Senin, 24 April 2017

telaah obligasi



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup sendiri yakni membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Baik dengan cara jual beli, sewa menyewa, pinjam-meminjam, bercocok tanam atau usaha- usaha yang lain, baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Agar hubungan mereka berjalan dengan lancar dan teratur, maka agama memberi peraturan yang sebaiki-baiknya.
Jual beli adalah kegiatan tukar menukar barang dengan cara tertentu yang setiap hari pasti dilakukan yang kadang kita tidak tahu apakah sehat ataupun tidak. Utang piutang juga suatu kegiatan yang sangat kental dengan kehidupan manusia, dan kedua kegiatan muamalah tersebut sangat erat dengan riba.Oleh karena itu, pada makalah ini akan membahas tentang salah satu ayat yang intinya mengenai riba dan sejenisnya. Umumnya dalam praktik obligasi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian obligasi?
2.      Bagaimana hukum obligasi?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk dapat mengetahui obligasi dan status hukumnya.
2.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah telaah teks arab hukum ekonomi syari’ah.














BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Obligasi
Obligasi berasal dari bahasa Belanda yaitu “Obligatie” yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan “obligasi” yang berarti ‘kontrak’. Dalam keputusan Presiden RI Nomor 775/KMK 001/1982 disebutkan bahwa obligasi adalah jenis efek berupa surat pengakuan utang atas pinjaman uang dari masyarakat dalam bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang-kurangnya tiga tahun dengan menjanjikan imbalan bunga, yang jumlah serta saat pembayarannya telah ditentukan terlebih dahulu oleh emiten atau Badan Pelaksana Pasar Modal.[1]
B.     Teks Al-Qur’an
Adapun dalil yang mendasari obligasi adalah dari al-Qur’an, hadits.
1.      Firman Allah SWT, QS. Al-Ma’idah :1:
يَاْاَيُّهَااَّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اَوْفُوْا بِاْلعُقُوْدِ                    
Artinya: Hai orang – orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.[2]
2.      Firman Allah SWT, QS. Al-Isra’ : 34:
وَاَوْفُوْا بِاْلعَهْدِ اِنَّ اْلعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً
Artinya: dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.[3]
3.      Firman allah QS. Al-Bakarah: 275.
 وَأَحَلَّ اللَّهُ البَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ” (البقرة: 275
Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.[4]
4.      Hadits Nabi SAW:
عن عمرو بن عوف المزاني قال رسول الله ص م : الصّلْح جائز بين الْمسلمين الا صلْحا حرّم حلالا أَو أَحلّ حراما والْمسلمون علَى شروطهِم إلا شرطا حرّم حلالا أو أحلّ حراما (رواه امام الترمذى)

“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”.[5]
5.      Pendapat Ulama’
Fatwa dewan syari`ah Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002, tentang Sukuk (Obligasi syari`ah) adalah surat berharga berjangka panjang berdasarkan prinsip syari’ah yang dikelurkan emiten kepada pemegang obligasi syari’ah, tersebut berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Karakteristik dan istilah sukuk merupakan pengganti dari istilah sebelumnya yang memggunakan istilah bond, dimana istilah bond mempunyai makna loan (hutang), dengan menambahkan Islamic maka kontradiktif maknanya karena biasanya yang mendasari mekanisme hutang (loan) adalah interest, sedangkan dalam Islam interest tersebut termasuk riba yang diharamkan. Untuk itu sejak tahun 2007 istilah bond ditukar dengan istilah Sukuk sebagaimana disebutkan dalam peraturan di Badan pengawas pasar modal dan lembaga keuangan (Bapepam LK).
Abu Hanifa dan muridnya Abu Yusuf memberikan pandangan bahwa penjualan sesuatu/properti yang belum diterima oleh si penjual namun sudah jelas keberadaan fisiknya (dapat di cek keberadaannya) adalah diperbolehkan.[6]




C.    Makna Mufradat
1.      Ayat pertama

Arti Mufradat
Ayat al-Qur’an
Wahai
يَاْاَيُّهَا
Orang-orang
اَّلَّذِيْنَ
Yang beriman
ءَامَنُوْا
Penuhilah
اَوْفُوْا
Dengan akad-akad
بِاْلعُقُوْدِ



2.      Ayat kedua

Arti Mufradat
Ayat Al-Qur’an
Dan
وَ
Penuhilah
اَوْفُوْا
Dengan akad
بِاْلعَهْدِ
Sesungguhnya
اِنَّ
Janji
اْلعَهْدَ
Ada
كَانَ
Diminta pertanggung jawaban
مَسْئُوْلاً

3.      Ayat ketiga

Arti Mufradat
Ayat al-Qur’an
Dan menghalalkan
 وَأَحَلَّ
Allah
اللَّهُ
Jual beli
البَيْعَ
Dan mengharamkan
وَحَرَّمَ
Riba
الرِّبَا


D.    Munasabah Al-Ayat
Pada akhir surah al-Maidah, Allah menyatakan diriNya sebagai pemillik kerajaan langit, bumi dan isinya sekaligus menguasai dan mengaturnya sesuai kehendakNya. Maka pada awal surah al-An’am Allah memuji diriNya karena Dialah yang telah menciptakan langit, bumi dan isinya serta segala peristiwa yang terjadi didalamnya.[7] 
E.     Asbab Al-Nuzul
1.      Ayat pertama
Ibnu Jabir meriwayatkan dari Ikrimah, dia berkata: “Al-Hutham bin Hinduwal Bakri datang ke Madinah dengan beberapa untanya yang membawa bahan makan untuk dijual. Kemudian dia mendatangi Rasullah, dan menawarkan barang dagangannya, setelah itu dia masuk islam. Ketika dia keluar dari tempat Rasulullah, beliau bersabda kepada orang-orang yang ada didekat beliau,‘dia datang kepadaku dengan wajah orang yang jahat. Lalu dia pergi dengan punggung seorang pengkhianat.’ Ketika al-Hatham sampai ke Yamamah, dia keluar dari islam (murtad). Ketika bulan Dzul Hijjah, dia pergi ke Mekkah dengan rombongan untanya yang membawa bahan makanan. Ketika orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar mendengar berita kepergian al-Hatham ke Mekkah, mereka pun bersiap-siap untuk menyerang kafilah untanya. Maka Allah menurunkan firman-Nya, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah melanggar syiar-syiar kesucian Allah..’ Akhirnya, mereka tidak jadi melakukan hal itu.”
Ibnu Jabir juga meriwayatkan dari As-Suddi hadits yang serupa dengannya.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, dia berkata, “Rasulullah dan para sahabat berada di Hudaibiyah ketika orang-orang musyrik menghalangi mereka pergi ke Baitullah.” Hal itu membuat marah para sahabat. Ketika dalam keadaan demikian, beberapa orang musyrik dari daerah timur melintasi mereka menuju Baitullah untuk melakukan umrah. Para sahabat berkata, ‘kita halangi mereka agar tidak pergi ke Baitullah, sebagaimana mereka menghalangi kita.’
Lalu Allah menurunkan ayat-Nya: ‘.janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka)...’[8]
2.      Ayat ketiga
Abu Ya`la mengetengahkan dalam Musnad-nya dan Ibnu Mandah dari jalur Al-Kalbiy dan Abu Shalih dari Ibnu Abbas, katanya, "Kami dapat berita bahwa ayat ini turun pada Bani Amr bin Auf dari suku Tsaqif dan pada Bani Mughirah.” Bani Mughirah memberikan bunga uang kepada Tsaqif. Tatkala Mekah dikuasakan Allah kepada Rasul-Nya, maka ketika itu seluruh riba dihapuskan. Maka datanglah Bani Amr dan Bani Mughirah kepada Atab Ibnu Usaid yang ketika itu menjadi pemimpin muslimin di Mekah. Kata Bani Mughirah, 'Tidakkah kami dijadikan secelaka-celaka manusia mengenai riba, karena terhadap semua manusia dihapuskan, tetapi pada kami tidak?' Jawab Bani Amr, 'Dalam perjanjian damai di antara kami disebutkan bahwa kami tetap memperoleh riba kami.' Atab pun mengirim surah kepada Nabi saw. mengenai hal itu, maka turunlah ayat ini dan ayat-ayat berikutnya." Ibnu Jarir mengetengahkan dari Ikrimah, katanya, "Ayat ini turun mengenai suku Tsaqif, di antara mereka Masud, Habib, Tabiah dan Abdu Yalail, serta Bani Amr dan Bani Umair.[9]
F.     Tafsir Ayat

1.      Tafsir ayat pertama
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ (wahai orang-orang yang beriman penuhilah olehmu perjanjian itu) setiap ayat yang didahului dengan kalimat yaa ayyuhal ladzina aamanu ayat ini turun di Madinah sedangkan jika diawali dengan yaa ayyuhannas ayat ini diturunkan di Mekkah.
Al-uqud adalah jamak dari al-‘aqdu  yang berarti mengikat  sesuatu dengan sesuatu, yang kemudian dipakai untuk makna akad dalam jual beli, akad pernikahan, dan lain sebagainya. Jual beli misalnya, merupakan bentuk akad yang menjadikan barang yang ia beli menjadi miliknya dan dapat berkuasa penuh dalam pemakaian dan pemanfaatannya. Demikian juga dengan akad nikah, yang mana antara laki-laki dan perempuan terikat dengan ketentuan-ketentuan.
Perjanjian yang dimaksud yakni yang mencakup perjanjian di antara seorang hamba dengan Allah maupun dengan sesama manusia. Contoh perjanjian kepada Allah SWT yaitu ketika kita mengucapkan dua kalimat syahadat maka kita sudah terikat dengan janji kita kepada Allah untuk menjalankan semua perintahNya dan menjauhi semua laranganNya. Begitu juga dengan perjanjian kepada manusia harus ditepati meskipun perjanjian terhadap musuh, karena dari tanda-tanda orang munafik sendiri ialah tidak menepati janji.
Aufuu yaitu memberikan sesuatu secara sempurna. Ayat ini menunjukkan betapa al-Quran sangat menekankan untuk memenuhi akad ataupun janji secara sempurna. Dengan terpenuhinya akad tersebut maka akan memberikan rasa aman dan bahagia karena tidak adanya tanggungan antara pihak-pihak yang melakukan akad.[10]

Akad (perjanjian) mencakup janji prastia hamba kepada allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Syaikh assa’di berkata, “ ini merupakan perintah Allah kepada hamba-hambanya yang mukmin untuk mengerjakan konsekuensi dari pada iman yaitu memenuhi janji, yakni menyempurnakannya, melengkapinya, tidak membatalkan dan tidak mengurangi.” Hal ini mencakup akad yang dilakukan antara seorang hamba dengan tuhannya berupa mengerjakan ibadah kepadaNya,   mengerjakannya, secara sempurna, tidak mngurangi di antara hak-hak itu demikian juga mencakup antara seseorang dengan rasulnya yaitu dengan menaatinya, dan mengikutinya. Mencakup pula antara seseorang dengan dengan kedua orang tuanya dan krabatnya, yakni dengan berbakti kepada mereka dan menyambungkan silaturrahim dengan mereka dan tidak memutuskannya. Demikian pula akad antara kawan-kawannya. Dengan seseorang berupa mengerjakan hak-hak persahabatan disaat kaya dan miskin, lapang dan sempit. Termasuk pula akad antara seseorang dengan yang lain dalam akad muamalah seperti jual beli, menyewa dan sebagainya termasuk pula akad tabbaruat (kerelaan) seperti hibah dan sebagainya bahkan termasuk pula memenuhi hak kaum muslimin yang telah Allah akadkan hak itu diantara mereka dalam firmannya, “ sesungguhnya kaum mukminin itu bersaudara.”[11]
2.      Tafsir surat ke 2
(إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا) "sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.”
Mereka menyatukan dengan kelancangan mereka antara apa yang dihalalkan oleh Allah dengan apa yang diharamkan olehNya hingga mereka membolehkan riba dengan hal itu. 
Allah ta'ala kemudian menawarkan kepada orang-orang yang melakukan praktek riba dan selain mereka untuk bertaubat dalam firmanNya, (فَمَن جَآءَ هُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ) "Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya" sebuah penjelasan yang disertai dengan janji dan ancaman, (فَانتَهَى) "lalu terus berhenti (dari mengambil riba)", dari apa yang mereka lakukan dari praktek riba, (فَلَهُ مَا سَلَفَ) "maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)" dari perkara yang ia berani terhadapnya, lalu ia bertaubat darinya, (وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ) "dan urusannya (terserah) kepada Allah" pada masa yang akan datang jika dia masih terus dalam taubatnya. Allah tidak akan melalaikan pahala orang-orang yang berbuat     kebajikan. 

(وَمَنْ عَادَ) "Orang yang mengulangi (mengambil riba)" setelah penjelasan Allah dan peringatanNya serta ancamanNya terhadap orang yang memakan riba, (فَأُوْلئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ) "maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya". Dalam ayat ini ada isyarat bahwa riba itu berkonsekuensi masuk neraka dan kekal di dalamnya. Hal itu karena kejelekannya, selama tidak ada yang menghalangi kekekalannya yaitu keimanan. Ini di antara sejumlah hukum-hukum yang tergantung kepada terpenuhinya dan terbebasnya dari penghalang. Ayat ini bukan hujjah bagi Khawarij atau lainnya dari ayat-ayat ancaman. Yang wajib adalah menyakini semua nash-nash al-Qur'an maupun as-Sunnah, maka seorang mukmin harus percaya dengan nash-nash yang diriwayatkan secara mutawatir yaitu akan keluarnya orang yang ada dalam hatinya keimanan walaupun seberat biji sawi dari neraka, dan dari hal yang merupakan perkara yang membinasakan yang memasukkan ke dalam neraka apabila ia tidak bertaubat darinya.[12]
3.      Tafsir ayat ke 3
وَاَوْفُوْا بِاْلعَهْدِdan penuhilah janjinya “yaitu perjanjian yang kalian perbuat kepada manusia dan ikatan kerja yang kalian pekerjakan mereka dengan ikatan kerja tersebut karena sesungguhnya kedua hal itu akan dimintai pertanggung jawaban dari pelakunya”
اِنَّ اْلعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً  sesungguhnya janji itu dimintai pertanggung jawaban .[13]
G.    Kandungan Hukum
Obligasi adalah sarana untuk berhutang. Obligasi dikeluarkan oleh bank, perusahaan atau pemerintah untuk dibeli oleh mereka yang ingin berinvestasi. Obligasi merupakan kertas yang memuat nilai nominal. Pihak yang mengeluarkan obligasi berposisi sebagai debitor baik bank, perusahaan atau pemerintahan. Pihak yang mengeluarkan obligasi itu berjanji untuk membayar kepada pihak yang memiliki obligasi setelah jangka waktu tertentu sejumlah nilai nominal yang tertera di obligasi itu (jumlah hutang) dan bunga tahunan tertentu. Jadi, obligasi itu merupakan muamalah ribawi dan hukumnya haram.[14]
Sebagian kalangan masih memandang haramnya riba hanya pada jenis riba yang keji, riba yang berlipat ganda, yang menarik bunga sangat tinggi dan dapat mencekik leher. Adapun riba yang sedikit tidak haram dengan menyandarkan hukum pada ayat “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan riba dengan berlipat ganda.” (TQS. Ali Imran [3]:130)
Namun sebenarnya, lafadz adl ‘afan mudla’afah (berlipat ganda) berfungsi sebagai waqi’atul ‘ain, yaitu penjelas atas peristiwa yang pernah terjadi di masa Jahiliah dan menunjukkan betapa (kejinya tingkat) kejahatan yang mereka lakukan.[15]
Untuk memperjelas bahwa hukum riba adalah haram, kita perlu mengetahui turunnya ayat-ayat mengenai riba terlebih dulu. Berikut ini pemaparannya ayat pertama mengenai riba yang diturunkan Allah SWT adalah
“Dan suatu riba (tambahan)yang kamu berikan untuk menambah harta manusia, maka yang demikian itu tidak (berarti) bisa menambah di sisi Allah.” (TQS. Ar-Rum [30]: 39)
Ayat tersebut belum menunjukkan isyarat mengenai haramnya riba. Hanya ada isyarat kebencian dari Allah SWT terhadap riba dan peringatan agar berhenti dari aktivitas riba.
Selanjutnya ayat kedua adalah firman Allah SWT tentang perbuatan bani Israil yang menyebabkan kemurkaan Allah SWT. Ayat tersebut adalah
“Maka lantaran kedzaliman yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi itu, Kami haramkan atas mereka beberapa jeni s makanan yang baik-baik, yang sedianya dihalalkan kepada mereka. Dan lantaran perbuatan mereka yang menghalangi manusia dari jalan Allah yang banyak sekali itu serta mereka yang mengambil riba, padahal mereka telah dilarangnya.” (TQS. an-Nisa [4]:160-161)
Ayat ini diturunkan di Madinah sebelum perang Quraidhah pada tahun ke V atau sebelum perang Bani Nadhir pada tahun ke IV H. Ayat tersebut memberikan pelajaran tentang tingkah laku Yahudi yang melanggar larangan Allah, yaitu mereka melakukan praktek riba. Maka Allah pun melaknat mereka. Ayat tersebut tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan riba, sebab kaitannya dengan syariat Bani Israil dan hanya menunjukkan bagaimana perilaku orang-orang Yahudi yang dilaknat Allah.
Adapun ayat yang ketiga yang diturunkan oleh Allah SWT adalah
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan riba dengan berlipat ganda.” (TQS. Ali Imran [3]:130)
Ayat tersebut turun di Madinah dan dengan tegas mengharamkan salah satu jenis riba (riba nasiah). berarti ayat ini menunjukkan laranga riba masih bersifat sebagian belum menyeluruh. Pengharaman riba pada ayat ini berlaku bagi praktek-praktek riba yang keji dan jahat, yang membungakan uang berlipat-lipat.
Namun tidak berhenti sampai ayat tersebut, ternyata Allah masih menurunkan satu ayat terakhir tentang riba, yaitu
“Hai orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah, dan tinggalkanlah apa yang masih tersisa dari riba, jika kamu orang-orang yang beriman.” (TQS. al-Baqarah [2]: 278)
ayat tersebut terkait dengan rangkaian ayat yang sebelumnya, yaitu
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri tegak melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”(TQS. Al-Baqarah [2]: 275)
Turunnya ayat tersebut sebenarnya telah mengharamkan seluruh jenis riba, tidak membedakan yang banyak maupun yang sedikit. Ayat tersebut dan tiga ayat setelahnya (QS Al-baqarah [2]: 279-281) merupakan ayat tentang hukum yang terakhir dan pemutus hubungan antara langit dan bumi. Sebab, tidak lama kemudian Rasulullah SAW wafat.
Bagi kaum muslim saat ini, yang hidup setelah wafatnya Rasulullah SAW, maka hukum yang berlaku adalah hukum pada ayat yang terakhir, yang telah menasakh hukum pada ayat-ayat sebelumnya. Ayat tersebut telah menjelaskan bahwasanya segala bentuk riba hukumnya haram. Dalam hal ini pun kalangan ulama tidak ada yang berbeda pendapat. Sebab hal ini sudah ditetapkan dalam Kitab Allah, sunnah Rasul-Nya, dan Ijma’ kaum Muslim termasuk empat madzhab.[16]


                                                                           



















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      obligasi adalah jenis efek berupa surat pengakuan utang atas pinjaman uang dari masyarakat dalam bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang-kurangnya tiga tahun dengan menjanjikan imbalan bunga, yang jumlah serta saat pembayarannya telah ditentukan terlebih dahulu oleh emiten atau Badan Pelaksana Pasar Moda
2.      Obligasi dikeluarkan oleh bank, perusahaan atau pemerintah untuk dibeli oleh mereka yang ingin berinvestasi. Obligasi merupakan kertas yang memuat nilai nominal. Pihak yang mengeluarkan obligasi berposisi sebagai debitor baik bank, perusahaan atau pemerintahan. Pihak yang mengeluarkan obligasi itu berjanji untuk membayar kepada pihak yang memiliki obligasi setelah jangka waktu tertentu sejumlah nilai nominal yang tertera di obligasi itu (jumlah hutang) dan bunga tahunan tertentu. Jadi, obligasi itu merupakan muamalah ribawi dan hukumnya haram untuk dilakukan.
B.     Saran
Sebagai seorang manusia tentulah mempunyai kelebihan dan kekurangan.  Dan juga, makalah ini masih jauh dari kata sempurna seperti kata pepatah tak ada gading yang tak retak, oleh sebab itu penulis masih memerlukan banyak masukan yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah ini.














DAFTAR PUSTAKA


Al-qur’an mulia wodpress.com.Tafsir ibnu kasir surat al-isra=bzap& elce=ed-id&s. (diakses tanggal 3 April 2016).
Mahumud, Yusuf Ahmad.  Bisnis Islami dan Kritik atas Praktik Bisnis ala Kapitalis, Bogor: Al Azhar Press, 2011.
Penerj, Abu Fuad. Riba Halal, Riba Haram. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2011.
Thohir, Muhammad Sohib dan Ahsan Siha’ Muhammad. Mushap Al-Wardah, Al-Qur’an Tarjemah Dan Tafsir Untuk Wanita. Bandung: Jabal Raudatu Al-Jannah, 2010.
https://www.alsofwah.or.id/cetakquran.php?id=241. (diakses tanggal 2 April 2016).



[2] Muhammad Sohib Thohir  dan Ahsan Siha’ Muhammad, Mushap Al-Wardah, Al-Qur’an Tarjemah Dan Tafsir Untuk Wanita, (Bandung: Jabal Raudatu Al-Jannah, 2010), Hlm. 84.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[12] https://www.alsofwah.or.id/cetakquran.php?id=241. (diakses tanggal 2 April 2016).
[13]  Al-qur’an mulia wodpress.com.Tafsir ibnu kasir surat al-isra=bzap& elce=ed-id&s. (diakses tanggal 3 April 2016).
[14] Yusuf Ahmad Mahumud, Bisnis Islami dan Kritik atas Praktik Bisnis ala Kapitalis, (Bogor: Al Azhar Press, 2011), hlm. 243.
[15] Abu Fuad penerj, Riba Halal, Riba Haram, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2011), hlm. 39.
[16] Ibid. Hlm. 32.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar