Senin, 24 April 2017



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
     Di zaman globalisasi ini, ilmu Akhlak tasawuf sangat dibutuhkan bagi setiap manusia khususnya bagi seorang muslim. Oleh karena itu khususnya bagi orang muslim haruslah tahu apa arti ajaran-ajaran tasawuf atau pemahaman dalam aliran ulama Sufi itu sendiri, agar dalam pengamalan tepat sesuai dengan al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad Saw.
     Dalam pandangan ulama sufi, manusia cenderung mengikuti hawa nafsu. Ia berupaya untuk  menguasai dunia atau berusaha agar bebas dari segala aturan.  Hal ini akan menyebabkan pada krisis moral.
     Untuk memperbaiki keadaan ini, seseorang yang masuk dalam kehidupan Tasawuf harus melalui beberapa tahapan yang cukup berat. Tujuannya adalah untuk mengendalikan  hawa nafsu agar lebih baik. Tahapan tersebut adalah tiga fase yaitu takhalli, tahalli, dan tajalli.
B.   Rumusan Masalah
     Dari latar belakang di atas penulis menarik sebuah rumusan dalam pembahasan makalah ini tentang takhalli, tajalli, dan tahalli yaitu:
1.      Apa yang dimaksud takhalli?
2.      Apa yang dimaksud tajalli?
3.      Apa yang dimaksud tahalli?

C.  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu:
1.      Untuk mengetahui makna takhalli.
2.      Untuk mengetahui makna tahalli.
3.      Untuk mengetahui makna tajalli.
BAB II
PEMBAHASAN
1.       Takhalli
     Takhalli adalah upaya mengkosongkan diri dari sifat-sifat yang buruk/ tercela (madzmumah). Salah satu akhlak adalah yang paling banyak menyebabkan munculnya akhlak jelek lainya adalah ketergantungan kepada kenikmatan duniawi. Hal ini dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu. Dalam hal menanamkan rasa benci terhadap kehidupan dunia serta mematikan hawa nafsu para sufi berbeda pendapat. Sebagian mereka yang moderat berpendapat bahwa kebencian terhadap kehidupan duniawi yaitu sekadar tidak melupakan tujuan hidupnya namun tidak meninggalkan duniawi sama sekali. Demikian juga dengan pematian hawa nafsu itu, yaitu sekedar menguasai manusia secara total melarikan diri dari problema dunia dan tidak pula memerintahkan untuk menghilangkan hawa nafsu. Golongan ini tetap memanfaatkan dunia sekedar kebutuhannya, dengan mengontrol dorongan nafsu.[1]
     Membersihkan diri dari sifat-sifat tercela kotoran hati, sudah di jelaskan di dalam firman Allah SWT.,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا, وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا. )الشمس،9-10(
     sesungguhnya berbahagialah orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”.
A.    Sifat-Sifat Yang Mengotori Jiwa/Hati
     Adapun sifat-sifat yang tercela yang mengotori jiwa manusia ialah:
Irihati, dengki atau benci, buruk sangka, sombong, merasa sempurna diri dari orang lain, mempamerkan kelebihan, cari-cari nama atau kemasyhuran, kikir, kebendaan, membanggakan diri, pemarah, pengupat, bicara belakang orang, dusta dan munafik.[2]
     Adapun sifat-sifat yang tercela yang merupakan maksiat lahir, ialah: segala perbuatan-perbuatan yang dikerjakan oleh anggota anggota badan manusia yang merusak orang atau diri sendiri hingga membawa pengorbanan benda, pikiran dan perasaan. Maksiat lahir melahirkan kejahatan-kejahatan yang merusak seorang dan mengacaukan masyarakat.
     Maksiat batin lebih berbahaya lagi, karena tidak kelihatan dan biasanya kurang disadari dan sukar di hilangkan. Maksiat batin adalah pembangkit  maksiat lahir dan selalu menimbulkan kejahatan baru yang diperkuat oleh anggota badan manusia. Kedua macam maksiat itu selalu mengganggu keselamatan dan kesejahtraan masyarakat yang dapat membawa manusia pada kecelakaan. kedua macam maksiat itulah yang mengotori jiwa manusia setiap waktu dan kesempatan yang diperbuat oleh diri sendiri tanpa disadari. Semua itu merupakan penghalang yang membatasi diri dengan tuhan.[3]
B.     Cara membersihkan jiwa/hati:
     Tersingkapnya tabir /hijab yang membatasi diri dengan Tuhan ialah suci bersihnya  diri/jiwa dari segala kotoran-kotoran maksiat lahir dan maksiat batin. Menurut ahli tarekat, ada empat hijab yang membatasi diri dengan tuhan,tetapi ada empat jalan pula yang dapat membuka hijab itu yang harus ditempuh atas empat tingkat.
a.       Suci dari najis dan hadas
b.      Membersihkan diri dari dosa lahir
c.       Suci dari dosa batin
d.      Mensucikan hati rabbaniyah[4]
     Menurut keterangan kaum sufi,bahwa kehidupan dan alam penuh dengan rahsia-rahsia tersembunyi rahasia itu tertutup oleh dinding.
     Di antara dinding itu ialah nafsu kita sendiri. Tetapi rahasia itu biasa terbuka dan dinding itu dapat tersingkap dan kita dapt melihat  merasakan atu berhubungan langsung dengan yang sangat rahasia, asal kita menempuh jalanya. Jalan itulah yang di namakan “tarekat” sepeti yang telah di uraikan. Usaha kearah itu, oleh ahli tarekat menempuh jalan didikan tiga tingkat  yaitu: takhalli, tahalli, dan tajalli. [5]
2.       Tahalli
     Tahalli adalah upaya menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku dan akhlak yang terpuji.dalam hal ini Allah Swt berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
 يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ  [النحل/90]
     Bahwa sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berlaku adil, bebuat kebijakan hidup kekeluargaan, dan melarang kekejian,kemungkaran dan bermusuhan. Bahwa Tuhan mengajarkan pada kamu sekalian agar kamu sekalian menjadi perhatian”
     Tahalli juga berarti menghiasi diri dengan sifat dan sikap setiap perbuatan yang baik. Berusaha agar setiap gerak perilaku berjalan di atas ketentuan agama, baik kebijakan yang bersifat “luar” atau ketaatan lahir maupun yang ersifat “dalam” atau ketaatan batin. Yang dimaksud dengan ketaatan lahir/luar. Dalam hal ini adalah kewajiban yang bersifat formal seperti sholat,puasa, zakat,haji dan sebagainya.[6]
     Sikap-sikap terpuji yang harus dimiliki seorang sufi seperti zuhud, tawakal, shobar,syukur, tawadu, warak yang dalam ajaran kaum sufi dikenal dengan maqamat dijelaskan sebagai berikut: ketika kaum sufi menjalani berbagai ritual melalui riyadlah  untuk menuju Tuhan, maka mereka melewati jalan panjang dengan berbagai terminal (stasion). Tahapan yang harus di lalui oleh seorang sufi dalam ilmu tasawuf dikenal dengan maqam  (jamak: maqamat). Maqamat dalam perspektif kaum sufi tidaklah sama antara satu dengan yang lainnya. Hal itu disebabkan karena maqamat adalah pengalaman individu/pribadi sang sufi yang hanya dapat di rasakan oleh peribadi yang bersangkutan. Secara bahasa, maqamat (jamak: dari maqam) berasal dari Bahasa Arab yang berarti tidak berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan yang harus dilalui oleh kaum sufi untuk mencapai derajat yang dekat dengan Allah. Dalam berbagai literatur Bahasa Inggris, maqamat disebut dengan stages, yang berarti tangga sementara juga ada yang menggunakan stations yang berarti terminal.[7] Maqam adalah hasil kesungguhan dan perjuangan terus menerus, dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik.[8]
A.    Pokok-Pokok Dasar Perbaikan Akhlak
     Dalam rangka mengatur tata kehidupan dan penghidupan manusia, Allah telah meletakkan dasar-dasar pokok untuk perbaikan akhlak. Maka apabila manusia dibina atas dasar-dasar pokok tersebut, maka dapatlah harapan terciptanya manusia pembangunan sebagai tenaga pendorong bagi pembangunan.
     Manusia sebagai anggota masyarakat, sendiri sendiri atau bersama-sama merupakan suatu kekuatan yang pokok. Itulah sebabnya Nabi kita dalm melalui pembangunan islam yang telah menggemparkan dunia, pertama-tama Nabi membangu mental manusia agar manusia itu menjadi tenaga kekuatan  pokok dan tenaga pendorong bagi tenaga pembangunan. Apabila tidak demmikian, maka kekuatan manusia bisa menjadi kekuatan untuk alat penghancur dan sifat partisipasi menjadi sifat masa bodoh. Dengan demikian dapatlah di mengerti bahwa pokok-pokok dasar yang di letakkan oleh islam dalam mengatur tata kehidupan dan penghidupan manusia selalu menghendaki kemajuan.[9]

B.     Sifat Yang Menyinari Jiwa/Hati
     Setelah manusia itu melakukan pembersihan hati, harus dibarengi pula penyinaran hati agar hati yang kotor dan gelap itu menjadi bersih dan terang karena hati yang demikian itulah yang dapat menerima pancaran Nur cahaya Tuhan. Sifat-sifat yang menyinari hati itu, oleh sufi dinamakan  sifat-sifat yang terpuji.[10]
C.    Mendekatkan Diri Kepada Allah:
     Dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah itu, perlu dengan tanjakan-tanjakan dari satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi seperti yang di kerjakan oleh kaum Sufi yang merupakan kesempurnaan agama Islam. Kesempurnaan agama Islam itu di capai dengan empat tingkat.
1.      Syariat.
2.      Tarekat.
3.      Hakekat.
4.      Makrifat.
     Dalam pada ini al-Ghazali menerangkan, ketika orang mengira al-Ghazali telah mencapai tujuannya yang terakhir kederajat yang begitu dekat kepada Tuhan, maka al-Ghazali berkata “Barang siapa mengalaminya, hanya akan dapat mengatakan bahwa itu, suatu hal yang tidak dapat di terangkan, indah, utama dan jangan lagi bertanya”. Selanjutnya Ghazali menerangkan, “Bahwa hatilah yang dapat mencapai hakikat sebagaimana yang tertulis lauhi al-mahfud, yaitu hati yang sudah bersih dan murni.[11]
3.       Tajalli.
     Tajalli adalah lenyapnya /hilangnya hijab dari sifat-sifat kebasyariaan, jelasnya Nur yang selama itu gaib, lenyapnya segala yang lain ketika nampaknya wajah Allah. Allah berfirman dalam surat (Qs. Al-A’raf)
فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا [الأعراف/143]
     Artinya: “Tatkala nampa /tajalli pada gunung itu, kejadian menjadikan gunung itu hancur luluh dan musa jatuh pingsan.”
     Tatkala kejadian atas Nabi musa tajalli-nya Tuhan. Ketika itu Musa telah menjadi fana dirinya. Jadi tajalli itu dapat terjadi pada hamba Allah setelah ia fana. Rupanya metode Abu Yazid Al-Bustami tentang fana dan baqa ada persamaanya dengan fana dan tajalli[12]
     Karena fana penghancuran dalam istilah sufi senantiasa dibarengi oleh baqa. Jadi fana terjadi baru ada baqa, demikian juga hal terjadinya tajalli. Jadi kalau kita membicarakan tajalli, selalu ikut membicarakan fana, karena demikianlah semestinya. [13]
A.    Tingkatan Tingkatan Tajalli
     Al-Jilli membagi tajalli menjadi empat tingkatan.
1.      Tajalli Af’al, yaitu tajalli Allah pada perbuatan seseorang, artinya segala aktivitasnya itu disertai qudrat-nya, dan ketika itu ia melihanya (dalam arti gerak dan diam itu adalah atsar/bekas dari qurah Allah).
2.      Tajalli Asma’, yakni lenyapnya seseorang dari dirinya dan bebasnya dari genggaman sifat-sifat kebaruan dan lepasnya dari ikatan tubuh kasarnya. Pada tingkatan ini tiada yng dilihatnya kecuali zat Ash-Shirfah (hakikat gerakan), bukan melihat asma’.
3.      Tajalli sifat, yakni menerimanya seorang hamba atas sifat-sifat ketuhanan, artinya Tuhan mengambil tempat padanya tanpa hulul zat-Nya.
4.      Tajalli zat, yakni apabila Allah menghendaki adanya tajalli atas hamba-Nya yang mem-fana’-kan dirinya mak bertempat pada karunia ketuhanan yang bisa berupa sifat dan bisa pula berupa zat. Apbila berupa zat, disitulah terjadi ketunggalan yang sempurna. Dengan fana’-nya hamba maka yang baqa’ hanyalah Allah. Dalam ada pada itu hamba telah berada dalam situasi ma siwallah  yakni dalam wujud Allah semata.[14]
     Ibnu Arabi menyatakan bahwa tajalli Tuhan dalam dua bentuk yaitu tajalli ghaib atau tajalli zati dan tajalli syuhudi.[15]
     Tajalli ghaib atau tajalli zati, yaitu penyingkapan diri dalam kegaiban. merupakan penyingkapan diri zat dalam diri-nya sendiri, tambak yang mutlak menampakkan diri pada dirinya sendiri.
     Tajalli dzati menurut Ibnu Arabi, terdiri dari dua martabat.
1.      Martabat ahadiyah, Tuhan merupakan wujud tunggal lagi mutlak yang belum dihubungkan dengan kausalitas (sifat) apa pun, sehingga ia belum di kenal oleh siapa pun.
2.      Martabat wahidiyah Tuhan memanifestasikan diri-Nya secara ilahiyah yang unik, di luar batas ruang dan waktu, dan dalam citra sifat-sifat-Nya.[16]
     Tajalli syuhudi adalah manifestasi diri di alam nyata,penampakan diri dalam cerita tertentu. Tajalli syuhudi terjadi ketika potensi-potensi yang ada di dalam esensi mengambil bentuk aktual dalam berbagai fenomena alam semesta.[17]
     Al-Kalabadzi membagi tajalli menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut.
a.       Tajalli Zat, yaitu mukasyafah (terbuaknya selubung yang menutupi kerahasiaan-Nya).
b.      Tajalli Shifat adz-Dzat, yaitu tampaknya sifat-sifat zat Allah sebagai sumber atau tempat cahaya.
c.       Tajalli Hukma adz-Dzat, yaitu tampak hukum zat-Nya yaitu hal-hal yang berhubungan dengan akhirat dan apa yang ada di dalamnya.[18]
     Mmenurut al-Jili, tajalli Ilahi yang berlangsung secara terus-menerus pada alam semesta ini terdiri dari lima martabat.
1.      Martabat uluhiyah. Martabat uluhiyah merupakan esensi dari zat primordial yang menjadi sumber dari yang wujud dan yang ‘adam, yang qadim dan yang hadits, al-Haqq dan al-Khalaq.
2.      Martabat ahadiyah. Martabat ahadiyah merupakan sebutan dari zat murni(adz-dzatv as-sadzi), tanpa nama, tanpa sifat, dan tidak ada suatu gejala apapun yang muncul darinya.
3.      Martabat wahidiyah. Martabat wahidiyah yakni tajalli zat pada sifat. Pada martabat wahidiyah ini zat menampakkan diri pada sifat-sifat dan asma itu sendiri identik dengan zat.
4.      Martabat rahnmaniyah. pada Martabat rahmaniyah Tuhan be- tajalli pada realitas-realitas asma’ dan sifat, dan dengan kat kun (jadilah), muncullah realitas-realitas potensi tadi menjadi wujud yang aktual, yakni alam semesta.
5.      Martabat rububiyah. Pada martabat rububiyah, asma dan sifat-sifat yang terkait dengan makhluk memanifestasikan dirinya secara rinci pada peringkat-peringkat dan bagian-bagian alam tersebut. Al-Jilli menempatkan 35 martabat lagi di bawah martabat rububiyah yang terkait dengan rincian tingkatan-tingkatan alam semesta.[19]   







BAB II
PENUTUP

A.    Kesimpulan
     Pada beberapa  pembahasan yang sudah di jelaskan berdasarkan bab-bab pembahasan masing-masing maka kesimpulan pokok-pokok pembahasan sebagi berikut :
1.      Takhalli merupakan upaya menusia dalam membersihkan/ mengkosongkan dari segala bentuk sifat-sifat yang buruk yang ada pada diri manusia, dengan beberapa cara yang sudah ada dalam islam.
2.      Tahalli, merupakan upaya penghiasan diri yang dilakukan manusia dengan melakukan perbuatan/perilaku yang terpuji atau dengan mendekatkan diri pada Allah,dimana dalam hal memenuhi hal tersebut berdasarkan pada pokok-pokok dasar perbaikan perilaku.
3.      Tajalli, merupakan hilangnya hijab dari sifat-sifat kemanusiaan, melalau beberapa tingkatan tajalli, sehinnga Nur yang selama itu gaib akan lenyap.
B.     Saran
     Dari makalah ini ada beberapa saran yang akan kami sampaikan, yaitu:
1.      Marilah perbaiki perbuatan kita dengan tiga tingkatan pada makalah yang sudah di jelaskan pada makalah ini
2.      Aplikasikan bentuk-bentuk menjadi insan yang sempurna dengan tahap, takhalli, tahalli dan tajalli.







DAFTAR PUSTAKA
As, Asmaran. Pengantar Studi Tasawwuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
Jumantoro, Totok & Munir Amin, Samsul. Kamus Ilmu Tasawwuf,t.t.: Amzah,       2005.
Muchlis Solichin, Mohammad. Akhlak dan Tasawwuf Dalam Wacana         Kontenporer, Surabaya: Salsabila Putra, 2013.
---------. Ilmu Akhlak dan Tasawwuf, Pamekasan: STAIN Pamekasan Press,  2009.
Zahri, Mustafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu, 1995.













[1] Mohammad  Muchlis Solichin,  Akhlak dan Tasawwuf  dalam Wacana Kontenporer, ( Surabaya:. Salsabila Putra,  2013), hlm, 210.
[2] Mustafa  Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasaawuf  ( Surabaya: Bina Ilmu, 1995), hlm, 74.
[3] Ibid. 75.
[4] Ibid. 76.
[5] Mustafa  Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasaawuf, ( Surabaya: Bina Ilmu, 1995), hlm, 76-82.
[6]  Asmaran  As.,  Pengantar Studi Tasawwuf, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm, 69.
[7] M. Muchlis  Sholichin,  Ilmu Akhlak dan Tasawwuf, (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press,  2009), hlm, 143.
[8] Ibid. 143.
[9] Mustafa  Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasaawuf, ( Surabaya: Bina Ilmu, 1995), hlm, 83.
[10] Mustafa  Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, ( Surabaya: Bina Ilmu, 1995), hlm, 83.
[11]  Ibid. 84-89.
[12] Mustafa  Zahri,  Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), hlm, 245.
[13] Ibid. 246.
[14] Totok Jumantoro & Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawwuf, (t.t.: Amzah, 2005), hlm, 239.
[15] Ibid. 230.
[16] Ibid. 230.
[17] Ibid. 230.
[18] Ibid. 231.
[19] Totok Jumantoro & Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawwuf, (t.t.: Amzah, 2005), hlm, 231-232.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar