Senin, 24 April 2017

wakalah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang kesehariannya selalu membutuhkan orang lain. Sudah wajar itu karna Allah menciptakan manusia ini agar berpasang-pasangan serta saling tolong menolong, dalam kehidupan sehari-hari kita pasti kita selalu melakukan intraksi sosial dengan orang lain beik itu berupa kebutuhan atau hanya sekedar menyenangkan diri semata.
Islam tentunya membahas masalah hubungan manusia dengan manusia, yang kerapa disebut dengan istilah muamalah. Muamalah inilah yang membahas hubungan manusia dengan sesama manusianya. Itulah agama islam tidak hanya mengatur hubungan tuahan dengan hambanya namun urusan hamba dengan hambanya pun sama-sama di bahas. Pembahsan muamalah ini sangat menarik di bahas itu semua karna mungkin permasalahannya adalah yang kita alami sehari-hari.
Oleh karnanya manusia seharusnya lebih menelaah terkait masalah muamalah, agar tidak salah dalam melakukan interaksi-intraksinya dalam kehidupannya. Yang nantinya dapat menyalahi aturan-aturan yang menyalahi aturan islam. Oleh karenanya kami akan membahas slah satu intraksi manusia yang sering sekali dilakukan yaitu akad wakalah. Sering sekali manusia melakukan akad ini yang kadang tidak tau metode dan hukmya. Dalam makalah ini kami membahs tentang akad ini secara kongkrit.
B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian akad Wakalah?
2.      Bagaimana hukum akad Wakalah?
3.      apa saja landasan akad Wakalah?
C.    Tujuan Penulisan 
Makalah ini ditulis sebagai bentuk sumbangsih pengetahuan terhadap masyarakat, serta sebagai pemenuhan tugas mata kuliah
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Akad Wakalah
Wakalah secara etimologis, berarti pelimpahan atau penyerahan. Namun secara terminology wakalah adalah pelimpahan seseorang kepada orang lain atas urusan yang boleh ia lakukan sendiri dan boleh diambil alih orang lain (niyabah) agar dilakukan ketika ia masih hidup.[1]
Yang dimaksud dengan urusan “urusan yang boleh diambil alih orang lain” adalah, boleh dalam tinjauan syar’i, yakni urusan yang bukan ibadah badaniyah mahdhah. Sedangkan qayid “agar dilakukan ketika masih hidup “, mengecualikan isha’. Yakni pelimpahan urusan kepada orang lain untuk direalisasikan pasca kematian.[2]
B.     Dalil Yang Mendasari Akad Wakalah
Dalil al-Qur’an hadits dan ijma’, yang mendasari akad wakalah.
1.      Dalil dari al-Qur’an  
وَإنْ خِفْتُم شِقَاقَ بَيْنَهُمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِنْ أَهْلِهَا (النساء :35)
Artinya: Dan jika kamu kawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.[3]
فَأبْعَثُوا أحَدَكُمْ بِوَرِقِكُم هَذِهِ إِلىَ الْمَدِيْنَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَاماً فَلْيَأتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ" "الكهف:19"
Artinya: Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu,[4]


2.      Dalil dari Hadits

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم وكّل عمرو بن أُمية الضمري رضى الله عنه في قبول نكاح أم حبيبة رملة بنت أبي سفيان رضى الله عنهما. (رواه البيهقي)
Artinya: sesungguhnya Rasulallah Saw. Mewakilkan kepada amir bin umayyah Adl-Dlamri ra. Dalam menerima nikahnya Ummu Habibah, Ramlah binti Abi Sufyan ra. (HR. Albaihaqi).[5]

3.      Dalil dari Ijma’
Ulama membolehkan wakalah karena wakalah dipandang sebagai bentuk tolong menolong atas dasar kebaikan dan taqwa yang diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Maaidah ayat 2 :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (المائدة: 2)
Artinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong menolong dalam mengerjakan dosa dan permusuhan dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya siksa Allah sangat pedih”.[6]

C.    Makna Mufradat
المفردة اية الاولى :
Arti Mufradat
Teks
Dan jika kamu kawatir
وإن خِفْتُم[7]
Perselisihan/pertengkaran
شِقاقَ[8]
Di antara suami dan istri
بينهما[9]
maka kirimlah
فابعثوا[10]
seorang hakam/hakim
حَكَماً
dari keluarga laki-laki
من أهله[11]
seorang hakam/hakim
وحَكَماً
dari keluarga perempuan
من أهلها

المفردة اية الثانية :
Arti Mufradat
Teks
Utuslah
فأبعثوا
Seseorang
أحَدَكُم
Uang
بِوَرِقِكُم[12]
Ini
هذه[13]
Ke kota
إلى المدينة
Maka Hendak Lihatlah
فلينظر[14]
Wahai
أيُّها[15]
Lebih Baik
أزكى[16]
Makanan
           [17] طعاماً
Maka Hendaklah Membawa/Mendatangkan
فليأتِكُمْ
Dengan Rizki
برزقٍ
Dari Makanan
منه

المفردة اية الثالثة :
Arti Mufradat
Teks
Dan tolong menolonglah kamu
وَتَعَاوَنُوا[18]
Atas
عَلَى[19]
Kebaikan
الْبِرِّ
 dan taqwa
وَالتَّقْوَى[20]
dan janganlah
وَلا
 kamu tolong menolong
تَعَاوَنُوا
Atas
عَلَى
Dosa
           [21] الإثْمِ
Dan permusuhan              
وَالْعُدْوَانِ
dan bertaqwalah
وَاتَّقُوا
kepada Allah
اللَّهَ
Sesungguhnya
             [22] إِنَّ
Allah
اللَّهَ
sangat pedih

شَدِيدُ
Siksa.
الْعِقَاب[23]
D.    Munasabah ayat
Ayat ini turun sebagai teguran terhadap Rasulullah Saw. Beliau dilarang memutus suatu perkara sebelum ayat Alquran diturunkan, sebagaimana yang beliau lakukan memeberi hukum qishas terhadap suami atas gugatan istri tersebut. (H.R ibnu Jarir).[24]
Ayat diatas merupakan ayat yang menjelaskan bentuk dari pada praktek perwakilan kepada orang lain, meskipun salah satu dari ayat diatas  tidak lah langsung masuk pada persoalan muamalah.
 Ayat tersebut sebagai landasan dari pada akad wakalah, dimana akad wakalah ini berlangsung sebagai bentuk dari sosial kehidupan manusia, karena manusia tidak akan bisa memnuhi kabutuhannya kalau tanpa intraksi sosial dengan orang lain. Selain itu juga sebagi kemaslahatan masyarakat agar dalam kehidupannya selalu saling tolong menolong satu sama lain. Juga tidak hanya mnegandung akad wakalah saja namun ayat ini umum pada setiap hal yang bisa di alihkan pada orang lain (niyabah).[25]
E.     Asbab Al-Nuzul
perlu diperhatikan bahwa tidak semua ayat dalam al-Qur’an mempunyai asbabun nuzul seperti contoh asbabun nuzul di atas, karena tidak semua ayat al-Qur’an diturunkan berbarengan dengan adanya suatu peristiwa atau karena adanya suatu pertanyaan. Di sinilah pentingnya klasifikasi asbabun nuzul mikro dan makro.
Berdasarkan paparan di atas, tampak bahwa sebagian di antara ayat-ayat al-Qur’an ada yang turun dengan didahului oleh satu peristiwa/satu pertanyaan tertentu, tetapi tidak sedikit juga di antara ayat-ayat al-Qur’an yang turunnya sama sekali tidak didahului oleh adanya peristiwa/pertanyaan khusus, misalnya ayat-ayat yang bercerita tentang umat-umat dan kejadian masa lalu, cerita tentang hal-hal gaib yang akan terjadi, dan gambaran mengenai keadaan hari Kiamat. Dari sini kemudian dapat diklasifikasi asbabun nuzul ke dalam dua klasifikasi, yaitu; mikro (asbab an-nuzul al-khashshah) dan makro (asbab an-nuzul al-‘ammah).[26]
Adapun asbabu al-nuzul ayat-ayat yang sudah di sebutkan sebagai mana dijelaskan berikut:
1.      Asbabun nuzul ayat pertama
Pada suatu waktu datanglah seorang wanita menghadap Rasulullah Saw untuk mengadukan suatu masalah, yaitu ia ditampar mukanya oleh sang suami. Kemudian Rasulullah Saw bersabda “Suamimu itu harus diqishas (dibalas)”. Sehubungan dengan sabda Rasulullah saw itu Allah Swt menurunkan ayat ke 34-35 yang dengan tegas memberikan ketentuan, bahwa bagi orang laki-laki ada hak untuk mendidik istrinya yang melakukan penyelewengan terhadap haknya selaku istri. Setelah mendengar keterangan ayat ini wanita itu pulang dengan tidak menuntut qishas kepada suaminya yang telah menampar mukanya.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu waktu datanglah seorang wanita yang mengadukan masalahnya kepada Rasulullah saw. Ia bercerita bahwa mukanya ditampar oleh suaminya, yang suaminya tersebut adalah salah seorang sahabat anshar. Maksud kedatangan wanita tersebut adalah untuk menuntut balas terhadap perbuatan suaminya itu. Pada saat itu Rasulullah mengabulkan permohonannya, sebab belum ada ketegasan hukum dari Allah Swt. Sehubungan peristiwa tersebut Allah Swt menurunkan ayat ke 34 dan 35 sebagai ketegasan tentang hak kewajiban suami untuk mendidik istrinya yang membangkang. Selain itu turun juga ayat ke-114 dari surat thaha yang artinya:
“Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.".[27]

2.      Asbabun nuzul ayat ketiga
Ibnu Jabir meriwayatkan dari Ikrimah, dia berkata: “Al-Hutham bin Hinduwal Bakri datang ke Madinah dengan beberapa untanya yang membawa bahan makan untuk dijual. Kemudian dia mendatangi Rasullah, dan menawarkan barang dagangannya, setelah itu dia masuk islam. Ketika dia keluar dari tempat Rasulullah, beliau bersabda kepada orang-orang yang ada didekat beliau,‘dia datang kepadaku dengan wajah orang yang jahat. Lalu dia pergi dengan punggung seorang pengkhianat.’ Ketika Al-Hatham sampai ke Yamamah, dia keluar dari islam (murtad). Ketika bulan Dzul Hijjah, dia pergi ke Mekkah dengan rombingan untanya yang membawa bahan makanan. Ketika orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar mendengar berita kepergian Al-Hatham ke Mekkah, mereka pun bersiap-siap untuk menyerang kafilah untanya. Maka Allah menurunkan firman-Nya, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah melanggar syiar-syiar kesucian Allah..’Akhirnya, mereka tidak jadi melakukan hal itu.”
Ibnu Jabir juga meriwayatkan dari As-Suddi hadist yang serupa denggannya.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, dia berkata, “Rasulullah dan para sahabat berada di Hudaibiyah ketika orang-orang musyrik menghalangi mereka pergi ke Baitullah. Hal itu membuat marah para sahabat. Ketika dalam keadaan demikian, beberapa orang musyrik dari daerah timur melintasi mereka menuju Baitullah untuk melakukan umrah. Para sahabat berkata, ‘kita halangi mereka agar tidak pergi ke Baitullah, sebagaimana mereka menghalangi kita.
Lalu Allah menurunkan ayat-Nya: “..janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka)..”[28]
F.     Tafsir Al-Ayat
Mengenai ayat di atas banyak tafsiran dari para ulama mufassir,
1.      Penafsiran ayat pertama
Ayat pertama ini menjelaskan seorang suami dan istri mengalami pertengkarang atau (siqaq), maka persoalan ini di angkat ke hakim untuk di perdamaikan, satu hakim dari seorang istri dan satu hakim dari arah suami. Namun jika memang sepasang suami istri ini tidak bisa untuk di perdamaikan maka hakim mengambil keputusan untuk memisah pasangan ini (furqah) baik dengan jalan telak atau semacamnya.[29] dimana dalam kasus yang terjadi status dari dua hakim adalah sebagai wakil.[30]
Para mufassir yang lain pun tidak jauh berbeda memahami ayat ini seperti yang di katakana jalaluddin, .Dan jika kamu khawatir timbulnya persengketaan di antara keduanya) maksudnya di antara suami dengan istri terjadi pertengkaran (maka utuslah) kepada mereka atas kerelaan kedua belah pihak (seorang penengah) yakni seorang laki-laki yang adil (dari keluarga laki-laki) atau kaum kerabatnya (dan seorang penengah dari keluarga wanita) yang masing-masingnya mewakili pihak suami tentang putusannya untuk menjatuhkan talak atau menerima khuluk/tebusan dari pihak istri dalam putusannya untuk menyetujui khuluk. Kedua mereka akan berusaha sungguh-sungguh dan menyuruh pihak yang aniaya supaya sadar dan kembali, atau kalau dianggap perlu buat memisahkan antara suami istri itu. Firman-Nya: (jika mereka berdua bermaksud) maksudnya kedua penengah itu (mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberikan taufik kepada mereka) artinya suami istri sehingga ditakdirkan-Nyalah mana-mana yang sesuai untuk keduanya, apakah perbaikan ataukah perceraian. (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui) segala sesuatu (lagi Maha Mengenali) yang batin seperti halnya yang lahir[31]
Dari kasus tersebut  tenyata, ayat ini tidaklah sesempit itu  untuk di pahami. ayat ini tidaklah khusus pada permasalahan munakahah. Menurut Dr. Musthafa khan dan Dr. Musthafa al-bagha, ayat ini tidaklah fokus dalam masalah perkawinan bahkan ayat ini digunakan juga sebagai dalil dari akad wakalah.[32] Jelasnya ayat ini sudah ada ketegasan dari ulama sebagai dalil dari akad wakalah
2.      Penafsiran ayat kedua
فأبعثوا أحَدَكُم بِوَرِقِكُم, maka susruhlah salah seseorang diantara kita pergi ke kota dengan membawa uang perak kita ini.(al-kahfi.19), yakni kota yang telah kalian tinggalkan. Demikian itu karena saat mereka pergi membawa sejumlah uang dirham perak dari rumahnya masing-masing untuk bekal keperluan mereka. Ditengah jalan mereka menyedekahkan sebagiannya, dan sisanya mereka bawa. Karena itulah disebut oleh firman-Nya:
فأبعثوا أحَدَكُم بِوَرِقِكُم هذه إلى المدينة maka suruhlah salah seorang diantara kalian pergi kekota dengan membawa uang perak kalian ini. (al-kahfi: 19), yakni kota yang telah kalian tinggalkan. Alif dan lam dalam lafad Al-madinah menunjukkan makna ‘Ahd, yakni sudah di ketahui oleh lawan bicara, yaitu yaitu kota bekas tempat tinggal mereka.
 فلينظر أيُّها أزكى طعاماً dan hendaklah dia lihat makanan-makanan yang baik.(al-kahfi: 19), azka ta’aman, maknan yang besih. Makna yang dimaksud ialah yang halal lagi baik.[33]
Dalam tafsir jelalin mengenai ayat ini seperti demikian, “(Berkatalah seorang di antara mereka, "Sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?" Mereka menjawab, "Kita berada di sini sehari atau setengah hari)" sebab mereka memasuki gua ketika matahari mulai terbit, dan mereka bangun sewaktu matahari terbenam, maka oleh karena itu mereka menduga bahwa saat itu adalah terbenamnya matahari, kemudian (berkata sebagian yang lainnya lagi) seraya menyerahkan pengetahuan hal tersebut kepada Allah (Rabb kalian lebih mengetahui berapa lamanya kalian berada di sini, maka suruhlah salah seorang di antara kalian dengan membawa uang perak kalian ini) lafal Wariqikum dapat pula dibaca Warqikum, artinya uang perak kalian ini (pergi ke kota) menurut suatu pendapat dikatakan bahwa kota tersebut yang sekarang dinamakan Tharasus (dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik) artinya, manakah makanan di kota yang paling halal (maka hendaklah dia membawa makanan itu untuk kalian, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan hal kalian kepada seseorang pun).”[34]
dari tafsiran di atas mufassir yang lain pun menyimpulkan mengenai ayat ini, bahwa kandungan dalam ayat ini mendasari dalil dari akad Wakalah. Bahkan juga dari ayat ini mempunyai kandungan dasar dari dalil akad Sirkah[35].
ada tujuh pendapat mengenai penelaahan teks ayat ini:
a.       Mengenai lafad, بِوَرِقِكُمْ Abu Umar dan Abu Bakr membaca dengan Ra’ yang di baca sukun, serta membuang harkat kasrah karena beratnya yang memang dalam teks ini ada dua lughah, menurut al-zhujaj di baca dengan kasrahnya Wau dan sukunnya Ra’.  Untuk lafad Al-Madinah ini adalah kota AFSUS dan nama ini adalah sebutan dari orang-orang Jahiliyah dan setelah islam datang kota ini dikenal dengan nama THARSUS
b.      Firman Allah فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَاماً Ibn Abbas mengatakan,   penduduk kota itu pada masa dulu meletakkan persembahan sembelihan  untuk di persembahkan atas patung-patungnya dan kaum ini merupakan kau yang lemah imannya. 
c.       Dari lafad وَرِقُ ini sudah menjadi dalil akad wakalah serta sahnya akad wakalah seperti halnya yang dilakukan Ali bin Abi Thalib. Akad wakalh ini memang sudah masru’ dikalangan orang-orang Jahiliyah dan orang Muslim dari dulu.
d.      Akad waklah merupakan akad yang bisa di gantikan pada orang lain (Niyabah) akad ini di laksanakan dalam rangka kebutuhan manusia dan untuk menegakkan kemakmuran manusia. Karna pada dasarnya manusia tidak mungkin menyelesaikan kepentingannya sendiri, tanpa bantuan orang lain karna memang manusia adalah makhluk sosial yang membbutuhkan satu sama lain.
e.       Akad wakalah hukumnya boleh terhadap setiap hak yang bisa digantikan, jadi semisal seornag penggosop mewakilkan maka tidak boleh karna perkara yang haram tidak boleh di alihkan pada orang lain
f.       Akad wakalah ini di dasarkan pada kepercayaan (Tsiqah)
g.      Ayat ini selain mengandung akad wakalah ternyata dari adanya bahasa (Waraqa) yang sifatnya umum itu menunjukkan bolehnya akad Sirkah dan pencampuran harta, walau salah satunya lebih domminan.[36]
Ayat 19: Ayat ini bercerita tentang bangunnya mereka setelah tidur yang berkepanjangan. Tidur Ashabul Kahfi sedemikian panjang sehingga berdasarkan tahun Syamsiah berlangsung selama tiga ratus tahun lamanya dan apabila menggunakan perhitungan tahun Qamariah maka lama mereka terlelap tidur adalah tiga ratus sembilan tahun di goa itu. Karena itu, tidur mereka mirip kematian dan bangunnya mereka seperti hari kebangkitan. Pada ayat ini, al-Quran menyatakan, “Demikianlah Kami bangunkan mereka.”  Artinya sebagaimana Kami mampu membuat mereka tertidur selelap dan senyenyak ini selama ratusan tahun kami juga mampu membangunkan mereka. “Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Salah seorang di antara mereka berkatalah, “Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini)?” Mereka menjawab, “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari.” (Karena mereka tidak mampu menentukan masa tidur mereka), mereka berkata, “Tuhanmu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini).”
Setelah bangun dan saling bertanya seperti ini, mereka merasa sangat lapar dan ingin makan. Karena perbekalan mereka telah habis, mereka mengusulkan salah saeorang dari mereka untuk pergi ke kota membeli makanan dengan sisa uang perak yang dimiliki dan melihat makanan makanan yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan kita selama di sini. “Sekarang suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik. Lalu dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun.”[37]
3.      Penafsiran Ayat Ketiga
 وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, ayat ini memberikan perintah untuk saling tolong menolong dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa merupaka perintah bagii seluruh manusia. Yakni, hendaknya menolong sebagian yang lain dan berusaha untuk mengerjakan apa yang Allah perintahkan dan mengaplikasikannya. Selanjutnya dikatakan bahwa kebajikan dan taqwa adalah dua lafadz yang mengandung makna yang sama. Allah mengulangi makna ini dengan lafadz yang berbeda guna memberikan penegasan dan penekanan. Sebab setiap kebajikan adalan ketaqwaan dan setiap taqwa adalah kebajikan.
Kemudian Allah mengeluarkan larangan, dimana Allah berfirman وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ  dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, merupakan ketetapan yang diperuntukkan bagi dosa dan ‘udwan, yaitu mendzolimi manusia. Setelah itu Allah memerintahkan agar bertaqwa dan mengeluarkan ancaman secara global, Allah berfirman: إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ  dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
Allah memerintahkan untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan melarang untuk tolong menolong dalam pebuatan dosa dan permusuhan. Kemudian ayat ini ditutup dengan ancaman dan janji kepada hamba-Nya yang tidak melaksanakan perintah-Nya.[38]


G.    Kandungan Hukum
pada dasarnya akad Wakalah boleh dan di anjurkan. Akad Wakalah ini hukumnya terkadang kondisional, terkadang hukumnya sunnah jika menolong dalam hal hal yang sunah, dan terkadang berhukum makruh jika digunakan dalam hal yang makruh dan terkadang hukum haram jika memang di gunakan dalam hal-hal yang haram, bahkan bisa wajib hukumnya.[39]
Struktur akad Wakalah terdiri dari empat rukun. Yakni muwakkil, wakil, muwakkal fih, dan shighah.
1.      Muwakkil
Muwakkil adalah pihak yang melimpahkan urusan kepada orang lain untuk melakukannya sebagai pengganti dirinya.[40] Secara Syarat muwakkil adalah orang yang sah melakukan sendiri urusan yang ia limpahkan kepada orang lain, baik karena factor kepemilikan (milk), seperti mewakilkan kepada orang lain untuk menjualkan barang milik sendiri, atau karena factor otoritas (wilayah), seperti mewakilkan kepada orang lain untuk menjualkan barang milik anak kecil, orang gila, mahjur alaih,yang berada dibawah otoritasnya (mawli).  
Syarat ini hanya bersifat umum (aghlabiyah), sehingga tidak menafikan kasus orang yang tidak sah melakukan sendiri urusannya, namun tetap sah melimpahkannya kepada orang lain, seperti orang buta, tidak sah melakukan transaksi jual beli, namun tetap sah mewakilkan kepada orang lain karena darurat. Dan juga tidak menafikan kasus orang yang sah melakukan sendiri urusannya, namun tidak sah mewakilakan kepada orang lain, seperti orang yang sedang mengambil haknya (dhafir), boleh menjebol pintu untuk mengambil haknya, namun tidak boleh ia wakilkan kepada orang lain.[41]
Dari syarat muwakkil secara umum di atas akan mengecualikan bebrapa kasus:
a.       Anak kecil, orang gila, orang safih yang dibekukan tasarufnya, tidak sah mewakilakn tasaruf harta kepada orang lain, sebab tasaruf tersebut tidak sah dilakukan oleh diri mereka sendiri.
b.      Ayah yang fasiq tidak sah mewakilkan pernikahan anak perempuannya kepada orang lain, sebab wali yang fasiq tidak sah menikahkan anak perempuannya.
c.       Orang yang sedang ihram haji atau umrah, tidak sah mewakilkan akad nikahnya kepada orang lain, sebab seorang muhrim dilarang melakukan akad nikah.
d.      Orang perempuan tidak sah mewakilkan akad nikahnya kepada orang lain, sebab ia tidak sah melakukan akad nikah sendiri tanpa wali.[42]
2.      Wakil
Wakil adalah orang yang mengganti atau mengambil alih urusan orang lain atas izin perwakilan.[43] , secara umum, syrat wakil adalah orang yang sah melakukan urusan yang dilimpahkan, atas nama dirinya sendiri. Orang yang tidak sah melakukan sebuah urusan atas nama dirnya sendiri, maka tidak sah melakukannya atas nama orang lain. Sebab, keabsahan melakukan urusan atas nama diri sendiri bersifat tindakan tangan pertama (ashalah) yang lebih kuat dibanding keabsahan melakukannya atas nama orang lain yang bersifat tindakan tangan kedua atau asisten (niyabah). Sehingga keabsahan melakukan urusan atas nama diri sendiri, menentukan bagi keabsahan melakukannya atas nama orang lain.[44]

3.      Muwakkal fih
adalah urusan yang dilimpahkan oleh muwakkil agar dilakukan oleh wakil sebagai penggantinya.[45]
Syarat muwakkal faih ialah:
·         Urusan yang sudah menjadi hak (tsubut) dan sah dilakukan oleh muwakkil sendiri.
·         Urusan yang diketahui (ma’lum) meskipun tidak secara detail.
·         Urusan yang sah dilimpahkan kepada orang lain untuk menggantikannya, yakni urusan yang bukan berupa iabadah, atau ibadah yang bukan badaniyah mahdlah selain yang dikeculaikan.[46]












BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari penjelasan di atas maka dapat kami ambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      wakalah adalah pelimpahan seseorang kepada orang lain atas urusan yang boleh ia lakukan sendiri dan boleh diambil alih orang lain (niyabah) agar dilakukan ketika ia masih hidup
2.      pada dasarnya akad Wakalah boleh dan di anjurkan. Akad Wakalah ini hukumnya terkadang kondisional, terkadang hukumnya sunnah jika menolong dalam hal hal yang sunah, dan terkadang berhukum makruh jika digunakan dalam hal yang makruh dan terkadang hukum haram jika memang di gunakan dalam hal-hal yang haram, bahkan bisa wajib hukumnya.
3.      Yang mendasari akad wakalah ni adalah dalil dari al-Qur’an, hadits dan ijma’nya para ulama.
B.     Saran
Dengan selesainya makalah ini maka kami berpesan pada semua pembaca
1.      Supaya lebih lebih menela’ah tentang muamalah karena itu semua demi terhindarnya kesalahan dari aturan agama Islam
2.      Amalkanlah sebisa mungkin apa yang sudah diperoleh dari makalah ini








DAFTAR PUSTAKA
Al-Kurasy, Ibn Kshir.Tafsir ibnu kasir,Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani. 
Al-Qurtubi, Syamsuddin. Tafsir al-qurtubi, vol, 10, Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani.
http://lispedia.blogspot.com/2010/12/fiqh-muamalah-wadiah-wakalah-kafalah.html
Ibrahim al-syirasi, Abi ishaq. ,Al-muhaddab fi fiqh al-imam syafi’I li imam abi ishaq Ibrahim al-syirasi, vol 3, Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani.
Jalaluddin Muhammad Bin Ahmad Al-Mahalli Dan Jalaluddi Abdur Rohman Bin Abi Bakr Al-Syuyuti , Tafsir jelalin, Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani.
Mahali, A. Mudjab. asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an, Cet 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Muhammad Bin Umar Al-Bujairami, Sulaiman Bin.  Al-Bujairimi Ala Al-Khatib , vol 3, Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani.
Muhammad Sohib Thohir & Ahsan Siha’ Muhammad, Mushap Al-Wardah, Al-Qur’an Tarjemah Dan Tafsir Untuk Wanita, Bandung: Jabal Raudatu Al-Jannah, 2010.
Mustafa Al-Zuhaili, Wahbah Bin . Tafsir Munir, Vol, 15, Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani.
Musthafa khan & Musthafa al-bagha, Fiqh Al-Manhaji, vol 3, Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani..
Nasib Al-Rafi’i, Muhammad.  Taisir Al-Ali Al-Khadir Li’ihtishar Tafsir Ibn Khasir, vol 1, Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani.
Nawawi, Al-Majmuk Sarh Al-Muhaddab, vol 14, Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani.
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqh Muamalah,  Kediri: Lirboyo Press, 2013.
Umar Al-Bujairami, Sulaiman Bin Muhammad Bin. Al-Bujairami Ala Al-Khatib, vol 3,   Maktabah Syamila, Isdar Al-Tsani.
Zainal Abiding Munawwir & Ali Ma’sum, Kamus Al Munawwir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.


[1] Sulaiman Bin Muhammad Bin Umar Al-Bujairami, Al-Bujairami Ala Al-Khatib, vol 3, (Maktabah Syamila, Isdar Al-Tsani), Hlm. 456.
[2] Ibid.
[3] Muhammad Sohib Thohir & Ahsan Siha’ Muhammad, Mushap Al-Wardah, Al-Qur’an Tarjemah Dan Tafsir Untuk Wanita, (Bandung: Jabal Raudatu Al-Jannah, 2010), Hlm. 84.
[4] Ibid. 295.
[5] Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqh Muamalah,  (Kediri: Lirboyo Press, 2013), hlm. 206.
[6] http://lispedia.blogspot.com/2010/12/fiqh-muamalah-wadiah-wakalah-kafalah.html (di akses tanggal 8 mare 2016).
[7] kata hiftum bersala dari kata khafa, dan in dalam lafad itu adalah in syartiyah
[8] Berasal dari kata saqqa
[9] Ini adalah kata daraf yang bersambung dengan domir tasniyah
[10] Bentuk jamak dari mufrat بعث  , dan huruf fa’ nya adalah fa’ jawab dari kata in.
[11] Asal dari kata aslu, sedangkan huruf min nya adalah huruf jer  yang memerintah terhadap bacaan kasrah
[12] Asal kata dari waraqa yang bersambung dengan domir Muttasil Muhattab
[13] Kata isyarat
[14] Asal kata dari Nadhara, dengan bentuk sighat amr karena dimasuki lam amr
[15] Kata panggil (munada) dari kata اي  yang bersambung dengan domir
[16] Bentuk ini dikenal dengan af alu al-tafdil (meninggikan dari satu dan yang lain )
[17] masdar dari asal kata tha’ama
[18] Dari kata aana dengan bentuk sighat musyarakah
[19] Huruf yang berguna memerintah terhadap harkat kasrah
[20] Dari kata qowiya
[21] Asal dari kata atsima
[22] Kata yang berfaedah menguatkan (ta’kit)
[23] Berasal dari kata Aaqaba
[24] A. Mudjab Mahali, asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an, Cet 1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 223-224.
[25] Nawawi, Al-Majmuk Sarh Al-Muhaddab, vol 14, (Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani), hlm. 92-93.
[29] Ibn Kshir Al-Kurasy,Tafsir ibnu kasir,(Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani), hlm. 610.  lihat juga. Muhammad Nasib Al-Rafi’i, Taisir Al-Ali Al-Khadir Li’ihtishar Tafsir Ibn Khasir, vol 1, (Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani),  hlm. 486.
[30] Abi ishaq Ibrahim al-syirasi,,Al-muhaddab fi fiqh al-imam syafi’I li imam abi ishaq Ibrahim al-syirasi, vol 3, (Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani), hlm. 27.
[31] , Jalaluddin Muhammad Bin Ahmad Al-Mahalli Dan Jalaluddi Abdur Rohman Bin Abi Bakr Al-Syuyuti , Tafsir jelalin, (Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani),hlm. 35-36
[32] Musthafa khan & Musthafa al-bagha, Fiqh Al-Manhaji, vol 7, (Makatabah Syamile, Isdar Al-Tsani) hlm. 123.
[34] Jalaluddin Muhammad Bin Ahmad Al-Mahalli Dan Jalaluddi Abdur Rohman Bin Abi Bakr Al-Syuyuti ,Tafsir jelalin , (Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani), hlm. 170-171.
[35] Wahbah Bin Mustafa Al-Zuhaili,Tafsir Munir, Vol, 15, (Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani), Hlm. 234-235,
[36] Syamsuddin Al-Qurtubi,,Tafsir al-qurtubi, vol, 10,(Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani), hlm, 375.
[39] Musthafa khan & Musthafa al-bagha, Fiqh Manhaji, vol 7,(Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani) Hlm.  125.
[40] Ibid. Hlm. 316.
[41]Sulaiman Bin Muhammad Bin Umar Al-Bujairami, Al-Bujairimi Ala Al-Khatib , vol 3, (Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani), hlm. 457-458.
[42]Musthafa khan & Musthafa al-bagha, Fiqh Al-Manhaji, vol 3,(Maktabah Syamile, Isdar Al-Tsani), Hlm 317.
[43]  Ibid, hlm 317.
[44] Ibid. hlm, 317.
[45]  Ibid, hlm 319
[46] Sulaiman Bin Muhammad Bin Umar Al-Bujairami, Al-Bujairimi Ala Al-Khatib , vol 3,(Maktabah Syamile, Isdar-Al-Tsani),  hlm, 458.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar