BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia adalah
makhluk yang tidak dapat hidup sendiri yakni membutuhkan orang lain dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Baik dengan cara jual beli, sewa menyewa,
pinjam-meminjam, bercocok tanam atau usaha- usaha yang lain, baik dalam urusan
diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Agar hubungan mereka berjalan
dengan lancar dan teratur, maka agama memberi peraturan yang sebaiki-baiknya.
Jual beli adalah kegiatan tukar
menukar barang dengan cara tertentu yang setiap hari pasti dilakukan yang
kadang kita tidak tahu apakah sehat ataupun tidak. Utang piutang juga suatu
kegiatan yang sangat kental dengan kehidupan manusia, dan kedua kegiatan muamalah tersebut sangat erat dengan
riba.Oleh karena itu, pada makalah ini akan membahas tentang salah satu
ayat yang intinya mengenai riba dan sejenisnya. Umumnya dalam praktik obligasi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian obligasi?
2.
Bagaimana hukum obligasi?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk dapat mengetahui obligasi dan status hukumnya.
2. Untuk memenuhi tugas mata kuliah telaah teks arab hukum ekonomi
syari’ah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Obligasi
Obligasi berasal dari bahasa Belanda yaitu “Obligatie”
yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan “obligasi” yang berarti ‘kontrak’. Dalam
keputusan Presiden RI Nomor 775/KMK 001/1982 disebutkan bahwa obligasi adalah
jenis efek berupa surat pengakuan utang atas pinjaman uang dari masyarakat
dalam bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang-kurangnya tiga tahun dengan
menjanjikan imbalan bunga, yang jumlah serta saat pembayarannya telah
ditentukan terlebih dahulu oleh emiten atau Badan Pelaksana Pasar Modal.[1]
B.
Teks Al-Qur’an
Adapun dalil yang mendasari obligasi
adalah dari al-Qur’an, hadits.
1.
Firman Allah SWT, QS. Al-Ma’idah :1:
يَاْاَيُّهَااَّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اَوْفُوْا
بِاْلعُقُوْدِ
Artinya: Hai orang – orang yang beriman, penuhilah
akad-akad itu.[2]
2.
Firman Allah SWT, QS. Al-Isra’ : 34:
وَاَوْفُوْا
بِاْلعَهْدِ اِنَّ اْلعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً
Artinya: dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu
pasti diminta pertanggungan jawabnya.[3]
3. Firman allah QS. Al-Bakarah: 275.
وَأَحَلَّ
اللَّهُ البَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ” (البقرة: 275
Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.[4]
4.
Hadits Nabi SAW:
عن عمرو بن عوف المزاني قال رسول الله
ص م : الصّلْح جائز بين الْمسلمين الا صلْحا حرّم حلالا أَو أَحلّ حراما
والْمسلمون علَى شروطهِم إلا شرطا حرّم حلالا أو أحلّ حراما (رواه امام الترمذى)
“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat
dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.”.[5]
5.
Pendapat Ulama’
Fatwa dewan syari`ah
Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002, tentang Sukuk (Obligasi syari`ah) adalah surat
berharga berjangka panjang berdasarkan prinsip syari’ah yang dikelurkan emiten
kepada pemegang obligasi syari’ah, tersebut berupa bagi hasil/margin/fee, serta
membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Karakteristik dan
istilah sukuk merupakan pengganti
dari istilah sebelumnya yang memggunakan istilah bond, dimana istilah bond
mempunyai makna loan (hutang), dengan
menambahkan Islamic maka kontradiktif maknanya karena biasanya yang mendasari
mekanisme hutang (loan) adalah
interest, sedangkan dalam Islam interest tersebut termasuk riba yang
diharamkan. Untuk itu sejak tahun 2007 istilah bond ditukar dengan istilah Sukuk
sebagaimana disebutkan dalam peraturan di Badan pengawas pasar modal dan
lembaga keuangan (Bapepam LK).
Abu Hanifa dan muridnya
Abu Yusuf memberikan pandangan bahwa penjualan sesuatu/properti yang belum
diterima oleh si penjual namun sudah jelas keberadaan fisiknya (dapat di cek
keberadaannya) adalah diperbolehkan.[6]
C. Makna Mufradat
1.
Ayat pertama
Arti Mufradat
|
Ayat al-Qur’an
|
Wahai
|
يَاْاَيُّهَا
|
Orang-orang
|
اَّلَّذِيْنَ
|
Yang beriman
|
ءَامَنُوْا
|
Penuhilah
|
اَوْفُوْا
|
Dengan akad-akad
|
بِاْلعُقُوْدِ
|
2.
Ayat kedua
Arti
Mufradat
|
Ayat
Al-Qur’an
|
Dan
|
وَ
|
Penuhilah
|
اَوْفُوْا
|
Dengan akad
|
بِاْلعَهْدِ
|
Sesungguhnya
|
اِنَّ
|
Janji
|
اْلعَهْدَ
|
Ada
|
كَانَ
|
Diminta pertanggung jawaban
|
مَسْئُوْلاً
|
3.
Ayat ketiga
Arti
Mufradat
|
Ayat al-Qur’an
|
Dan menghalalkan
|
وَأَحَلَّ
|
Allah
|
اللَّهُ
|
Jual beli
|
البَيْعَ
|
Dan mengharamkan
|
وَحَرَّمَ
|
Riba
|
الرِّبَا
|
D. Munasabah
Al-Ayat
Pada akhir
surah al-Maidah, Allah menyatakan diriNya sebagai pemillik kerajaan langit,
bumi dan isinya sekaligus menguasai dan mengaturnya sesuai kehendakNya. Maka
pada awal surah al-An’am Allah memuji diriNya karena Dialah yang telah menciptakan
langit, bumi dan isinya serta segala peristiwa yang terjadi didalamnya.[7]
E. Asbab
Al-Nuzul
1. Ayat
pertama
Ibnu Jabir meriwayatkan dari Ikrimah, dia berkata:
“Al-Hutham bin Hinduwal Bakri datang ke Madinah dengan beberapa untanya yang
membawa bahan makan untuk dijual. Kemudian dia mendatangi Rasullah, dan
menawarkan barang dagangannya, setelah itu dia masuk islam. Ketika dia keluar
dari tempat Rasulullah, beliau bersabda kepada orang-orang yang ada didekat
beliau,‘dia datang kepadaku dengan wajah orang yang jahat. Lalu dia pergi
dengan punggung seorang pengkhianat.’ Ketika al-Hatham sampai ke
Yamamah, dia keluar dari islam (murtad). Ketika bulan Dzul Hijjah, dia pergi ke
Mekkah dengan rombongan untanya yang membawa bahan makanan. Ketika orang-orang
Muhajirin dan orang-orang Anshar mendengar berita kepergian al-Hatham ke
Mekkah, mereka pun bersiap-siap untuk menyerang kafilah untanya. Maka Allah
menurunkan firman-Nya, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah melanggar
syiar-syiar kesucian Allah..’ Akhirnya, mereka tidak jadi melakukan hal
itu.”
Ibnu Jabir juga meriwayatkan dari As-Suddi hadits
yang serupa dengannya.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, dia
berkata, “Rasulullah dan para sahabat
berada di Hudaibiyah ketika orang-orang musyrik menghalangi mereka pergi ke
Baitullah.” Hal itu membuat marah para sahabat. Ketika dalam keadaan
demikian, beberapa orang musyrik dari daerah timur melintasi mereka menuju
Baitullah untuk melakukan umrah. Para sahabat berkata, ‘kita halangi mereka agar tidak pergi ke Baitullah, sebagaimana mereka
menghalangi kita.’
Lalu Allah menurunkan ayat-Nya: ‘.janganlah
sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi
kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka)...’[8]
2.
Ayat ketiga
Abu Ya`la mengetengahkan dalam Musnad-nya dan Ibnu Mandah
dari jalur Al-Kalbiy dan Abu Shalih dari Ibnu Abbas, katanya, "Kami dapat berita bahwa ayat ini turun
pada Bani Amr bin Auf dari suku Tsaqif dan pada Bani Mughirah.” Bani
Mughirah memberikan bunga uang kepada Tsaqif. Tatkala Mekah dikuasakan Allah
kepada Rasul-Nya, maka ketika itu seluruh riba dihapuskan. Maka datanglah Bani
Amr dan Bani Mughirah kepada Atab Ibnu Usaid yang ketika itu menjadi pemimpin
muslimin di Mekah. Kata Bani Mughirah, 'Tidakkah kami dijadikan secelaka-celaka
manusia mengenai riba, karena terhadap semua manusia dihapuskan, tetapi pada
kami tidak?' Jawab Bani Amr, 'Dalam
perjanjian damai di antara kami disebutkan bahwa kami tetap memperoleh riba
kami.' Atab pun mengirim surah kepada Nabi saw. mengenai hal itu, maka
turunlah ayat ini dan ayat-ayat berikutnya." Ibnu Jarir mengetengahkan dari Ikrimah, katanya, "Ayat ini
turun mengenai suku Tsaqif, di antara mereka Masud, Habib, Tabiah dan Abdu
Yalail, serta Bani Amr dan Bani Umair.[9]
F. Tafsir Ayat
1.
Tafsir ayat pertama
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ (wahai
orang-orang yang beriman penuhilah olehmu perjanjian itu) setiap ayat
yang didahului dengan kalimat yaa ayyuhal ladzina aamanu ayat
ini turun di Madinah sedangkan jika diawali dengan yaa ayyuhannas ayat
ini diturunkan di Mekkah.
Al-uqud adalah jamak dari al-‘aqdu yang
berarti mengikat sesuatu dengan sesuatu, yang kemudian dipakai untuk makna
akad dalam jual beli, akad pernikahan, dan lain sebagainya. Jual beli misalnya,
merupakan bentuk akad yang menjadikan barang yang ia beli menjadi miliknya dan
dapat berkuasa penuh dalam pemakaian dan pemanfaatannya. Demikian juga dengan akad nikah, yang mana antara
laki-laki dan perempuan terikat dengan ketentuan-ketentuan.
Perjanjian yang dimaksud yakni yang mencakup
perjanjian di antara seorang hamba dengan Allah
maupun dengan sesama manusia. Contoh perjanjian kepada Allah SWT yaitu ketika
kita mengucapkan dua kalimat syahadat maka kita sudah terikat dengan janji kita
kepada Allah untuk menjalankan semua perintahNya dan menjauhi semua
laranganNya. Begitu juga dengan perjanjian kepada manusia harus ditepati
meskipun perjanjian terhadap musuh, karena dari tanda-tanda orang munafik
sendiri ialah tidak menepati janji.
Aufuu yaitu memberikan sesuatu secara
sempurna. Ayat ini menunjukkan betapa al-Quran
sangat menekankan untuk memenuhi akad ataupun janji secara sempurna. Dengan
terpenuhinya akad tersebut maka akan memberikan rasa aman dan bahagia karena
tidak adanya tanggungan antara pihak-pihak yang melakukan akad.[10]
Akad
(perjanjian) mencakup janji prastia hamba kepada allah dan perjanjian yang
dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Syaikh assa’di berkata, “ ini merupakan perintah Allah kepada
hamba-hambanya yang mukmin untuk mengerjakan konsekuensi dari pada iman yaitu
memenuhi janji, yakni menyempurnakannya, melengkapinya, tidak membatalkan dan
tidak mengurangi.” Hal ini mencakup akad yang dilakukan antara seorang
hamba dengan tuhannya berupa mengerjakan ibadah kepadaNya, mengerjakannya, secara sempurna, tidak
mngurangi di antara hak-hak itu demikian juga mencakup antara seseorang dengan
rasulnya yaitu dengan menaatinya, dan mengikutinya. Mencakup pula antara
seseorang dengan dengan kedua orang tuanya dan krabatnya, yakni dengan berbakti
kepada mereka dan menyambungkan silaturrahim dengan mereka dan tidak
memutuskannya. Demikian pula akad antara kawan-kawannya. Dengan seseorang berupa mengerjakan hak-hak persahabatan
disaat kaya dan miskin, lapang dan sempit. Termasuk pula akad antara seseorang
dengan yang lain dalam akad muamalah seperti
jual beli, menyewa dan sebagainya termasuk pula akad tabbaruat (kerelaan) seperti hibah
dan sebagainya bahkan termasuk pula memenuhi hak kaum muslimin yang telah Allah akadkan hak itu diantara mereka dalam firmannya, “ sesungguhnya kaum mukminin itu bersaudara.”[11]
2. Tafsir
surat ke 2
(إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا) "sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba.”
Mereka menyatukan dengan kelancangan mereka antara apa yang dihalalkan oleh Allah dengan apa yang diharamkan olehNya hingga mereka membolehkan riba dengan hal itu.
Allah ta'ala kemudian menawarkan kepada orang-orang yang melakukan praktek riba dan selain mereka untuk bertaubat dalam firmanNya, (فَمَن جَآءَ هُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ) "Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya" sebuah penjelasan yang disertai dengan janji dan ancaman, (فَانتَهَى) "lalu terus berhenti (dari mengambil riba)", dari apa yang mereka lakukan dari praktek riba, (فَلَهُ مَا سَلَفَ) "maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)" dari perkara yang ia berani terhadapnya, lalu ia bertaubat darinya, (وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ) "dan urusannya (terserah) kepada Allah" pada masa yang akan datang jika dia masih terus dalam taubatnya. Allah tidak akan melalaikan pahala orang-orang yang berbuat kebajikan.
(وَمَنْ عَادَ) "Orang yang mengulangi (mengambil riba)" setelah penjelasan Allah dan peringatanNya serta ancamanNya terhadap orang yang memakan riba, (فَأُوْلئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ) "maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya". Dalam ayat ini ada isyarat bahwa riba itu berkonsekuensi masuk neraka dan kekal di dalamnya. Hal itu karena kejelekannya, selama tidak ada yang menghalangi kekekalannya yaitu keimanan. Ini di antara sejumlah hukum-hukum yang tergantung kepada terpenuhinya dan terbebasnya dari penghalang. Ayat ini bukan hujjah bagi Khawarij atau lainnya dari ayat-ayat ancaman. Yang wajib adalah menyakini semua nash-nash al-Qur'an maupun as-Sunnah, maka seorang mukmin harus percaya dengan nash-nash yang diriwayatkan secara mutawatir yaitu akan keluarnya orang yang ada dalam hatinya keimanan walaupun seberat biji sawi dari neraka, dan dari hal yang merupakan perkara yang membinasakan yang memasukkan ke dalam neraka apabila ia tidak bertaubat darinya.[12]
Mereka menyatukan dengan kelancangan mereka antara apa yang dihalalkan oleh Allah dengan apa yang diharamkan olehNya hingga mereka membolehkan riba dengan hal itu.
Allah ta'ala kemudian menawarkan kepada orang-orang yang melakukan praktek riba dan selain mereka untuk bertaubat dalam firmanNya, (فَمَن جَآءَ هُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ) "Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya" sebuah penjelasan yang disertai dengan janji dan ancaman, (فَانتَهَى) "lalu terus berhenti (dari mengambil riba)", dari apa yang mereka lakukan dari praktek riba, (فَلَهُ مَا سَلَفَ) "maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)" dari perkara yang ia berani terhadapnya, lalu ia bertaubat darinya, (وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ) "dan urusannya (terserah) kepada Allah" pada masa yang akan datang jika dia masih terus dalam taubatnya. Allah tidak akan melalaikan pahala orang-orang yang berbuat kebajikan.
(وَمَنْ عَادَ) "Orang yang mengulangi (mengambil riba)" setelah penjelasan Allah dan peringatanNya serta ancamanNya terhadap orang yang memakan riba, (فَأُوْلئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ) "maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya". Dalam ayat ini ada isyarat bahwa riba itu berkonsekuensi masuk neraka dan kekal di dalamnya. Hal itu karena kejelekannya, selama tidak ada yang menghalangi kekekalannya yaitu keimanan. Ini di antara sejumlah hukum-hukum yang tergantung kepada terpenuhinya dan terbebasnya dari penghalang. Ayat ini bukan hujjah bagi Khawarij atau lainnya dari ayat-ayat ancaman. Yang wajib adalah menyakini semua nash-nash al-Qur'an maupun as-Sunnah, maka seorang mukmin harus percaya dengan nash-nash yang diriwayatkan secara mutawatir yaitu akan keluarnya orang yang ada dalam hatinya keimanan walaupun seberat biji sawi dari neraka, dan dari hal yang merupakan perkara yang membinasakan yang memasukkan ke dalam neraka apabila ia tidak bertaubat darinya.[12]
3.
Tafsir
ayat ke 3
وَاَوْفُوْا
بِاْلعَهْدِ “ dan penuhilah janjinya “yaitu perjanjian yang kalian perbuat kepada manusia dan ikatan kerja
yang kalian pekerjakan mereka dengan ikatan kerja tersebut karena sesungguhnya
kedua hal itu akan dimintai pertanggung jawaban dari pelakunya”
G. Kandungan Hukum
Obligasi adalah sarana untuk berhutang. Obligasi dikeluarkan
oleh bank, perusahaan atau pemerintah untuk dibeli oleh mereka yang ingin
berinvestasi. Obligasi merupakan kertas yang memuat nilai nominal. Pihak yang
mengeluarkan obligasi berposisi sebagai debitor baik bank, perusahaan atau
pemerintahan. Pihak yang mengeluarkan obligasi itu berjanji untuk membayar
kepada pihak yang memiliki obligasi setelah jangka waktu tertentu sejumlah
nilai nominal yang tertera di obligasi itu (jumlah hutang) dan bunga tahunan
tertentu. Jadi, obligasi itu merupakan muamalah
ribawi dan hukumnya haram.[14]
Sebagian kalangan masih
memandang haramnya riba hanya pada jenis riba yang keji, riba yang berlipat
ganda, yang menarik bunga sangat tinggi dan dapat mencekik leher. Adapun riba
yang sedikit tidak haram dengan menyandarkan hukum pada ayat “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan riba dengan berlipat ganda.” (TQS.
Ali Imran [3]:130)
Namun sebenarnya,
lafadz adl ‘afan mudla’afah (berlipat ganda) berfungsi sebagai waqi’atul
‘ain, yaitu penjelas atas peristiwa yang pernah terjadi di masa Jahiliah
dan menunjukkan betapa (kejinya tingkat) kejahatan yang mereka lakukan.[15]
Untuk memperjelas bahwa
hukum riba adalah haram, kita perlu mengetahui turunnya ayat-ayat mengenai riba
terlebih dulu. Berikut ini pemaparannya ayat pertama mengenai riba yang
diturunkan Allah SWT adalah
“Dan suatu riba (tambahan)yang kamu berikan untuk menambah harta
manusia, maka yang demikian itu tidak (berarti) bisa menambah di sisi Allah.” (TQS.
Ar-Rum [30]: 39)
Ayat tersebut belum
menunjukkan isyarat mengenai haramnya riba. Hanya ada isyarat kebencian dari
Allah SWT terhadap riba dan peringatan agar berhenti dari aktivitas riba.
Selanjutnya ayat kedua
adalah firman Allah SWT tentang perbuatan bani Israil yang menyebabkan
kemurkaan Allah SWT. Ayat tersebut adalah
“Maka lantaran
kedzaliman yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi itu, Kami haramkan atas
mereka beberapa jeni s makanan yang baik-baik, yang sedianya dihalalkan kepada
mereka. Dan lantaran perbuatan mereka yang menghalangi manusia dari jalan Allah
yang banyak sekali itu serta mereka yang mengambil riba, padahal mereka telah
dilarangnya.” (TQS. an-Nisa
[4]:160-161)
Ayat ini diturunkan
di Madinah sebelum perang Quraidhah pada tahun ke V atau sebelum perang Bani
Nadhir pada tahun ke IV H. Ayat tersebut memberikan pelajaran tentang tingkah
laku Yahudi yang melanggar larangan Allah, yaitu mereka melakukan praktek riba.
Maka Allah pun melaknat mereka. Ayat tersebut tidak bisa dijadikan dalil untuk
mengharamkan riba, sebab kaitannya dengan syariat Bani Israil dan hanya
menunjukkan bagaimana perilaku orang-orang Yahudi yang dilaknat Allah.
Adapun ayat yang ketiga
yang diturunkan oleh Allah SWT adalah
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan riba
dengan berlipat ganda.” (TQS. Ali Imran [3]:130)
Ayat tersebut turun di
Madinah dan dengan tegas mengharamkan salah satu jenis riba (riba nasiah).
berarti ayat ini menunjukkan laranga riba masih bersifat sebagian belum
menyeluruh. Pengharaman riba pada ayat ini berlaku bagi praktek-praktek riba
yang keji dan jahat, yang membungakan uang berlipat-lipat.
Namun tidak berhenti
sampai ayat tersebut, ternyata Allah masih menurunkan satu ayat terakhir
tentang riba, yaitu
“Hai orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah, dan
tinggalkanlah apa yang masih tersisa dari riba, jika kamu orang-orang yang
beriman.” (TQS. al-Baqarah [2]: 278)
ayat tersebut terkait
dengan rangkaian ayat yang sebelumnya, yaitu
“Orang-orang yang makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri tegak melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”(TQS. Al-Baqarah [2]: 275)
Turunnya ayat tersebut
sebenarnya telah mengharamkan seluruh jenis riba, tidak membedakan
yang banyak maupun yang sedikit. Ayat tersebut dan tiga ayat setelahnya
(QS Al-baqarah [2]: 279-281) merupakan ayat tentang hukum yang terakhir dan
pemutus hubungan antara langit dan bumi. Sebab, tidak lama kemudian Rasulullah
SAW wafat.
Bagi kaum muslim saat
ini, yang hidup setelah wafatnya Rasulullah SAW, maka hukum yang berlaku adalah
hukum pada ayat yang terakhir, yang telah menasakh hukum pada ayat-ayat
sebelumnya. Ayat tersebut telah menjelaskan bahwasanya segala bentuk riba
hukumnya haram. Dalam hal ini pun kalangan ulama tidak ada yang berbeda
pendapat. Sebab hal ini sudah ditetapkan dalam Kitab Allah, sunnah Rasul-Nya,
dan Ijma’ kaum Muslim termasuk empat madzhab.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. obligasi adalah jenis efek berupa surat pengakuan utang
atas pinjaman uang dari masyarakat dalam bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang-kurangnya
tiga tahun dengan menjanjikan imbalan bunga, yang jumlah serta saat
pembayarannya telah ditentukan terlebih dahulu oleh emiten atau Badan Pelaksana
Pasar Moda
2. Obligasi dikeluarkan oleh bank, perusahaan atau pemerintah
untuk dibeli oleh mereka yang ingin berinvestasi. Obligasi merupakan kertas
yang memuat nilai nominal. Pihak yang mengeluarkan obligasi berposisi sebagai
debitor baik bank, perusahaan atau pemerintahan. Pihak yang mengeluarkan
obligasi itu berjanji untuk membayar kepada pihak yang memiliki obligasi
setelah jangka waktu tertentu sejumlah nilai nominal yang tertera di obligasi
itu (jumlah hutang) dan bunga tahunan tertentu. Jadi, obligasi itu merupakan
muamalah ribawi dan hukumnya haram untuk dilakukan.
B.
Saran
Sebagai seorang manusia
tentulah mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dan juga, makalah ini masih
jauh dari kata sempurna seperti kata pepatah tak ada gading yang tak retak,
oleh sebab itu penulis masih memerlukan banyak masukan yang sifatnya membangun
untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-qur’an mulia wodpress.com.Tafsir ibnu kasir surat
al-isra=bzap& elce=ed-id&s. (diakses tanggal 3 April 2016).
Mahumud, Yusuf Ahmad. Bisnis Islami dan Kritik
atas Praktik Bisnis ala Kapitalis, Bogor:
Al Azhar Press, 2011.
Penerj, Abu Fuad. Riba Halal, Riba Haram. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2011.
Thohir,
Muhammad Sohib dan Ahsan Siha’ Muhammad. Mushap Al-Wardah, Al-Qur’an
Tarjemah Dan Tafsir Untuk Wanita. Bandung: Jabal Raudatu Al-Jannah, 2010.
https://hanialfarouqy.wordpress.com/2013/12/17/sukuk-dalam-pengkajian-ekonomi-islam.
(diakses tanggal 5 April 2016).
http://arekputrabru.blogspot.co.id/2012/03/makalah-sukuk-dan-obligasi-konvensional.html.
(diakses tanggal 5April 2016).
http://ikanteri89.blogspot.co.id/2014/06/makalah-tafsir-muamalah-surah-al-maidah.html.
(diakses tanggal 5 April 2016)
https://id-id.facebook.com/notes/tafsir-al-quran-vs-terjemahan-al-quran/surah-2-al-baqarah-ayat-271-286/163275387023556/.
(diakses tanggal 5 April 2016).
http://chairamj.blogspot.co.id/2014/12/kajian-surat-al-maidah-ayat-1-dan-2.html.
(diakses tanggal 4 April 2016).
https://www.alsofwah.or.id/cetakquran.php?id=241.
(diakses tanggal 2 April 2016).
[1] https://hanialfarouqy.wordpress.com/2013/12/17/sukuk-dalam-pengkajian-ekonomi-islam. (diakses tanggal 5 April 2016).
[2] Muhammad Sohib Thohir dan Ahsan Siha’ Muhammad, Mushap
Al-Wardah, Al-Qur’an Tarjemah Dan Tafsir Untuk Wanita, (Bandung: Jabal
Raudatu Al-Jannah, 2010), Hlm. 84.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] https://hanialfarouqy.wordpress.com/2013/12/17/sukuk-dalam-pengkajian-ekonomi-islam. (diakses tanggal 5 April 2016).
[6] http://arekputrabru.blogspot.co.id/2012/03/makalah-sukuk-dan-obligasi-konvensional.html. (diakses tanggal 5April 2016).
[7] http://ikanteri89.blogspot.co.id/2014/06/makalah-tafsir-muamalah-surah-al-maidah.html. (diakses tanggal 5 April 2016)
[8] http://ikanteri89.blogspot.co.id/2014/06/makalah-tafsir-muamalah-surah-al-maidah.html. (diakses tanggal 5 April 2016).
[9] https://id-id.facebook.com/notes/tafsir-al-quran-vs-terjemahan-al-quran/surah-2-al-baqarah-ayat-271-286/163275387023556/. (diakses tanggal 5 April 2016).
[10] http://chairamj.blogspot.co.id/2014/12/kajian-surat-al-maidah-ayat-1-dan-2.html. (diakses tanggal 4 April 2016).
[13] Al-qur’an mulia wodpress.com.Tafsir ibnu
kasir surat al-isra=bzap& elce=ed-id&s. (diakses tanggal 3 April 2016).
[14] Yusuf Ahmad Mahumud, Bisnis Islami dan Kritik atas Praktik Bisnis ala
Kapitalis, (Bogor: Al Azhar Press,
2011), hlm. 243.
[15] Abu Fuad penerj, Riba
Halal, Riba Haram, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2011), hlm. 39.
[16] Ibid. Hlm. 32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar