Senin, 24 April 2017



 BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Masalah al-Qur’an adalah sumber segala dari segala sumber ajaran Islam. Kitab suci menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu gerakan-gerakan umat islam sepanjang empat belas sejarah pergerakana umat ini. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan al-Qur’an diperlukan tafsir mengenai naskah ayat yang menjelaskan tentang pengertian, tata cara, rukun-rukun, dan hukum mengalihkan hutang (hiwalah), juga hadits dan pendapat para ulama’ yang memperkuat . Penafsiran terhadap al-Qur’an mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam.
Pengetahuan tentang Asbab al-Nuzul merupakan hal penting apabila kita hendak memahami al-Qur’an pengetahuan tentang Asbab al-Nuzul merupakan salah satu syarat yang harus dikuasai oleh para ulama yang hendak menafsirkanal-Qur’an yang menjelaskan tentang mengalihkan hutang (hiwalah), pada zaman Rasulullah di samping ilmu-ilmu lainnya.[1]
Karena dengan mengetahui asbab al-Nuzul, tafsir ayat, munasbah ayat, dan kandungan hukum yang terdapat dialamnya yang menjelaskan tentang mengalihkan hutang (hiwalah), juga makna-makna dan maksud-maksud al-Qur’an serta mengetahui kejadian-kejadian yang menyertai turunnya sebuah ayat.[2] Selain itu juga untuk mengetahui di balik hikmah pembentukan hukum syara’ dan menghilangkan persangkaan yang sempit mengenai makna sebuah ayat.
 Oleh karena itu sangat besar perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan corak dan penafsiran yang beranekaragam pula, dan dalam penafsiran itu Nampak dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan penafsiran al-Qur’an serta corak pemikiran para penafsirnya sendiri.


B.  RUMUSAN MASALAH
      1. Apakah salah satu hdits yang menjelaskan tentang hiwalah?
2. Apakah sebab-sebab turunnya hadits tentang hiwalah?
3. Bagaimanakah kandungan hukum setelah munasabah, penafsiran, dan sebab-sebab turunnya ayat yang menjelaskan tentang hiwalah?

C.  TUJUAN PENULIS
      1. Untuk mengetahhui hadits yang menjelaskan tentang mengalihkan hutang (hiwalah).
      2. Untuk memahami tentang munasabah hadits tentang mengalihkan hutang (hiawalah).
  3. Mampu mengetahui dan memahami sebab-sebabnya diriwatkannya hadits yang mejelaskan tentang mengalikan hutang (hiawalah).
4. Mampu mengetahui, memahami dan memaparkan penafsiran dan kandungan hukum yang menjelaskan sistematika dan isi tentang mengalihkan hutang (hiwalah).
     
















BAB II
PEMBAHASAN
A.    NASKAH
Sedangkan dalam sunnah Rasululllah SAW:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً (ابن ماجه)
مطل الغني ظلم فاذا اتبع احدكم على ملئ فليتبع (رواه بخري و مسلم)
B.     TERJEMAHAN
·         “Seorang muslim yang mempiutangi seorang muslim dua kali, seolah-olah telah bersedekah kepadanya satu kali”(HR. Ibnu Majah)
·         “menunda-nunda pembanyaran utang oleh orang kaya adalah kezaliman. Dan jika seseorang dari kamu dipindahkan (piutangnya) kepada orang kaya (yang mampu membayar utang), maka hendaklah ia menerima pemindahan utang itu.” (HR Bukhori Dan Muslim)[3]

C.     MAKNA MUFRADAT[4]
مَا                      :seorang
 مِنْ                    :dari
 مُسْلِمٍ              :muslim
 يُقْرِضُ                :mempiutangi
 مُسْلِمًا              :seorang muslim
 قَرْضًا                  :hutangan
 مَرَّتَيْنِ               : dua kali
 إِلاَّ كَانَ             : seolah-olah
 كَصَدَقَتِهَا           : bersedekah kepadanya
مَرَّةً                  : satu kali
مطل                   :menunda-nunda
 الغني                  :pembayaran utang
 ظلم                   :kezaliman
 فاذا                   :maka jika
 اتبع                   :dipindahkan
 احدكم                :salah satu dari kalian
على                    :atas
 ملئ                   :menerima
 فليتبع                 :memindahkan
D.    MUNASABAH HADITS
Hadits ini adalah penjelasan tentang penegaskan dengan adanya anjuran Allah SWT kepada hambanya untuk meminjami pinjaman yang baik kepada sesama umat manusia, ,maka dari itu Allah SWT menjanjikan ganjaran atau pahala yang banyak, bagi orang yang menjadikan sebagian hartanya untuk dipinjamkan kepada Allah SWT dalam bentuk bersedekah kepada orang fakir miskin, ganjaran atau pahala tersebut adalah dilipatgandakan pinjaman tersebut.[5]
Dalam hadits ini bahwasanya meminjam atau member pinjaman yang merupakan salah satu bentuk kegiatan bermuamalah.
E.     ASBAB WURUD
Ibnu abbas r.a. mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayakan berkenaan dengan hutang piutang yang terjamin, jelas masanya dan telah dihalalkan oleh Allah SWT. Beliau juga mengatakan, ketika Rasulullah SAW, sampai di kota Madinah dan dijumpai di sana orang biasa meminjamkan buah untuk setahun, dua tahun atau tiga tahun, maka Rasulullah SAW, bersabda yang artinya: “ barang siapa meminjamkan harus meminjamkan dengan takaran yang tertentu, timbangan yang tertentu dan masa yang tertentu.” (HR. Bukhari-Muslim).[6]
Diriwayatkan oleh ibnu hibban di dalam kitab shaih-nya, ibnu abi hatim, dan ibnu marduwaih, yang bersumber dari ibnu umar r.a. bahwa ketika turun ayat, mtsalul ladziina yungfiquuna amwaalahum fi sabiilillahi ka matsali habbah……..{perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih…..} sampai akhir ayat (al-baqarah: 261), berdoalah Rasulullah saw.: “ya Rabb. Semoga engkau melimpatgandakan untuk umatku.” Maka turunlah ayat tersebut di atas (al-baqarah: 245) yang menjanjikan akan melipat gandakan tanpa batas.[7]
F.      TAFSIR HADITS
مطل الغني ظلم فاذا اتبع احدكم على ملئ فليتبع  menunda-nunda pembanyaran utang oleh orang kaya adalah kezaliman. Dan jika seseorang dari kamu dipindahkan (piutangnya) kepada orang kaya (yang mampu membayar utang), maka hendaklah ia menerima pemindahan utang itu, dalam hadits tersebut rasulullah SAW memerintahkan agar utang apabila diminta oleh pengutangnya menagih kepada orang yang mampu hendaknya menerima hiwalahnya, yakni hendaknya ia meminta haknya kepada orang yang dihiwlahkan kepadanya sampai haknya terpenuhi. Tetapi jika pengutang memindahkan utangnya kepada orang yang bankrut, maka si pemberi pinjaman berhak mengalihkan penagihan kepada si pengutang pertama.[8]
G.    KANDUNGAN HUKUM
Melakukan mengalihkan hutang (hiwalah) hukumnya jaiz (boleh), hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
مطل الغني ظلم فاذا اتبع احدكم على ملئ فليتبع (رواه بخري و مسلم)
“menunda-nunda pembanyaran utang oleh orang kaya adalah kezaliman. Dan jika seseorang dari kamu dipindahkan (piutangnya) kepada orang kaya (yang mampu membayar utang), maka hendaklah ia menerima pemindahan utang itu.” (HR Bukhori Dan Muslim)[9]
Akad hiwalah diperbolehkan berdasarkan sunnah dan ijma’ ulama’. Diriwayatkan dari Imam Bukhari dari Abu Hurairah,
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ ابْنِ ذَكْوَانَ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْه عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَمَنْ أُتْبِعَ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتَّبِعْ(رواه بخري)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ibnu Dzakwan dari Al A’raj dari Abu Hurairah radliallohu ‘anhu dari Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menunda membayar hutang bagi orang kaya adalah kezhaliman dan apabila seorang dari kalian hutangnya dialihkan kepada orang kaya, hendaklah ia ikuti”.(HR. Bukhori).[10]
Pada hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghawalahkan kepada orang yang mampu, hendaklah ia menerima hawalah tersebut, dan hendaklah ia menagih kepada orang yang dihawalahkan. Dengan demikian haknya dapat terpenuhi. Ulama’ sepakat membolehkan akad hawalah dengan catatan, hawalah dilakukan atas hutang yang tidak berbentuk barang atau benda, karena hawalah adalah proses pemindahan hutang bukan pemindahan bendah.
Perintah menerima pengalihan penagihan utang menurut sebagian ulama adalah wajib, namun jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya sunat.
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa hiwalah itu tidak sejalan dengan qias, karena hal itu sama saja jual beli utang dengan utang, sedangkan jual beli utang dengan utang itu terlarang. Pendapat ini dibantah oleh Ibnul Qayyim, ia menjelaskan bahwa hiwalah itu sejalan dengan qias, karena termasuk jenis pemenuhan hak, bukan termasuk jenis jual beli. Ibnul Qayyim mengatakan, “Kalaupun itu jual beli utang dengan utang, namun syara’ tidak melarangnya, bahkan ka’idah-ka’idah syara’ menghendaki.”[11]






















BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
1. مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً (ابن ماجه)
Seorang muslim yang mempiutangi seorang muslim dua kali, seolah-olah telah bersedekah kepadanya satu kali(HR. Ibnu Majah)
2. Ibnu abbas r.a. mengatakan bahwa penyebab diriwayatkannya hadits  tersebut berkenaan dengan hutang piutang yang terjamin, jelas masanya dan telah dihalalkan oleh Allah SWT.
3. Melakukan mengalihkan hutang (hiwalah) hukumnya jaiz (boleh), hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
مطل الغني ظلم فاذا اتبع احدكم على ملئ فليتبع (رواه بخري و مسلم)
“menunda-nunda pembanyaran utang oleh orang kaya adalah kezaliman. Dan jika seseorang dari kamu dipindahkan (piutangnya) kepada orang kaya (yang mampu membayar utang), maka hendaklah ia menerima pemindahan utang itu.” (HR Bukhori Dan Muslim).
B.  SARAN
Demikian yang dapat saya jelaskan mengenai materi ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Semoga pembaca sekalian mengambil hikmah dari penjelasan makalah ini tentang mengenai ayat-ayat al-Qur’an, munasabah ayat, dll, yang berkaitan dengan hiwalah.








DAFTAR PUSTAKA
AL-Drahabi, At-Tafsir Wa Al-Mufassirun, Beirut: Dar Al Fikr, 1976.
Al-Wahidi, Asbab Al-Nuzul, Saudi: Dar Al-Islah, 1992.
Assuyuti, Jalaluddin, Asbabun Nuzul, Surabaya:Media Comp. 2011.
Bakar Jabir, Abu, Pola Hidup Muslim, Bandung: Remaja Posda Karya, 1991.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Bandung: AL-MA’RIF, 1987.
Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah. ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Suwikyo, Dwi, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010
Warson Munawwir, Ahmad, Kamus Al-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997.










[1] AL-Drahabi, At-Tafsir Wa Al-Mufassirun, (Beirut: Dar Al Fikr, 1976), hlm. 267
[2] Al-Wahidi, Asbab Al-Nuzul, (Saudi: Dar Al-Islah, 1992), hlm. 8
[3] Abu Bakar Jabir, Pola Hidup Muslim, (Bandung:Rem aja Posda Karya, 1991), hlm. 91
[4] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 1-1591 dan google terjemahan 07 maret 2016


[5] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: AL-MA’RIF, 1987), hlm. 44
[7] Jalaluddin Assuyuti, Asbabun Nuzul, (Surabaya:Media Comp, 2011), hlm. 25
[8] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah. ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 60.

[9] Abu Bakar Jabir, Pola Hidup Muslim, (Bandung: Remaja Posda Karya, 1991), hlm. 91
[11] Hendi Suhendi , Fiqih Muamalah. ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 99

1 komentar: