BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masalah
al-Qur’an adalah sumber segala dari segala sumber ajaran Islam. Kitab suci
menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman,
tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu gerakan-gerakan umat islam
sepanjang empat belas sejarah pergerakana umat ini. Maka untuk mengetahui dan
memahami betapa dalam isi kandungan al-Qur’an diperlukan tafsir mengenai naskah
ayat yang menjelaskan tentang pengertian, tata cara, rukun-rukun, dan hukum
mengalihkan hutang (hiwalah), juga hadits dan pendapat para ulama’ yang
memperkuat . Penafsiran terhadap al-Qur’an mempunyai peranan yang sangat besar
dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam.
Pengetahuan
tentang Asbab al-Nuzul merupakan hal penting apabila kita hendak memahami
al-Qur’an pengetahuan tentang Asbab al-Nuzul merupakan salah satu syarat yang
harus dikuasai oleh para ulama yang hendak menafsirkanal-Qur’an yang
menjelaskan tentang mengalihkan hutang (hiwalah), pada zaman Rasulullah di
samping ilmu-ilmu lainnya.[1]
Karena
dengan mengetahui asbab al-Nuzul, tafsir ayat, munasbah ayat, dan kandungan
hukum yang terdapat dialamnya yang menjelaskan tentang mengalihkan hutang
(hiwalah), juga makna-makna dan maksud-maksud al-Qur’an serta mengetahui
kejadian-kejadian yang menyertai turunnya sebuah ayat.[2]
Selain itu juga untuk mengetahui di balik hikmah pembentukan hukum syara’ dan
menghilangkan persangkaan yang sempit mengenai makna sebuah ayat.
Oleh karena itu sangat besar perhatian para
ulama untuk menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci
ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan corak dan penafsiran yang
beranekaragam pula, dan dalam penafsiran itu Nampak dengan jelas sebagai suatu
cermin perkembangan penafsiran al-Qur’an serta corak pemikiran para penafsirnya
sendiri.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah
salah satu hdits yang
menjelaskan tentang hiwalah?
2. Apakah sebab-sebab turunnya hadits tentang hiwalah?
3. Bagaimanakah kandungan hukum setelah
munasabah, penafsiran, dan sebab-sebab turunnya ayat yang menjelaskan tentang
hiwalah?
C. TUJUAN PENULIS
1. Untuk mengetahhui hadits yang
menjelaskan tentang
mengalihkan hutang (hiwalah).
2. Untuk memahami
tentang munasabah hadits tentang mengalihkan hutang (hiawalah).
3. Mampu mengetahui
dan memahami sebab-sebabnya diriwatkannya hadits yang mejelaskan tentang mengalikan
hutang (hiawalah).
4. Mampu mengetahui, memahami dan
memaparkan penafsiran dan kandungan hukum yang menjelaskan sistematika dan
isi tentang mengalihkan hutang (hiwalah).
BAB
II
PEMBAHASAN
A. NASKAH
Sedangkan dalam sunnah Rasululllah SAW:
مَا
مِنْ مُسْلِمٍ
يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً (ابن ماجه)
مطل الغني ظلم فاذا اتبع احدكم على ملئ فليتبع (رواه
بخري و مسلم)
B. TERJEMAHAN
·
“Seorang muslim yang mempiutangi
seorang muslim dua kali, seolah-olah telah bersedekah kepadanya satu kali”(HR. Ibnu
Majah)
·
“menunda-nunda pembanyaran utang oleh orang
kaya adalah kezaliman. Dan jika seseorang dari kamu dipindahkan (piutangnya)
kepada orang kaya (yang mampu membayar utang), maka hendaklah ia menerima
pemindahan utang itu.” (HR Bukhori Dan Muslim)[3]
مَا :seorang
مِنْ :dari
مُسْلِمٍ :muslim
يُقْرِضُ :mempiutangi
مُسْلِمًا :seorang muslim
قَرْضًا :hutangan
مَرَّتَيْنِ : dua kali
إِلاَّ كَانَ : seolah-olah
كَصَدَقَتِهَا
: bersedekah kepadanya
مَرَّةً : satu kali
مطل :menunda-nunda
الغني :pembayaran utang
ظلم :kezaliman
فاذا :maka jika
اتبع :dipindahkan
احدكم :salah satu dari kalian
على :atas
ملئ :menerima
فليتبع :memindahkan
D. MUNASABAH HADITS
Hadits ini
adalah penjelasan tentang penegaskan dengan adanya anjuran
Allah SWT kepada hambanya untuk meminjami pinjaman yang baik kepada sesama umat
manusia, ,maka dari itu Allah SWT menjanjikan ganjaran atau pahala yang banyak,
bagi orang yang menjadikan sebagian hartanya untuk dipinjamkan kepada Allah SWT
dalam bentuk bersedekah kepada orang fakir miskin, ganjaran atau pahala
tersebut adalah dilipatgandakan pinjaman tersebut.[5]
Dalam hadits ini bahwasanya
meminjam atau member pinjaman yang merupakan salah satu bentuk kegiatan
bermuamalah.
E. ASBAB WURUD
Ibnu abbas r.a. mengatakan bahwa hadits
tersebut diriwayakan berkenaan dengan hutang piutang yang terjamin, jelas masanya dan
telah dihalalkan oleh Allah SWT. Beliau juga mengatakan, ketika Rasulullah SAW,
sampai di kota Madinah dan dijumpai di sana orang biasa meminjamkan buah untuk
setahun, dua tahun atau tiga tahun, maka Rasulullah SAW, bersabda yang artinya:
“ barang siapa meminjamkan harus meminjamkan dengan takaran yang tertentu,
timbangan yang tertentu dan masa yang tertentu.” (HR. Bukhari-Muslim).[6]
Diriwayatkan oleh ibnu hibban di dalam kitab shaih-nya, ibnu abi
hatim, dan ibnu marduwaih, yang bersumber dari ibnu umar r.a. bahwa ketika
turun ayat, mtsalul ladziina yungfiquuna amwaalahum fi sabiilillahi ka
matsali habbah……..{perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih…..}
sampai akhir ayat (al-baqarah: 261), berdoalah Rasulullah saw.: “ya Rabb.
Semoga engkau melimpatgandakan untuk umatku.” Maka turunlah ayat tersebut di
atas (al-baqarah: 245) yang menjanjikan akan melipat gandakan tanpa batas.[7]
F. TAFSIR HADITS
مطل الغني ظلم فاذا اتبع احدكم على ملئ فليتبع menunda-nunda pembanyaran utang oleh orang
kaya adalah kezaliman. Dan jika seseorang dari kamu dipindahkan (piutangnya)
kepada orang kaya (yang mampu membayar utang), maka hendaklah ia menerima
pemindahan utang itu, dalam hadits tersebut rasulullah SAW memerintahkan agar
utang apabila diminta oleh pengutangnya menagih kepada orang yang mampu
hendaknya menerima hiwalahnya, yakni hendaknya ia meminta haknya kepada orang
yang dihiwlahkan kepadanya sampai haknya terpenuhi. Tetapi jika pengutang
memindahkan utangnya kepada orang yang bankrut, maka si pemberi pinjaman berhak
mengalihkan penagihan kepada si pengutang pertama.[8]
G. KANDUNGAN HUKUM
Melakukan mengalihkan hutang (hiwalah) hukumnya jaiz
(boleh), hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
مطل الغني ظلم فاذا اتبع احدكم على ملئ فليتبع (رواه بخري و مسلم)
“menunda-nunda
pembanyaran utang oleh orang kaya adalah kezaliman. Dan jika seseorang dari
kamu dipindahkan (piutangnya) kepada orang kaya (yang mampu membayar utang),
maka hendaklah ia menerima pemindahan utang itu.” (HR Bukhori Dan Muslim)[9]
Akad hiwalah diperbolehkan berdasarkan sunnah dan ijma’ ulama’. Diriwayatkan dari Imam Bukhari dari Abu
Hurairah,
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ ابْنِ ذَكْوَانَ عَنْ
الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْه عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَمَنْ أُتْبِعَ
عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتَّبِعْ(رواه بخري)
“Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf telah menceritakan kepada kami
Sufyan dari Ibnu Dzakwan dari Al A’raj dari Abu Hurairah radliallohu ‘anhu dari
Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menunda membayar hutang bagi orang
kaya adalah kezhaliman dan apabila seorang dari kalian hutangnya dialihkan
kepada orang kaya, hendaklah ia ikuti”.(HR. Bukhori).[10]
Pada hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang
menghutangkan, jika orang yang berhutang menghawalahkan kepada orang yang
mampu, hendaklah ia menerima hawalah tersebut, dan hendaklah ia menagih kepada
orang yang dihawalahkan. Dengan demikian haknya dapat terpenuhi. Ulama’ sepakat
membolehkan akad hawalah dengan catatan, hawalah dilakukan atas hutang yang
tidak berbentuk barang atau benda, karena hawalah adalah proses pemindahan
hutang bukan pemindahan bendah.
Perintah menerima pengalihan penagihan utang menurut sebagian ulama
adalah wajib, namun jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya sunat.
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa hiwalah itu tidak sejalan
dengan qias, karena hal itu sama saja jual beli utang dengan utang, sedangkan
jual beli utang dengan utang itu terlarang. Pendapat ini dibantah oleh Ibnul
Qayyim, ia menjelaskan bahwa hiwalah itu sejalan dengan qias, karena termasuk
jenis pemenuhan hak, bukan termasuk jenis jual beli. Ibnul Qayyim mengatakan,
“Kalaupun itu jual beli utang dengan utang, namun syara’ tidak melarangnya,
bahkan ka’idah-ka’idah syara’ menghendaki.”[11]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. مَا مِنْ مُسْلِمٍ
يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً (ابن ماجه)
“Seorang muslim yang mempiutangi seorang muslim dua kali,
seolah-olah telah bersedekah kepadanya satu kali”(HR. Ibnu
Majah)
2. Ibnu abbas r.a. mengatakan bahwa penyebab diriwayatkannya
hadits tersebut berkenaan dengan hutang
piutang yang terjamin, jelas masanya dan telah dihalalkan oleh Allah SWT.
3. Melakukan mengalihkan hutang (hiwalah) hukumnya jaiz
(boleh), hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
مطل الغني ظلم فاذا اتبع احدكم على ملئ فليتبع (رواه
بخري و مسلم)
“menunda-nunda
pembanyaran utang oleh orang kaya adalah kezaliman. Dan jika seseorang dari
kamu dipindahkan (piutangnya) kepada orang kaya (yang mampu membayar utang),
maka hendaklah ia menerima pemindahan utang itu.” (HR Bukhori Dan Muslim).
B. SARAN
Demikian yang dapat saya
jelaskan mengenai materi ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Semoga pembaca
sekalian mengambil hikmah dari penjelasan makalah ini tentang mengenai ayat-ayat al-Qur’an, munasabah ayat, dll, yang berkaitan dengan
hiwalah.
DAFTAR PUSTAKA
AL-Drahabi,
At-Tafsir Wa Al-Mufassirun, Beirut: Dar Al Fikr, 1976.
Al-Wahidi,
Asbab Al-Nuzul, Saudi: Dar Al-Islah, 1992.
Assuyuti, Jalaluddin, Asbabun Nuzul, Surabaya:Media Comp.
2011.
Bakar Jabir, Abu, Pola Hidup Muslim, Bandung: Remaja Posda
Karya, 1991.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Bandung: AL-MA’RIF, 1987.
Suhendi,
Hendi, Fiqih Muamalah. ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Suwikyo, Dwi, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010
Warson Munawwir, Ahmad, Kamus Al-Munawwir, Yogyakarta:
Pustaka Progresif, 1997.
[4] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Yogyakarta:
Pustaka Progresif, 1997), hlm. 1-1591 dan google terjemahan 07 maret 2016
Asbabul wurud itu hadis yang pertama atau kedua?
BalasHapus