BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di
zaman globalisasi ini, ilmu Akhlak tasawuf sangat dibutuhkan bagi setiap
manusia khususnya bagi seorang muslim. Oleh karena itu khususnya bagi orang
muslim haruslah tahu apa arti ajaran-ajaran tasawuf atau pemahaman dalam aliran
ulama Sufi itu sendiri, agar dalam pengamalan tepat sesuai dengan al-Qur’an dan
sunah Nabi Muhammad Saw.
Dalam
pandangan ulama sufi, manusia cenderung mengikuti hawa nafsu. Ia berupaya untuk
menguasai dunia atau berusaha agar bebas
dari segala aturan. Hal ini akan
menyebabkan pada krisis moral.
Untuk
memperbaiki keadaan ini, seseorang yang masuk dalam kehidupan Tasawuf harus
melalui beberapa tahapan yang cukup berat. Tujuannya adalah untuk mengendalikan hawa nafsu agar lebih baik. Tahapan tersebut
adalah tiga fase yaitu takhalli, tahalli, dan tajalli.
B.
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang di atas penulis menarik sebuah rumusan dalam pembahasan makalah
ini tentang takhalli, tajalli, dan tahalli yaitu:
1.
Apa yang dimaksud takhalli?
2.
Apa yang dimaksud tajalli?
3.
Apa yang dimaksud tahalli?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan
makalah ini yaitu:
1.
Untuk mengetahui makna takhalli.
2.
Untuk mengetahui makna tahalli.
3.
Untuk mengetahui makna tajalli.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Takhalli
Takhalli adalah
upaya mengkosongkan diri dari sifat-sifat yang buruk/ tercela (madzmumah).
Salah satu akhlak adalah yang paling banyak menyebabkan munculnya akhlak jelek
lainya adalah ketergantungan kepada kenikmatan duniawi. Hal ini dapat dicapai
dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan
berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu. Dalam hal menanamkan rasa benci terhadap
kehidupan dunia serta mematikan hawa nafsu para sufi berbeda pendapat. Sebagian
mereka yang moderat berpendapat bahwa kebencian terhadap kehidupan duniawi
yaitu sekadar tidak melupakan tujuan hidupnya namun tidak meninggalkan duniawi
sama sekali. Demikian juga dengan pematian hawa nafsu itu, yaitu sekedar
menguasai manusia secara total melarikan diri dari problema dunia dan tidak
pula memerintahkan untuk menghilangkan hawa nafsu. Golongan ini tetap
memanfaatkan dunia sekedar kebutuhannya, dengan mengontrol dorongan nafsu.[1]
Membersihkan
diri dari sifat-sifat tercela kotoran hati, sudah di jelaskan di dalam firman
Allah SWT.,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا, وَقَدْ خَابَ مَنْ
دَسَّاهَا. )الشمس،9-10(
“sesungguhnya berbahagialah
orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori
jiwanya”.
A.
Sifat-Sifat Yang Mengotori Jiwa/Hati
Adapun sifat-sifat yang tercela yang mengotori jiwa manusia
ialah:
Irihati, dengki
atau benci, buruk sangka, sombong, merasa sempurna diri dari orang lain,
mempamerkan kelebihan, cari-cari nama atau kemasyhuran, kikir, kebendaan, membanggakan
diri, pemarah, pengupat, bicara belakang orang, dusta dan munafik.[2]
Adapun sifat-sifat yang tercela yang merupakan maksiat
lahir, ialah: segala perbuatan-perbuatan yang dikerjakan oleh anggota anggota
badan manusia yang merusak orang atau diri sendiri hingga membawa pengorbanan
benda, pikiran dan perasaan. Maksiat lahir melahirkan kejahatan-kejahatan yang
merusak seorang dan mengacaukan masyarakat.
Maksiat batin lebih berbahaya lagi, karena tidak kelihatan dan
biasanya kurang disadari dan sukar di hilangkan. Maksiat batin adalah pembangkit
maksiat lahir dan selalu menimbulkan
kejahatan baru yang diperkuat oleh anggota badan manusia. Kedua macam maksiat
itu selalu mengganggu keselamatan dan kesejahtraan masyarakat yang dapat membawa
manusia pada kecelakaan. kedua macam maksiat itulah yang mengotori jiwa manusia
setiap waktu dan kesempatan yang diperbuat oleh diri sendiri tanpa disadari.
Semua itu merupakan penghalang yang membatasi diri dengan tuhan.[3]
B.
Cara membersihkan jiwa/hati:
Tersingkapnya tabir /hijab yang membatasi diri dengan Tuhan
ialah suci bersihnya diri/jiwa dari
segala kotoran-kotoran maksiat lahir dan maksiat batin. Menurut ahli tarekat,
ada empat hijab yang membatasi diri dengan tuhan,tetapi ada empat jalan pula
yang dapat membuka hijab itu yang harus ditempuh atas empat tingkat.
a.
Suci dari najis dan hadas
b.
Membersihkan diri dari dosa lahir
c.
Suci dari dosa batin
d.
Mensucikan hati rabbaniyah[4]
Menurut keterangan kaum sufi,bahwa kehidupan dan alam
penuh dengan rahsia-rahsia tersembunyi rahasia itu tertutup oleh dinding.
Di antara dinding itu ialah nafsu kita sendiri. Tetapi
rahasia itu biasa terbuka dan dinding itu dapat tersingkap dan kita dapt
melihat merasakan atu berhubungan
langsung dengan yang sangat rahasia, asal kita menempuh jalanya. Jalan itulah
yang di namakan “tarekat” sepeti yang telah di uraikan. Usaha kearah itu, oleh
ahli tarekat menempuh jalan didikan tiga tingkat yaitu: takhalli, tahalli, dan tajalli.
[5]
2.
Tahalli
Tahalli adalah
upaya menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku dan
akhlak yang terpuji.dalam hal ini Allah Swt berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ
بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ [النحل/90]
“Bahwa sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berlaku adil, bebuat kebijakan
hidup kekeluargaan, dan melarang kekejian,kemungkaran dan bermusuhan. Bahwa Tuhan
mengajarkan pada kamu sekalian agar kamu sekalian menjadi perhatian”
Tahalli juga berarti menghiasi diri dengan
sifat dan sikap setiap perbuatan yang baik. Berusaha agar setiap gerak perilaku
berjalan di atas ketentuan agama, baik kebijakan yang bersifat “luar” atau
ketaatan lahir maupun yang ersifat “dalam” atau ketaatan batin. Yang dimaksud
dengan ketaatan lahir/luar. Dalam hal ini adalah
kewajiban yang bersifat formal seperti sholat,puasa, zakat,haji dan sebagainya.[6]
Sikap-sikap terpuji yang harus dimiliki seorang sufi
seperti zuhud, tawakal, shobar,syukur, tawadu, warak yang dalam ajaran
kaum sufi dikenal dengan maqamat dijelaskan sebagai berikut: ketika kaum
sufi menjalani berbagai ritual melalui riyadlah untuk menuju Tuhan, maka mereka melewati jalan
panjang dengan berbagai terminal (stasion). Tahapan yang harus di lalui
oleh seorang sufi dalam ilmu tasawuf dikenal dengan maqam (jamak: maqamat). Maqamat dalam
perspektif kaum sufi tidaklah sama antara satu dengan yang lainnya. Hal itu disebabkan
karena maqamat adalah pengalaman individu/pribadi sang sufi yang hanya
dapat di rasakan oleh peribadi yang bersangkutan. Secara bahasa, maqamat (jamak:
dari maqam) berasal dari Bahasa Arab yang berarti tidak berdiri atau
pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan yang
harus dilalui oleh kaum sufi untuk mencapai derajat yang dekat dengan Allah.
Dalam berbagai literatur Bahasa Inggris, maqamat disebut dengan stages,
yang berarti tangga sementara juga ada yang menggunakan stations yang
berarti terminal.[7]
Maqam adalah hasil kesungguhan dan perjuangan
terus menerus, dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik.[8]
A. Pokok-Pokok Dasar Perbaikan Akhlak
Dalam rangka mengatur tata kehidupan dan penghidupan
manusia, Allah telah meletakkan dasar-dasar pokok untuk perbaikan akhlak. Maka
apabila manusia dibina atas dasar-dasar pokok tersebut, maka dapatlah harapan
terciptanya manusia pembangunan sebagai tenaga pendorong bagi pembangunan.
Manusia sebagai anggota masyarakat, sendiri sendiri
atau bersama-sama merupakan suatu kekuatan yang pokok. Itulah sebabnya Nabi
kita dalm melalui pembangunan islam yang telah menggemparkan dunia,
pertama-tama Nabi membangu mental manusia agar manusia itu menjadi tenaga
kekuatan pokok dan tenaga pendorong bagi
tenaga pembangunan. Apabila tidak demmikian, maka kekuatan manusia bisa menjadi
kekuatan untuk alat penghancur dan sifat partisipasi menjadi sifat masa bodoh.
Dengan demikian dapatlah di mengerti bahwa pokok-pokok dasar yang di letakkan
oleh islam dalam mengatur tata kehidupan dan penghidupan manusia selalu
menghendaki kemajuan.[9]
B. Sifat Yang Menyinari Jiwa/Hati
Setelah manusia itu melakukan pembersihan hati, harus
dibarengi pula penyinaran hati agar hati yang kotor dan gelap itu menjadi
bersih dan terang karena hati yang demikian itulah yang dapat menerima pancaran
Nur cahaya Tuhan. Sifat-sifat yang menyinari hati itu, oleh sufi dinamakan sifat-sifat yang terpuji.[10]
C. Mendekatkan Diri Kepada Allah:
Dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah itu, perlu
dengan tanjakan-tanjakan dari satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi seperti
yang di kerjakan oleh kaum Sufi yang merupakan kesempurnaan agama Islam.
Kesempurnaan agama Islam itu di capai dengan empat tingkat.
1. Syariat.
2. Tarekat.
3. Hakekat.
4. Makrifat.
Dalam pada ini al-Ghazali menerangkan, ketika orang
mengira al-Ghazali telah mencapai tujuannya yang terakhir kederajat yang begitu
dekat kepada Tuhan, maka al-Ghazali berkata “Barang siapa mengalaminya, hanya
akan dapat mengatakan bahwa itu, suatu hal yang tidak dapat di terangkan,
indah, utama dan jangan lagi bertanya”. Selanjutnya Ghazali menerangkan, “Bahwa
hatilah yang dapat mencapai hakikat sebagaimana yang tertulis lauhi al-mahfud,
yaitu hati yang sudah bersih dan murni.[11]
3. Tajalli.
Tajalli adalah lenyapnya /hilangnya
hijab dari sifat-sifat kebasyariaan, jelasnya Nur yang selama itu gaib, lenyapnya
segala yang lain ketika nampaknya wajah Allah. Allah berfirman dalam surat (Qs.
Al-A’raf)
فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ
لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا [الأعراف/143]
Artinya: “Tatkala nampa /tajalli pada gunung itu, kejadian menjadikan
gunung itu hancur luluh dan musa jatuh pingsan.”
Tatkala kejadian atas Nabi musa tajalli-nya Tuhan. Ketika itu Musa
telah menjadi fana dirinya. Jadi tajalli itu dapat terjadi pada hamba
Allah setelah ia fana. Rupanya metode Abu Yazid Al-Bustami tentang fana dan
baqa ada persamaanya dengan fana dan tajalli[12]
Karena fana penghancuran dalam istilah sufi senantiasa dibarengi
oleh baqa. Jadi fana terjadi baru ada baqa, demikian juga hal terjadinya tajalli.
Jadi kalau kita membicarakan tajalli, selalu ikut membicarakan fana,
karena demikianlah semestinya. [13]
A. Tingkatan Tingkatan Tajalli
Al-Jilli membagi tajalli menjadi
empat tingkatan.
1. Tajalli Af’al, yaitu tajalli Allah pada perbuatan seseorang,
artinya segala aktivitasnya itu disertai qudrat-nya, dan ketika itu ia
melihanya (dalam arti gerak dan diam itu adalah atsar/bekas dari qurah
Allah).
2. Tajalli Asma’, yakni lenyapnya seseorang dari dirinya dan bebasnya
dari genggaman sifat-sifat kebaruan dan lepasnya dari ikatan tubuh kasarnya. Pada
tingkatan ini tiada yng dilihatnya kecuali zat Ash-Shirfah (hakikat
gerakan), bukan melihat asma’.
3. Tajalli sifat, yakni menerimanya seorang hamba atas sifat-sifat
ketuhanan, artinya Tuhan mengambil tempat padanya tanpa hulul zat-Nya.
4. Tajalli zat, yakni apabila Allah menghendaki adanya tajalli atas
hamba-Nya yang mem-fana’-kan dirinya mak bertempat pada karunia ketuhanan
yang bisa berupa sifat dan bisa pula berupa zat. Apbila berupa zat, disitulah
terjadi ketunggalan yang sempurna. Dengan fana’-nya hamba maka yang baqa’
hanyalah Allah. Dalam ada pada itu hamba telah berada dalam situasi ma
siwallah yakni dalam wujud Allah semata.[14]
Ibnu Arabi menyatakan bahwa tajalli Tuhan dalam dua
bentuk yaitu tajalli ghaib atau tajalli zati dan tajalli
syuhudi.[15]
Tajalli ghaib atau tajalli zati, yaitu
penyingkapan diri dalam kegaiban. merupakan penyingkapan diri zat dalam
diri-nya sendiri, tambak yang mutlak menampakkan diri pada dirinya sendiri.
Tajalli dzati menurut Ibnu Arabi, terdiri dari dua
martabat.
1.
Martabat ahadiyah, Tuhan merupakan wujud
tunggal lagi mutlak yang belum dihubungkan dengan kausalitas (sifat) apa
pun, sehingga ia belum di kenal oleh siapa pun.
2.
Martabat wahidiyah Tuhan memanifestasikan
diri-Nya secara ilahiyah yang unik, di luar batas ruang dan waktu, dan
dalam citra sifat-sifat-Nya.[16]
Tajalli syuhudi adalah manifestasi diri di alam
nyata,penampakan diri dalam cerita tertentu. Tajalli syuhudi terjadi ketika
potensi-potensi yang ada di dalam esensi mengambil bentuk aktual dalam berbagai
fenomena alam semesta.[17]
Al-Kalabadzi membagi tajalli menjadi
tiga macam, yaitu sebagai berikut.
a. Tajalli Zat, yaitu mukasyafah (terbuaknya selubung yang
menutupi kerahasiaan-Nya).
b. Tajalli Shifat adz-Dzat, yaitu tampaknya sifat-sifat zat Allah sebagai sumber
atau tempat cahaya.
c. Tajalli Hukma adz-Dzat, yaitu tampak hukum zat-Nya yaitu hal-hal yang
berhubungan dengan akhirat dan apa yang ada di dalamnya.[18]
Mmenurut al-Jili, tajalli Ilahi yang
berlangsung secara terus-menerus pada alam semesta ini terdiri dari lima
martabat.
1. Martabat uluhiyah. Martabat uluhiyah merupakan esensi dari
zat primordial yang menjadi sumber dari yang wujud dan yang ‘adam, yang
qadim dan yang hadits, al-Haqq dan al-Khalaq.
2. Martabat ahadiyah. Martabat ahadiyah merupakan sebutan
dari zat murni(adz-dzatv as-sadzi), tanpa nama, tanpa sifat, dan tidak
ada suatu gejala apapun yang muncul darinya.
3. Martabat wahidiyah. Martabat wahidiyah yakni tajalli zat
pada sifat. Pada martabat wahidiyah ini zat menampakkan diri pada
sifat-sifat dan asma itu sendiri identik dengan zat.
4. Martabat rahnmaniyah. pada Martabat rahmaniyah Tuhan be- tajalli
pada realitas-realitas asma’ dan sifat, dan dengan kat kun (jadilah),
muncullah realitas-realitas potensi tadi menjadi wujud yang aktual,
yakni alam semesta.
5. Martabat rububiyah. Pada martabat rububiyah, asma dan
sifat-sifat yang terkait dengan makhluk memanifestasikan dirinya secara rinci
pada peringkat-peringkat dan bagian-bagian alam tersebut. Al-Jilli menempatkan
35 martabat lagi di bawah martabat rububiyah yang terkait dengan rincian
tingkatan-tingkatan alam semesta.[19]
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada beberapa pembahasan yang sudah di jelaskan berdasarkan
bab-bab pembahasan masing-masing maka kesimpulan pokok-pokok pembahasan sebagi
berikut :
1. Takhalli merupakan upaya menusia dalam membersihkan/ mengkosongkan
dari segala bentuk sifat-sifat yang buruk yang ada pada diri manusia, dengan
beberapa cara yang sudah ada dalam islam.
2.
Tahalli, merupakan upaya penghiasan diri yang dilakukan manusia dengan
melakukan perbuatan/perilaku yang terpuji atau dengan mendekatkan diri pada
Allah,dimana dalam hal memenuhi hal tersebut berdasarkan pada pokok-pokok dasar
perbaikan perilaku.
3.
Tajalli, merupakan hilangnya hijab dari sifat-sifat kemanusiaan,
melalau beberapa tingkatan tajalli, sehinnga Nur yang selama itu gaib
akan lenyap.
B.
Saran
Dari makalah ini ada beberapa saran yang akan kami
sampaikan, yaitu:
1. Marilah perbaiki perbuatan kita dengan tiga
tingkatan pada makalah yang sudah di jelaskan pada makalah ini
2. Aplikasikan bentuk-bentuk menjadi insan yang
sempurna dengan tahap, takhalli, tahalli dan tajalli.
DAFTAR PUSTAKA
As, Asmaran. Pengantar Studi Tasawwuf, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994.
Jumantoro, Totok & Munir Amin, Samsul. Kamus Ilmu Tasawwuf,t.t.: Amzah, 2005.
Muchlis Solichin, Mohammad. Akhlak dan Tasawwuf Dalam Wacana Kontenporer, Surabaya: Salsabila Putra, 2013.
---------. Ilmu Akhlak dan Tasawwuf, Pamekasan: STAIN
Pamekasan Press, 2009.
Zahri, Mustafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu, 1995.
[1] Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak dan Tasawwuf dalam Wacana Kontenporer, ( Surabaya:. Salsabila Putra, 2013), hlm,
210.
[3]
Ibid. 75.
[4]
Ibid. 76.
[7] M. Muchlis Sholichin, Ilmu Akhlak dan Tasawwuf, (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2009), hlm, 143.
[8] Ibid.
143.
[13] Ibid.
246.
[16]
Ibid. 230.
[17]
Ibid. 230.
[18]
Ibid. 231.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar