenangan Mahkamah
Syar’iyyah
Menurut
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001, Mahkamah Syar’iyah terdiri atas Mahkamah
syar’iyah kabupaten dan Mahkamah syar’iyah Provinsi. Sedang Mahkamah Syar’iyah
tingkat kasasi dilakukan pada Mahhkamah Agung. Kewenangan Mahkamah
Syar’iyah ialah megadili dan memutuskan perkara-perkara bagi orang Aceh yang
beragama Islam dalam bidang Al-Ahwal al-sakhshiyah,mu’amalat dan jinayah.
Dalam
menjalankan tugasnya Mahkamah Syar’iyah di dukung oleh lembaga Dinas Syari’at
Islam Aceh, WH (wilayatul hisbah), dan Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh.
Dengan kehadiran
Mahkamah Syar’iyah maka lembaga peradilan agama tidak lagi terlalu di perlukan
di Aceh, karena kewenangannya akan tumpang tindih dengan Mahkamah Syar’iyah,
sedang lembaga peradilan umum tetap diperlukan untuk menangani sengketa antara
orang-orang yang tidak beragama Islam.
Dalam hubungan
dengan hukum materil yang akan digunakan Mahkamah Syar’iyah, hendaknya dapat
dipahami secara sungguh-sungguh bahwa syariat boleh dikatakan mempunyai
“sistematika” dan “kategori” yang berbeda dengan hukum sekuler yang berasal
dari Barat. Sekedar contoh, pertama sekali ada keterkaitan yang erat antara
hukum sebagai perintah agama (mempunyai saksi pahala dan dosa di akhirat)
dengan hukum sebagai alat control masyarakat yang akan diputuskan di
pengadilan. Karena keterkaitan ini, ada perbedaan yang relatif tajam mengenai prinsip
pembuktian dan alat bukti, bahkan mengenai pengertian perbuatan hukum dan
tindak pidana.[2]
Ada 2 kewenangan
Mahkamah Syar’iyah untuk melaksanakan tugas pokok nya dalam pengadilan,
diantaranya :
1.
Kewenangan relatif
Kewenangan
relatif atau kompetensi relatif yaitu kewenangan untuk menerima, memeriksa dan
mengadili serta menyelesaikan suatu perkara yang di ajukan kepadanya,
didasarkan pada wilayah hukum pengadilan mana tergugat bertempat tinggal.
2.
Kewenangan absolut (mutlak)
Kewenangan
mutlak atau kompensasi absolut adalah wewenang badan peradilan dalam memeriksa
jenis perkara tertentu yang mutlak tidak dapat diperiksa peradilan
lain.Mengenai kasasi, masyarakat berharap dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung
di Banda Aceh, karena membawa berkas perkara (sengketa) ke Jakarta hanyalah
akan memperpanjang birokrasi, disamping ada kekhawatiran bahwa Putusan Mahkamah
Agung tersebut akan dibuat tidak berdasarkan syariat Islam.
Sebagaimana
telah dijelaskan bahwa Mahkamah Syar’iyah merupakan pengembangan dari Peradilan
Agama yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu, sudah pasti kekuasaan dan
kewenangan yang dimiliki Mahkamah Syar’iyah lebih luas dari kekuasaan dan
kewenangan yang dimiliki Pengadilan Agama. Dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang
perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 ditegaskan bahwa Tugas dan wewenang
Pengadilan Agama adalah Memeriksa, Memutus, dan Menyelesaikan perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
1.
Perkawinan, b.
Waris c. Wasiat d. Hibah e. Wakaf f.
Infaq g. Shadaqah dan h. Ekonomi Syariah
2.
Peradilan Syari’at Islam di
Aceh adalah bagian dari sistem Peradilan Nasional dalam lingkup Peradilan Agama
yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak
manapun
3.
Mahkamah Syar’iyah
merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh
4.
Mahkamah Syar’iyah
berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang
meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalat (hukum perdata),
dan jinayat (hukum pidana) yang berdasarkan atas syari’at Islam
5.
Ketentuan lebih lanjut
mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalat (hukum
perdata), dan jinayat (hukum pidana) sebagaimana dimaksud ayat (3) diatur
dengan Qanun.
Kewenangan
Mahkamah Syar’iyah sebagaimana tersebut di atas juga telah diatur dalam Qanun
Prov. NAD No. 10 Tahun 2002, yaitu dibidang :
a.
Al-Ahwal al-Sakhshiyah
b.
Mu’amalat;
c.
Jinayat
Kewenangan
Mahkamah Syar’iyah di bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), diantaranya
meliputi hal-hal yang diatur dalam pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 tentang
perubahan atas UU No. 7 tahun 1989, kecuali waqaf, hibah, shadaqah, zakat, dan
infaq.[3]
Kewenangan
Mahkamah Syar’iyah di bidang muamalat (hukum perdata), diantaranya meliputi
hukum kebendaan dan perikatan, seperti : jual beli, hutang piutang, qirad
(permodalan), musaaqah, muzara’ah, mukhabarah (bagi hasil pertanian), wakilah
(kuasa), syirkah (perkongsian), ‘ariah (pinjam meminjam), hijru (penyitaan
harta), rahnun (gadai), ihyaul mawat (pembukaan lahan), ma’din (tambang),
luqathah (barang temuan), ijarah (sewa menyewa), takaful (penjaminan)
perbankan, perburuhan, harta rampasan, waqaf, shadaqah, hadiah, zakat, infaq,
dan ekonomi syari’ah.
Kewenangan
Mahkamah Syar’iyah di bidang jinayat (hukum pidana) di atur dalam lima qanun
diantaranya adalah :
a.
Qanun nomor 11 thn 2002
tentang pelaksanaan syari’at Islam di bidang Aqidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam.
Dalam qanun ini ada lima macam perbuatan yang dipandang sebagai jarimah (tindak
pidana)
b.
Qanun nomor 12 tahun 2003
tentang larangan khamar dan sejenisnya
c.
Qanun nomor 14 tahun 2003
tentang larangan khalwat (mesum)
d.
Qanun nomor 7 tahun 2004
tentang pengelolaan zakat, juga terdapat beberapa perbuatan yang di kategorikan
sebagai jarimah (tindak pidana) yang menjadi kewenangan mahkamah syar’iyah
mengadilinya.[4]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mahakamah
Syar’iyah merupakan peradilan agama yang berlaku untuk orang Aceh khususnya
yang beragama Islam. Kewenangan mahkamah syar’iyah seperti yang di
jelaskan dalam pasal 3A undang-undang nomor 3 tahun 2006 tidak lagi
terbatas dalam bidang perdata, tetapi juga mencakup di bidang mu’amalah dan
jinayah. Sebagai sistem dari lembaga peradilan Indonesia, mahkamah memiliki 2
kompetensi dasar, yaitu : wewenang peradilan agama dan sebahagian peradilan
umum.
Sejauh ini,
kewenangan mahkamah syar’iyah sudah sangat luas tetapi masih banyak masyarakat
yang belum mengetahui akan hal itu. Masyarakat menganggap mahkamah
syar’iyah sebagai tempat melakukan perceraian, pembagian warisan dan
lainnya yang bersangkutan dengan sengketa keluarga. Walaupun sudah banyak
di keluarkan qanun dengan harapan qanun tersebut di patuhi oleh masyarakat,
tapi kenyataanya yang terjadi semakin banyak qanun yang di keluarkan semakin
banyak pula pelanggaran yang terjadi. Hali ini terjadi karena qanun yang di
buat tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum negara dan tidak bisa di
terima dalam kehidupan masyarakat. Inilah keadaan hukum syari’at Islam
yang berlaku di Aceh saat sekarang ini menurut pemakalah. Wallahu’alam.
B.
Saran
Semoga
makalah yang penulis buat ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Saya
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
penulis meminta kepada para pembaca kritik dan saran yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Ka’bah,Rifyal.Penegakan Syariat Islam Di Indonesia,
Jakarta: Khairul Bayan, 2004.
Abubakar,Al Yasa.Bunga
Rampai Pelaksanaan syariat Islam, Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi
NAD,2005.
sarong, A. Hamid . Mahkamah Syar’iyah Aceh, Banda
Aceh: Global Education Institute, 2012.
Chalil, Zaki Fuad. Melihat
Syariat Islam dari Berbagai Dimensi, Banda Aceh: Katalog Dalam Terbitan,
2007.
[1]Rifyal Ka’bah, Penegakan Syariat Islam Di
Indonesia, (Jakarta: Khairul Bayan, 2004), hlm.26.
[2]Al
Yasa Abubakar,Bunga Rampai Pelaksanaan syariat Islam,(Banda Aceh: Dinas
Syariat Islam Provinsi NAD,2005),hlm.69
[3]A. Hamid sarong, Mahkamah Syar’iyah Aceh,
(Banda Aceh: Global Education Institute, 2012), hlm.107
[4]Zaki Fuad Chalil, Melihat Syariat Islam
dari Berbagai Dimensi, (Banda Aceh: Katalog Dalam Terbitan, 2007), hlm.107.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar