BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi terutama perkembangan transportasi, komunikasi, dan informasi
mengakibatkan satu negara dengan negara lain seakan-akan tanpa batas sehingga
perpindahan orang atau barang dari satu negara ke negara lain dilakukan dengan
mudah dan cepat. Hal ini mengakibatkan pula perkembangan kejahatan dan modus
oprandinya semakin canggih sehingga penanggulangannya diperlukan kerja sama
antara negara yang satu dengan negara yang lain.
Kerja sama antar negara diperlukan untuk mempermudah
penanganan proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
atas suatu masalah yang timbul baik di Negara Peminta maupun Negara Diminta.
Dalam hal kerjasama dalam bidang hukum dan peradilan pidan, masalahnya adalah
berkenaan dengan yurisdiksi atas orang yang sedang dalam proses penerapan hukum
pidananya (dari tahap penyelidikan, penyidikan, pembuatan berita acra
pemeriksaannya, proses peradilannya ataupun pelaksanaan hukuman) atas kejahatan
yang dilakukn oleh seseorang yang dalam beberapa aspeknya terkait dengan
yurisdiksi negara lain.Dalam masalah kerjasama hukum dan peradilan pidana
ini,ada terkait dengan masalah ekstradisi.
B.
Rumusan masalah
1.
Apa pengertian ,unsur-unsur dan Asas-asas pokok dalam ekstradisi.?
2.
Bagaimana pengaturan tentang ekstradisidan bagaimana
ekstradisi menurut konvensi PBB serta apa yang dimaksud dengan ekstradisi terselubung.?
3.
Bagaimana ekstradisi nasional dan ekstradisi
internasional.?
C.
Tujuan penulisan
1.
Untuk menjelaskan pengertian ekstradisi dan
unsur-unsurnya
2.
Menggambarkan krangka hukum ekstradisi nasional dan
internasioanal
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ekstradisi
Ekstradisi adalah merupakan pranata hukum yang umurnya
sudah tua sebab sudah dikenal pada jaman Yunani, Romawi dan Mesir Kuno.
Sebuah Perjanjian Perdamaian antara Raja Ramses II dari Mesir dengan Raja
Haffusili dari Kheta yang dibuat pada tahun 1279 SM, yang salah satuya isi
perjanjiannya berupa kesediaan salah satu pihak untuk menyerahkan pelaku
kejahatan yang melarikan diri atau ditemukan di dalam wilayah pihak lain. Telah
menunjukkan bahwa ekstradisi sudah cukup lama dikenal.
Praktek-praktek tentang pengambilan dan membawa kembali
seorang pelaku kejahatan dari satu negara yang melarikan diri ke negara lain,
sudah berulang dilakukan dengan cara dan prosedur yang sama di seluruh atau
sebagian besar kawasan di dunia ini. Proses atau prilaku yang sama dan berulang
secara berkesinambungan inilah yang kemudian berkembang menjadi hukum kebiasaan
internasional, yang kemudian dibentuk aturan hukum yang dibuat melalui
perjanjian-perjanjian internasional baik
secara bilateral, multilateral maupun regional. Yang diimplementasikan ke dalam bentuk perundang-undangan
oleh masing-masing negara.[1]
Bahkan pada tanggal 14 Desember
1990, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Resolusi Nomor
45/117 tentang model Treaty on Extradition, yang walaupun berupa model
hukum saja, jadi belum merupakan hukum positif, tapi dapat dijadikan model oleh
negara-negara dalam membuat perjanjian-perjanjian tentang ekstradisi.
Berdasarkan asas umum dalam hukum
internasional setiap negara memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan atas
orang dan benda yang ada dalam wilayahnya sendiri. Oleh karena itu, suatu
negara tidak boleh melakukan tindakan yang bersifat kedaulatan (act of
sovereignity) di dalam wilayah negara lain, kecuali dengan
persetujuan negara itu sendiri.
Sebab tindakan yang demikian itu dipandang sebagai intervensi atau campur tangan atas masalah-masalah dalam negeri negara lain, yang dilarang dalam hukum internasional. Persetujuan yang dimaksudkan disebut sebagai perjanjian ekstradisi.
Sebab tindakan yang demikian itu dipandang sebagai intervensi atau campur tangan atas masalah-masalah dalam negeri negara lain, yang dilarang dalam hukum internasional. Persetujuan yang dimaksudkan disebut sebagai perjanjian ekstradisi.
Menurut I Wayan Parthiana istilah Ekstradisi diartikan sebagai penyerahan yang
dilakukan secara formal baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah
ada ataupun berdasarkan prinsip timbal-balik atau hubungan baik, atas seorang
yang dituduh melakukan kejahatan (tersangka, terdakwa, tertuduh) atau seorang
yang telah dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (terhukum
atau terpidana) oleh negara tempatnya berada (negara diminta) kepada negara
yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya (negara peminta),
atas permintaan dari negara peminta, dengan tujuan untuk mengadilli dan atau
melaksanakan hukumannya.[2]
Menurut J.G. Starke, istilah ekstradisi menunjuk kepada
proses dimana berdasarkan perjanjian atau atas dasar resiprositas suatu negara
menyerahkan kepada negara lain atas permintaannya seseorang yang dituduh atau
dihukum karena melakukan tindak kejahatan yang dilakukan terhadap hukum negara
yang mengajukan permintaan, negara yang meminta ekstradisi memiliki kompetensi
untuk mengadili tertuduh pelaku tindak pidana tersebut.[3]
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979
Tentang Ekstradisi,[4]
menyebutkan ektradisi adalah :
“Penyerahan oleh suatu negara kepada negara
yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan
suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi
wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untuk
mengadili dan memidananya”.
Pada UU tersebut juga terdapat
penegasan terhadap prinsip dasar pelaksanaan ekstradisi di Indonesia yakni
ekstradisi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian (treaty atau agreement)
maupun tanpa perjanjian dengan dasar hubungan baik dan dengan melihat kepada
kepentingan nasional Indonesia. Selain juga diatur mengenai prinsip bahwa
ekstradisi dapat dilakukan terhadap jenis kejahatan yang telah ditentukan dalam
UU maupun jenis kejahatan diluar daftar yang telah ditentukan dalam UU.[5]
B.
Unsur-Unsur Ekstradisi
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan dapat ditarik beberapa
unsur penting dalam ekstradisi.[6]
yang menjadi syarat adanya ekstradisi, antara lain :
1.
Ekstradisi adalah merupakan penyerahan orang yang diminta
yang dilakukan secara formal atau cara atau prosedur tertentu.
2.
Ekstradisi hanya bisa dilakukan apabila didahului dengan
permintaan untuk menyerahkan dari negara-peminta kepada negara-diminta.
3.
Ekstradisi bisa dilakukan baik berdasarkan perjanjian
ekstradisi yang sudah ada sebelumnya atau juga bisa dilakukan berdasarkan atas
timbal balik apabila sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua
pihak. (dalam praktek ada negara yang tidak mau menyerahkan karena tidak ada
perjanjian ekstradisi sebelumnya).
4.
Orang yang diminta bisa berstatus sebagai tersangka,
tertuduh, terdakwa ataupun sebagai terhukum.
5.
Maksud dan tujuan ekstradisi adalah untuk mengadili orang
yang diminta atau menjalani masa hukumannya (sisa masa hukumannya).
Permohonan ekstradisi harus dilakukan melalui saluran
diplomatik, misalnya dilakukan oleh Kepala Negara, Perdana Menteri, atau
Menteri Luar Negeri dari negara-peminta kepada Kepala Negara, Perdana Menteri,
atau Menteri Luar Negeri negara-diminta, baik secara langsung maupun malaui Duta
Besar masing-masing pihak. Permintaan itu harus disertai dengan dokumen-dokumen
yang terkait yang sudah dilegalisasi.
Demikian juga jawaban dari negara-diminta akan
disampaikan melalui saluran diplomatik sesuai dengan hukum negara-diminta.
C.
Ekstradisi Menurut Hukum Internsional
Dua faktor yang harus dipenuhi sebelum permohonan
ekstradisi diajukan melalui saluran diplomatik :
1.
adanya orang yang harus diserahkan
(extraditiable person) “non extradition of nationals”
2.
keharusan adanya kejahatan yang dapat
diserahkan (extraditable offence)
kesepakatan atas kejahatan yang tidak dapat diserahkan :
(1)
kejahatan politik (non extradition of political
offences);
(2)
kejahatan militer, misalnya disersi;
(3)
kejahatan agama.
Sistem penetapan kejahatan-kejahatan yang dapat
diserahkan bilamana terdapat perjanjian bilateral dan multilateral tentang
ekstradisi :
(1) sistem
enumeratif/sistem daftar (list system)
(2) sistem
eliminatif
(3) sistem
campuran
Beberapa
asas yang berlaku bagi kejahatan yang dapat diserahkan :
(a)
Asas double criminality : ancaman hukuman
Negara peminta dan yang diminta
(b)
Asas khusus (speciality principle)
(c)
Asas non bis in idem
(d)
Asas tidak menyerahkan kejahatan politik
D.
Ekstradisi Menurut
Hukum Nasional Indonesia
1. Diundangkan
UU No. 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi pada tanggal 18 Januari 1979. ketentuan
tersebut juga dijadikan dasar hukum bagi pengimplementasian “The Declaration of
ASEAN Concord, Bagian A (Politik), angka 6”
2. Dalam
undang-undang tersebut diatur secara jelas keterlibatan POLRI dalam prosedur
permulaan ekstradisi, khususnya dalam hal penahanan yang diajukan oleh Negara
peminta terhadap orang-orang pelarian yang dituduh melakukan tindak pidana di
Negara yang meminta (Pasal 18)
E.
Ekstradisi Menurut Konvensi PBB
Setelah dikeluarkannya Resolusi Nomor 45/117 tentang model
Treaty on Extradition, pada tanggal 14 Desember 1990 oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan atas kekhawatiran negara-negara di dunia akan
ancaman dari kejahatan yang terorganisir maka pada tahun 2000 yang berlaku
efektif pada tahun 2002 dalam pasal 16 mengatur tentang Ektradisi[7]:
1.
Pasal ini akan berlaku pada kejahatan yang dicakup oleh
Konvensi ini atau dalam kasus-kasus dimana suatu kejahatan yang ditunjuk dalam
pasal 3, paragraf 1(a) atau (b), melibatkan sebuah kelompok kriminal
terorganisir dan orang yang merupakan subyek dari permohonan untuk ekstradisi
bertempat di wilayah Negara Anggota termohon. Asalkan kejahatan dimana
ekstradisi diupayakan dapat dihukum berdasarkan hukum dalam negeri Negara
Anggota pemohon dan Negara Anggota Termohon (asas Kejahatan ganda).
2.
Jika permohonan untuk ekstradisi mencakup beberapa
kejahatan serius terpisah, yang beberapa diantaranya tidak dicakup oleh pasal
ini, Negara Anggota termohon dapat juga menerapkan pasal ini dalam hal
kejahatan-kejahatan belakangan.
3.
Masing-masing dari kejahatan pada pasal ini berlaku, akan
dianggap sebagai kejahatan yang dapat diekstradisi dalam traktat (perjanjian)
ekstradisi yang ada kemudian di antara Negara-negara Anggota berusaha mencakup
kejahatan-kejahatan seperti itu sebagai kejahatan yang dapat diekstradisi dalam
setiap traktat (perjanjian) ekstradisi yang akan diadakan diantara mereka.
4.
Jika Negara Anggota yang membuat ekstradisi bergantung
pada keberadaan traktat (perjanjian) menerima permohonan untuk ekstradisi dari
Negara Anggota lainnya dimana ia tidak mempunyai traktat (perjanjian)
ekstradisi, ia dapat menganggap Konvensi ini sebagai basis legal (landasan
hukum) untuk ekstradisi berkenaan dengan kejahatan pada pasal ini berlaku.
5.
Negara Anggota yang membuat ekstradisi bergantung pada
keberadaan traktat (perjanjian) akan :
6.
Pada waktu penyerahan instrumen ratifikasi, penerimaan
atau penyetujuan atau pemasukan Konvensi ini, memberitahukan kepada Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa apakah mereka akan mengambil Konvensi ini
sebagai basis hukum untuk kerjasama mengenai ekstradisi dengan Negara Anggota lain
pada Konvensi ini, dan
7.
Jika mereka tidak mengambil konvensi ini sebagai basis
hukum untuk kerja sama mengenai ekstradisi, berupaya mencari perjanjian yang
tepat untuk mengadakan traktat (perjanjian) mengenai ekstradisi dengan Negara
Anggota lain pada Konvensi ini untuk mengimplementasikan pasal ini.
8.
Negara anggota yang tidak membuat perjanjian ekstradisi
bergantung pada keberadaan traktat (perjanjian) akan mengakui
kejahatan-kejahatan dimana pasal ini berlaku, sebagai kejahatan yang dapat
diekstradisi diantara mereka sendiri.
9.
Ekstradisi akan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang
diatur oleh hukum dalam negeri Negara Anggota termohon atau oleh traktat
(perjanjian) ekstradisi yang berlaku, termasuk antara lain, kondisi-kondisi
dalam hubungan dengan persyaratan hukuman minimum untuk ekstradisi dan menjadi
dasar yang mungkin digunakan Negara Anggota termohon untuk menolak ekstradisi.
10. Negara Anggota (bergantung
pada hukum dalam negeri mereka), akan berusaha memperlancar prosedur-prosedur
ekstradisi dan untuk menyederhanakan syarat-syarat pembuktian yang terkait
dengan itu berkenaan dengan kejahatan dalam pasal ini berlaku.
11. Tunduk pada
ketentuan-ketentuan hukum dalam negerinya dan traktak (perjanjian) ekstradisi,
Negara Anggota Termohon setelah yakin bahwa keadaan-keadaan yang begitu pasti
dan urgen dan atas permohonan Negara Anggota pemohon, diupayakan dapat membawa
sesorang yang diekstradisi yang berada di wilayahnya ke tahanan, atau mengambil
langkah-langkah lainnya yang tepat untuk menjamin kehadirannya pada perkara
ekstradisi.
12. Negara Anggota yang dalam
wilayahnya ditemukan pelaku kejahatan, jika ia tidak mengekstradisi orang itu
berkenaan dengan kejahatan tersebut dengan alasan bahwa ia adalah warga negaranya,
wajib menyerahkan kasus tersebut secepatnya kepada aparat terkaitnya untuk
dilakukan penyidikan atas permohonan Negara Anggota yang mengupayakan
ekstradisi. Kemudian aparat tersebut akan membuat keputusan dan melakukan
persidangan yang sesuai dengan hukum Negara Anggota tersebut. Negara Anggota
yang bersangkutan akan saling bekerjasama terutama mengenai prosedural dan
pembuktian untuk memastikan efisiensi penuntutan itu
13. Pada kondisi tertentu
Negara Anggota dapat diijinkan berdasarkan hukum dalam negerinya untuk
mengekstradisi atau menyerahkan dengan cara lainnya salah seorang warga
negaranya hanya berdasarkan ketentuan (kondisi) bahwa orang itu akan
dikembalikan ke Negara Anggota tersebut untuk menjalani hukuman yang dikenakan
sebagai akibat dari perbuatan yang diadili dimana ektradisi atau penyerahan itu
dilaksanakan dan bahwa Negara Anggota yang mengupayakan ekstradisi orang itu
setuju dengan opsi ini dan syarat-syarat lain yang mungkin mereka anggap tepat
14. Jika ekstradisi yang
diupayakan untuk tujuan penegakan hukuman ditolak karena orang yang diupayakan
adalah warga negara dari Negara Anggota termohon (sesuai dengan hukum yang
berlaku di Negara Anggota termohon) akan mempertimbangan penegakan hukuman yang
telah dikenakan berdasakan hukum dalam negeri Negara Anggota pemohon.
15. Seseorang yang diadili
berdasarkan ketentuan dalam pasal ini akan dijamin akan diperlakukan adil pada
semua tahap pemeriksaan, termasuk memperoleh hak dan jaminan yang diberikan
oleh hukum dalam negeri Negara Anggota di wilayah di mana orang tersebut ada.
16. Tidak ada kewajiban
menurut pasal ini bagi Negara Anggota termohon untuk mengekstradisi seseorang
apabila mempunyai keyakinan dan dasar yang kuat bahwa permohonan ektradisi
dibuat untuk tujuan penuntutan atas dasar jenis kelamin, ras, agama,
kewarganegaraan, asal-usul, etnis atau pandangan politik, atau bahwa pemenuhan
atas permohonan itu menyebabkan kerugian pada orang tersebut karena alasan
tersebut
17. Negara Anggota dapat
menolak permohonan untuk diekstradisi semata-mata atas dasar bahwa kejahatan
tersebut merupakan kejahatan fiskal termasuk dianggap berhubungan dengan
masalah fiskal
18. Sebelum menolak
ekstradisi, Negara Anggota termohon, dengan alasan yang tepat, akan
berkonsultasi dengan Negara Anggota pemohon untuk memberikan kelonggaran untuk
menyajikan pandangan-pandangan untuk memberi informasi yang relevan tentang
tuduhannya
19. Negara Anggota akan
berupaya mengadakan perjanjian-perjanjian atau rancangan-rancangan bilateral
atau multilateral untuk melaksanakan atau meningkatkan efektifitas ekstradisi
F.
Asas-Asas Pokok Dalam Ekstradisi
Dalam ekstradisi dikenal ada beberrapa asas-asas pokok
antara lain :
1.
Asas Kejahatan Ganda,
artinya kejahatan yang dilakukan oleh orang yang diminta
untuk diekstradisi itu, haruslah merupakan kejahatan dan dapat dijatuhi hukuman
menurut sistem hukum pidana kedua pihak (negara-peminta maupun negara-diminta)
2.
Asas Kekhususan,
artinya kejahatan yang dijadikan sebagai alasan atau
dasar untuk meminta penyerahan orang yang diminta hanyalah kejehatan yang
secara tegas tergolong sebagai kejahatan yang dapat diekstradisikan, apabila
kejahatan itu tidak tergolong sebagai kejahatan yang dapat diekstradisikan
berdasarkan perjanjian ekstradisi, maka permintaan itu dapat ditolak
Dilarang menyerahkan orang yang melakukan kejahatan
politik
Negara-diminta diperbolehkan untuk tidak menyerahkan
oarang yang diminta apabila orang yang diminta itu ternyata warga negaranya
sendiri (warga negara dari negara-diminta)
3.
Asas Ne Bis In Idem,
artinya penyerahan tidak dilakukan apabila keputusan
pengadilan telah dijatuhkan atas kejahatan yang dimintakan penyerahan
Negara-diminta dapat menolak menyerahkan orang yang
diminta apabila orang tersebut melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman
mati menurut hukum dari negara-peminta sedangkan menurut hukum negara-diminta
kejahatan itu tidak diancam dengan hukuman mati, kecuali ada kepastian dari
negara-peminta behwa hukuman mati itu tidak akan dilaksanakan
4.
Daluwarsa,
artinya negara-diminta dapat menolak permintaan
penyerahan orang apabila kejahatan yang dilakukan orang itu menurut hukum
negara-diminta telah daluwarsa walupun menurut negara-peminta belum daluwarsa
dan sebaliknya (sesuai dengan prinsip pokok hukum pidana yaitu berlakunya
ketentuan yang paling menguntungkan tersangka)
G.
Beberapa Pengaturan Dalam Ekstradisi
Permohonan ektsadisi yang diajukan oleh negara-peminta
kepada negara-diminta tidak selamanya dapat dijalani dengan mulus tanpa ada
permasalahan yang timbul, berikut ini penulis mencoba mengemukakan beberapa
pengaturan dalam menghadapi beberapa permasalahan yang timbul dalam perjanjian
skstradisi[8] :
1.
Pengaturan Tentang Kejahatan Hukuman Mati
Dalam perjanjian
ekstradisi pengaturan mengenai kejahatan yang diancamkan dengan hukuman mati (capital
punishment, deathpenalty) mendapat tempat tersendiri yang pada hakeketnya
melindungi orang yang diminta, yakni, negara-diminta harus menolak menyerahkan
orang yang diminta untuk diekstradisikan itu. Kecuali negara-diminta mendapat
pernyataan tertulis (kepastian) dari negara-peminta tentang tidak akan
dilaksanakannya hukuman mati tersebut. Timbul pertanyaan, bagaimana jika
negara-peminta tidak menepati janjinya, artinya hukuman mati tetap
dilaksanakan?
2.
Pengaturan Tentang Penyerahan Barang
Dalam penyelesaian kasus
ekstradisi pengaturan tentang penyerahan barang biasanya mendapatkan tersendiri
dalam perjanjian ekstradisi yang dibuat dengan berdasarkan pada hukum positif
masing-masing negara. Barang-barang yang bisa diserahkan paada umumnya adalah
barang-barang bergerak baik yang berhubungan langsung dengan kajahatan maupun
yang tidak.berhubnungan dengan kejahatan.
Timbul masalah dengan
barang-barang yang diserahkan itu ternyata tidak bisa masuk ke negara-peminta
menurut undang-undangnya, atau barang-barang itu tidak dapat dikeluarkan dari
wilayah negaranya menurut undang-undang negara-diminta. Disini diperlukan adanya
kerjasama berdasarkan hubungan baik (dan timbal-balik) dari para pihak dalam
penyelesaiannya.
3.
Pengaturan Tentang Permintaan Lebih dari Satu
Negara-Peminta
Apabila terjadi permintaan
ekstradisi diajukanoleh lebih dari satu negara-peminta dikarenakan pelaku
melakukan beberapa kejahatan yang dilakukannya di lebih dari satu negara maka
yurisdiksi dari pengadilan yang akan mengadili pelaku tersebut menjadi banyak
negara yang mempunyai yurisdiksi.Negara-diminta haruslah memberi keputusan
penetapan negara-peminta manakah yang berhak mendapatkan pelaku, ini menyangkut
dengan asas ne bis in idem. Maka negara-diminta akan mempertimbangkan
permohonan ekstradisi dari negara-negara-peminta tersebut dengan memperhatikan
:
a) Urutan waktu diterimanya permohonan permintaan
ekstradisi dari negara-negara-peminta, manakah yang lebih dahulu mengajukan
permohonan,
b) Dengan melihat negara-peminta mana yang telah ada
perjanjian ekstradisi yang mengatur kejahatan tersebut,
c) Pertimbangan bobot atau beratnya kejahatan yang
dilakukan oleh pelaku yang dilakukan di dua atau lebih negara dapat menjadi
pertimbangan,
d) Masalah kewarganegaraan dari pelaku dapat juga
dijadikan pertimbangan artinya, negara manakah yang merupakan negara asal
pelaku, walaupun ada permasalahan, bagaimana jika pelaku mempunyai
dwi-kewarganegaraan, dan kedua negara tersebut sama-sama melakukan permohonan
ekstradisi.
4.
Pengaturan Tentang Pelarangan Terhadap Negara-Peminta
Untuk Mengekstradisikan orang yang diminta kepada negara ketiga
Jika orang yang diminta sudah diserahkan oleh
negara-diminta kepada negara-peminta, maka negara-peminta dilarang untuk
mengekstradisikan lagi orang yang bersangkutan kepada negara lain yang
berkedudukan sebagai negara-peminta atas kejahatan yang sama atau kejahatan
yang lain sebelum diadili atau dijatuhkan hukuman.Negara-peminta harus
mengadili dan menjatuhkan hukuman kepada orang tersebut, dan setelah hukuman
dijalankan, sehingga pada saat tertentu harus dibebaskan maka barulah orang
tersebut dapat diserahkan kepada negara lain (dengan permohonan ekstradisi yang
baru atas kejahatan lain).
5.
Pengaturan Tentang Transit Atau Melewati Wilayah Negara
Ketiga
Setelah proses penyerahan pelaku, kemudian pelaku dibawa
ke negara-peminta, ini tidak menutup kemungkinan dalam perjalanan melewati,
singgah atau transit di negara lain karena jauhnya perjalanan, ada ketentuan
mengenai transitnya pelaku yang diekstradisi yaitu, negara yang membawa pelaku
diwajibkan untuk melapor ke negara yang akan dilewati atau ditransiti
(disinggahi), agar negara tersebut (negara yang dilewati atau disinggahi)
bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan yang akan terjadi ketika melewati
atau menyinggahi negara tersebut.
6.
Pengaturan tentang tanggungjawab atas biaya-biaya yang
dikeluarkan dalam perjanjian ektrsdisi sebaiknya diatur tentang biaya-biaya
yang akan dikeluarkan dan batasan tanggungjawab finansial ditanggung oleh
masing-masing negara.
Perkembangan sejarah ekstradisi juga mengalami kemajuan
pelaksanan ekstradisi tidak hanya dilakukan berdasarkan perjanjian ekstradisi
yang telah dibuat oleh negara-negara yang merasa berkepentingan dengan adanya
ekstradisi ini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Semakin berkembangnya kejahatan dan ilmu tekhnologi telah
membuat dunia ini semakin “sempit” penjahat yang telah melakukan kejahatan di
suatu wilayah negara dapat dengan mudah keluar untuk melarikan diri, melepas
tanggungjawabnya atas akibat yang dituimbulkan dari kejahatan yang telah dia
perbuat, ke luar negeri, perkembangan inilah yang menuntut negara-negara di
dunia membuat suatu pranata hukum internasional yang dapat mengambil atau
menyerahkan pelaku kejahatan untuk dipertanggungjawabkan atas perbuatan dan
akibat yang ditimbulkan dengan suatu pranata yang dinamakan ekstradisi.
Pada dasarnya ekstradisi bertujuan untuk memberi sebuah
kepastian hukum, dimana setiap pelaku kejahatan tidak akan dibiarkan bebas
tanpa suatu pertanggungjawaban atas perbuatannya, namun apabila melihat
kaidah-kaidah yang ada dalam ekstradisi, terlihat perlindungan lebih ditekankan
atau lebih mengutamakan hak-hak dari pelakunya bukan pada korban yang dirugikan
atau pada kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan tersebut. Pelaku dapat
meminta perlindungan kepada negara-diminta untuk tidak diserahkan kepada
negara-peminta dengan alasan perbuatan yang dia lakukan adalah kejahata politik
atau berhubungan dengan politik; kejahatan yang dia lakukan diancam dengan
hukuman mati oleh negara-peminta; atau meminta perlindungan karena dia adalah
warga negara dari negara-diminta.
Pada kenyataannya pelaksanaan ekstradisi terlalu memakan
waktu dan biaya yang cukup tinggi, untuk itu negara-negara yang telah mempunyai
hubungan baik antara satu dengan yang lainnya lebih melihat kepada upaya
penyerahan pelaku kejahatan yang lebih praktis, efektif dan efisien dengan
berdasarkan pada hubungan baik tadi dan kerjasama dalam pemberantasan kejahatan
transnasional maupun kejahatan internasional yang jelas-jelas telah mengancam
perdamaian dunia.
B.
Saran
Dalam makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan sehingga
penulis sangat berterima kasih jika pembaca memberika masukan terhadap
kekurangan makalah ini
DAFTAR PUSTAKA
Hans Kelsen General
Theory Of Law and State, diterjemahkan oleh Somardi, Rimdi Press, Bandung,
1995
I Wayan Parthiana, Hukum
Pidana Internasional, Yrama Widya, Bandung, 2006
J.G. Starke, Pengantar
Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 1988
Mochtar Kusumaatmaja &
Etty R. Agus, Pengantar Hukum Internasiona, Alumni, Bandung, 2002
Penjelasan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam
Masalah Pidana
Romli Atmasaamita, Kapita
Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju, Bandung, 1995
Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana
Varia Peradilan, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Nomor 04 Tahun 1999
[1] http://www.tribun-timur.com
[2]
I Wayan Parthiana, Hukum
Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama
Widya, Bandung, 2004, hlm.129
[3]
J.G. Starke, Pengantar Hukum
Internasional, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 1988, Hlm 469.
[4] diberlakukannya
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 tentang “Ekstradisi“
yang telah mencabut berlakunya peraturan yang ada sebelumnya yakni Staatbled
1883-188 Koninklijk Besluit Van 8 Mei 1883 Nomor 26 tentang “ Uitlevering Van
Vreemdelingen “yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan tata hukum di
Negara Republik Indonesia. Varia Peradilan, Ikatan Hakim Indonesia
(IKAHI), Nomor 04 Tahun 1999, Hlm 109.
[5]
http:// www.hukumonline.com
[6]
I Wayan Parthiana, 2004, Op Cit,
Hlm148
[7] Terjemahan dari United
Convention Against Transnational Organized Crime, meteri perkuliahan
Konvensi Kejahatan Transnasional pada Program Pascasarjana Unpad, tahun 2006,
Hlm.22
[8]
I Wayan Parthiana, 2006, Op Cit,
Hlm.141
Tidak ada komentar:
Posting Komentar