Rabu, 01 November 2017

ekstradisi

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama perkembangan transportasi, komunikasi, dan informasi mengakibatkan satu negara dengan negara lain seakan-akan tanpa batas sehingga perpindahan orang atau barang dari satu negara ke negara lain dilakukan dengan mudah dan cepat. Hal ini mengakibatkan pula perkembangan kejahatan dan modus oprandinya semakin canggih sehingga penanggulangannya diperlukan kerja sama antara negara yang satu dengan negara yang lain.
Kerja sama antar negara diperlukan untuk mempermudah penanganan proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atas suatu masalah yang timbul baik di Negara Peminta maupun Negara Diminta. Dalam hal kerjasama dalam bidang hukum dan peradilan pidan, masalahnya adalah berkenaan dengan yurisdiksi atas orang yang sedang dalam proses penerapan hukum pidananya (dari tahap penyelidikan, penyidikan, pembuatan berita acra pemeriksaannya, proses peradilannya ataupun pelaksanaan hukuman) atas kejahatan yang dilakukn oleh seseorang yang dalam beberapa aspeknya terkait dengan yurisdiksi negara lain.Dalam masalah kerjasama hukum dan peradilan pidana ini,ada terkait dengan masalah ekstradisi.
B.     Rumusan masalah
1.      Apa pengertian ,unsur-unsur dan Asas-asas pokok dalam ekstradisi.?
2.      Bagaimana pengaturan tentang ekstradisidan bagaimana ekstradisi menurut konvensi PBB serta apa yang dimaksud dengan ekstradisi terselubung.?
3.      Bagaimana ekstradisi nasional dan ekstradisi internasional.?
C.    Tujuan penulisan
1.      Untuk menjelaskan pengertian ekstradisi dan unsur-unsurnya
2.      Menggambarkan krangka hukum ekstradisi nasional dan internasioanal

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ekstradisi
Ekstradisi adalah merupakan pranata hukum yang umurnya sudah tua sebab sudah dikenal pada jaman Yunani, Romawi dan Mesir Kuno. Sebuah Perjanjian Perdamaian antara Raja Ramses II dari Mesir dengan Raja Haffusili dari Kheta yang dibuat pada tahun 1279 SM, yang salah satuya isi perjanjiannya berupa kesediaan salah satu pihak untuk menyerahkan pelaku kejahatan yang melarikan diri atau ditemukan di dalam wilayah pihak lain. Telah menunjukkan bahwa ekstradisi sudah cukup lama dikenal.
Praktek-praktek tentang pengambilan dan membawa kembali seorang pelaku kejahatan dari satu negara yang melarikan diri ke negara lain, sudah berulang dilakukan dengan cara dan prosedur yang sama di seluruh atau sebagian besar kawasan di dunia ini. Proses atau prilaku yang sama dan berulang secara berkesinambungan inilah yang kemudian berkembang menjadi hukum kebiasaan internasional, yang kemudian dibentuk aturan hukum yang dibuat melalui perjanjian-perjanjian internasional baik secara bilateral, multilateral maupun regional. Yang diimplementasikan ke dalam bentuk perundang-undangan oleh masing-masing negara.[1]
Bahkan pada tanggal 14 Desember 1990, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Resolusi Nomor 45/117 tentang model Treaty on Extradition, yang walaupun berupa model hukum saja, jadi belum merupakan hukum positif, tapi dapat dijadikan model oleh negara-negara dalam membuat perjanjian-perjanjian tentang ekstradisi.
Berdasarkan asas umum dalam hukum internasional setiap negara memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan atas orang dan benda yang ada dalam wilayahnya sendiri. Oleh karena itu, suatu negara tidak boleh melakukan tindakan yang bersifat kedaulatan (act of sovereignity) di dalam wilayah negara lain, kecuali dengan persetujuan negara itu sendiri.
Sebab tindakan yang demikian itu dipandang sebagai intervensi atau campur tangan atas masalah-masalah dalam negeri negara lain, yang dilarang dalam hukum internasional. Persetujuan yang dimaksudkan disebut sebagai perjanjian ekstradisi.
Menurut I Wayan Parthiana istilah Ekstradisi diartikan sebagai penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah ada ataupun berdasarkan prinsip timbal-balik atau hubungan baik, atas seorang yang dituduh melakukan kejahatan (tersangka, terdakwa, tertuduh) atau seorang yang telah dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (terhukum atau terpidana) oleh negara tempatnya berada (negara diminta) kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya (negara peminta), atas permintaan dari negara peminta, dengan tujuan untuk mengadilli dan atau melaksanakan hukumannya.[2]
Menurut J.G. Starke, istilah ekstradisi menunjuk kepada proses dimana berdasarkan perjanjian atau atas dasar resiprositas suatu negara menyerahkan kepada negara lain atas permintaannya seseorang yang dituduh atau dihukum karena melakukan tindak kejahatan yang dilakukan terhadap hukum negara yang mengajukan permintaan, negara yang meminta ekstradisi memiliki kompetensi untuk mengadili tertuduh pelaku tindak pidana tersebut.[3]
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi,[4] menyebutkan ektradisi adalah :
“Penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untuk mengadili dan memidananya”.
Pada UU tersebut juga terdapat penegasan terhadap prinsip dasar pelaksanaan ekstradisi di Indonesia yakni ekstradisi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian (treaty atau agreement) maupun tanpa perjanjian dengan dasar hubungan baik dan dengan melihat kepada kepentingan nasional Indonesia. Selain juga diatur mengenai prinsip bahwa ekstradisi dapat dilakukan terhadap jenis kejahatan yang telah ditentukan dalam UU maupun jenis kejahatan diluar daftar yang telah ditentukan dalam UU.[5]
B.     Unsur-Unsur Ekstradisi
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan dapat ditarik beberapa unsur penting dalam ekstradisi.[6] yang menjadi syarat adanya ekstradisi, antara lain :
1.      Ekstradisi adalah merupakan penyerahan orang yang diminta yang dilakukan secara formal atau cara atau prosedur tertentu.
2.      Ekstradisi hanya bisa dilakukan apabila didahului dengan permintaan untuk menyerahkan dari negara-peminta kepada negara-diminta.
3.      Ekstradisi bisa dilakukan baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya atau juga bisa dilakukan berdasarkan atas timbal balik apabila sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua pihak. (dalam praktek ada negara yang tidak mau menyerahkan karena tidak ada perjanjian ekstradisi sebelumnya).
4.      Orang yang diminta bisa berstatus sebagai tersangka, tertuduh, terdakwa ataupun sebagai terhukum.
5.      Maksud dan tujuan ekstradisi adalah untuk mengadili orang yang diminta atau menjalani masa hukumannya (sisa masa hukumannya).
Permohonan ekstradisi harus dilakukan melalui saluran diplomatik, misalnya dilakukan oleh Kepala Negara, Perdana Menteri, atau Menteri Luar Negeri dari negara-peminta kepada Kepala Negara, Perdana Menteri, atau Menteri Luar Negeri negara-diminta, baik secara langsung maupun malaui Duta Besar masing-masing pihak. Permintaan itu harus disertai dengan dokumen-dokumen yang terkait yang sudah dilegalisasi.
Demikian juga jawaban dari negara-diminta akan disampaikan melalui saluran diplomatik sesuai dengan hukum negara-diminta.
C.    Ekstradisi Menurut Hukum Internsional
Dua faktor yang harus dipenuhi sebelum permohonan ekstradisi diajukan melalui saluran diplomatik :
1.      adanya orang yang harus diserahkan (extraditiable person) “non  extradition of nationals”
2.      keharusan adanya kejahatan yang dapat diserahkan (extraditable offence)
kesepakatan atas kejahatan yang tidak dapat diserahkan :
(1)   kejahatan politik (non extradition of political offences);
(2)   kejahatan militer, misalnya disersi;
(3)   kejahatan agama.
Sistem penetapan kejahatan-kejahatan yang dapat diserahkan bilamana terdapat perjanjian bilateral dan multilateral tentang ekstradisi :
(1)   sistem enumeratif/sistem daftar (list system)
(2)   sistem eliminatif
(3)   sistem campuran
Beberapa asas yang berlaku bagi kejahatan yang dapat diserahkan :
(a)     Asas double criminality : ancaman hukuman Negara peminta dan yang diminta
(b)     Asas khusus (speciality principle)
(c)     Asas non bis in idem
(d)    Asas tidak menyerahkan kejahatan politik
D.    Ekstradisi Menurut Hukum Nasional Indonesia
1.      Diundangkan UU No. 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi pada tanggal 18 Januari 1979. ketentuan tersebut juga dijadikan dasar hukum bagi pengimplementasian “The Declaration of ASEAN Concord, Bagian A (Politik), angka 6”
2.      Dalam undang-undang tersebut diatur secara jelas keterlibatan POLRI dalam prosedur permulaan ekstradisi, khususnya dalam hal penahanan yang diajukan oleh Negara peminta terhadap orang-orang pelarian yang dituduh melakukan tindak pidana di Negara yang meminta (Pasal 18)
E.     Ekstradisi Menurut Konvensi PBB
Setelah dikeluarkannya Resolusi Nomor 45/117 tentang model Treaty on Extradition, pada tanggal 14 Desember 1990 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan atas kekhawatiran negara-negara di dunia akan ancaman dari kejahatan yang terorganisir maka pada tahun 2000 yang berlaku efektif pada tahun 2002 dalam pasal 16 mengatur tentang Ektradisi[7]:
1.      Pasal ini akan berlaku pada kejahatan yang dicakup oleh Konvensi ini atau dalam kasus-kasus dimana suatu kejahatan yang ditunjuk dalam pasal 3, paragraf 1(a) atau (b), melibatkan sebuah kelompok kriminal terorganisir dan orang yang merupakan subyek dari permohonan untuk ekstradisi bertempat di wilayah Negara Anggota termohon. Asalkan kejahatan dimana ekstradisi diupayakan dapat dihukum berdasarkan hukum dalam negeri Negara Anggota pemohon dan Negara Anggota Termohon (asas Kejahatan ganda).
2.      Jika permohonan untuk ekstradisi mencakup beberapa kejahatan serius terpisah, yang beberapa diantaranya tidak dicakup oleh pasal ini, Negara Anggota termohon dapat juga menerapkan pasal ini dalam hal kejahatan-kejahatan belakangan.
3.      Masing-masing dari kejahatan pada pasal ini berlaku, akan dianggap sebagai kejahatan yang dapat diekstradisi dalam traktat (perjanjian) ekstradisi yang ada kemudian di antara Negara-negara Anggota berusaha mencakup kejahatan-kejahatan seperti itu sebagai kejahatan yang dapat diekstradisi dalam setiap traktat (perjanjian) ekstradisi yang akan diadakan diantara mereka.
4.      Jika Negara Anggota yang membuat ekstradisi bergantung pada keberadaan traktat (perjanjian) menerima permohonan untuk ekstradisi dari Negara Anggota lainnya dimana ia tidak mempunyai traktat (perjanjian) ekstradisi, ia dapat menganggap Konvensi ini sebagai basis legal (landasan hukum) untuk ekstradisi berkenaan dengan kejahatan pada pasal ini berlaku.
5.      Negara Anggota yang membuat ekstradisi bergantung pada keberadaan traktat (perjanjian) akan :
6.      Pada waktu penyerahan instrumen ratifikasi, penerimaan atau penyetujuan atau pemasukan Konvensi ini, memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa apakah mereka akan mengambil Konvensi ini sebagai basis hukum untuk kerjasama mengenai ekstradisi dengan Negara Anggota lain pada Konvensi ini, dan
7.      Jika mereka tidak mengambil konvensi ini sebagai basis hukum untuk kerja sama mengenai ekstradisi, berupaya mencari perjanjian yang tepat untuk mengadakan traktat (perjanjian) mengenai ekstradisi dengan Negara Anggota lain pada Konvensi ini untuk mengimplementasikan pasal ini.
8.      Negara anggota yang tidak membuat perjanjian ekstradisi bergantung pada keberadaan traktat (perjanjian) akan mengakui kejahatan-kejahatan dimana pasal ini berlaku, sebagai kejahatan yang dapat diekstradisi diantara mereka sendiri.
9.      Ekstradisi akan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang diatur oleh hukum dalam negeri Negara Anggota termohon atau oleh traktat (perjanjian) ekstradisi yang berlaku, termasuk antara lain, kondisi-kondisi dalam hubungan dengan persyaratan hukuman minimum untuk ekstradisi dan menjadi dasar yang mungkin digunakan Negara Anggota termohon untuk menolak ekstradisi.
10.  Negara Anggota (bergantung pada hukum dalam negeri mereka), akan berusaha memperlancar prosedur-prosedur ekstradisi dan untuk menyederhanakan syarat-syarat pembuktian yang terkait dengan itu berkenaan dengan kejahatan dalam pasal ini berlaku.
11.  Tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum dalam negerinya dan traktak (perjanjian) ekstradisi, Negara Anggota Termohon setelah yakin bahwa keadaan-keadaan yang begitu pasti dan urgen dan atas permohonan Negara Anggota pemohon, diupayakan dapat membawa sesorang yang diekstradisi yang berada di wilayahnya ke tahanan, atau mengambil langkah-langkah lainnya yang tepat untuk menjamin kehadirannya pada perkara ekstradisi.
12.  Negara Anggota yang dalam wilayahnya ditemukan pelaku kejahatan, jika ia tidak mengekstradisi orang itu berkenaan dengan kejahatan tersebut dengan alasan bahwa ia adalah warga negaranya, wajib menyerahkan kasus tersebut secepatnya kepada aparat terkaitnya untuk dilakukan penyidikan atas permohonan Negara Anggota yang mengupayakan ekstradisi. Kemudian aparat tersebut akan membuat keputusan dan melakukan persidangan yang sesuai dengan hukum Negara Anggota tersebut. Negara Anggota yang bersangkutan akan saling bekerjasama terutama mengenai prosedural dan pembuktian untuk memastikan efisiensi penuntutan itu
13.  Pada kondisi tertentu Negara Anggota dapat diijinkan berdasarkan hukum dalam negerinya untuk mengekstradisi atau menyerahkan dengan cara lainnya salah seorang warga negaranya hanya berdasarkan ketentuan (kondisi) bahwa orang itu akan dikembalikan ke Negara Anggota tersebut untuk menjalani hukuman yang dikenakan sebagai akibat dari perbuatan yang diadili dimana ektradisi atau penyerahan itu dilaksanakan dan bahwa Negara Anggota yang mengupayakan ekstradisi orang itu setuju dengan opsi ini dan syarat-syarat lain yang mungkin mereka anggap tepat
14.  Jika ekstradisi yang diupayakan untuk tujuan penegakan hukuman ditolak karena orang yang diupayakan adalah warga negara dari Negara Anggota termohon (sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara Anggota termohon) akan mempertimbangan penegakan hukuman yang telah dikenakan berdasakan hukum dalam negeri Negara Anggota pemohon.
15.  Seseorang yang diadili berdasarkan ketentuan dalam pasal ini akan dijamin akan diperlakukan adil pada semua tahap pemeriksaan, termasuk memperoleh hak dan jaminan yang diberikan oleh hukum dalam negeri Negara Anggota di wilayah di mana orang tersebut ada.
16.  Tidak ada kewajiban menurut pasal ini bagi Negara Anggota termohon untuk mengekstradisi seseorang apabila mempunyai keyakinan dan dasar yang kuat bahwa permohonan ektradisi dibuat untuk tujuan penuntutan atas dasar jenis kelamin, ras, agama, kewarganegaraan, asal-usul, etnis atau pandangan politik, atau bahwa pemenuhan atas permohonan itu menyebabkan kerugian pada orang tersebut karena alasan tersebut
17.  Negara Anggota dapat menolak permohonan untuk diekstradisi semata-mata atas dasar bahwa kejahatan tersebut merupakan kejahatan fiskal termasuk dianggap berhubungan dengan masalah fiskal
18.  Sebelum menolak ekstradisi, Negara Anggota termohon, dengan alasan yang tepat, akan berkonsultasi dengan Negara Anggota pemohon untuk memberikan kelonggaran untuk menyajikan pandangan-pandangan untuk memberi informasi yang relevan tentang tuduhannya
19.  Negara Anggota akan berupaya mengadakan perjanjian-perjanjian atau rancangan-rancangan bilateral atau multilateral untuk melaksanakan atau meningkatkan efektifitas ekstradisi

F.     Asas-Asas Pokok Dalam Ekstradisi
Dalam ekstradisi dikenal ada beberrapa asas-asas pokok antara lain :
1.      Asas Kejahatan Ganda,
artinya kejahatan yang dilakukan oleh orang yang diminta untuk diekstradisi itu, haruslah merupakan kejahatan dan dapat dijatuhi hukuman menurut sistem hukum pidana kedua pihak (negara-peminta maupun negara-diminta)
2.      Asas Kekhususan,
artinya kejahatan yang dijadikan sebagai alasan atau dasar untuk meminta penyerahan orang yang diminta hanyalah kejehatan yang secara tegas tergolong sebagai kejahatan yang dapat diekstradisikan, apabila kejahatan itu tidak tergolong sebagai kejahatan yang dapat diekstradisikan berdasarkan perjanjian ekstradisi, maka permintaan itu dapat ditolak
Dilarang menyerahkan orang yang melakukan kejahatan politik
Negara-diminta diperbolehkan untuk tidak menyerahkan oarang yang diminta apabila orang yang diminta itu ternyata warga negaranya sendiri (warga negara dari negara-diminta)
3.      Asas Ne Bis In Idem,
artinya penyerahan tidak dilakukan apabila keputusan pengadilan telah dijatuhkan atas kejahatan yang dimintakan penyerahan
Negara-diminta dapat menolak menyerahkan orang yang diminta apabila orang tersebut melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman mati menurut hukum dari negara-peminta sedangkan menurut hukum negara-diminta kejahatan itu tidak diancam dengan hukuman mati, kecuali ada kepastian dari negara-peminta behwa hukuman mati itu tidak akan dilaksanakan
4.      Daluwarsa,
artinya negara-diminta dapat menolak permintaan penyerahan orang apabila kejahatan yang dilakukan orang itu menurut hukum negara-diminta telah daluwarsa walupun menurut negara-peminta belum daluwarsa dan sebaliknya (sesuai dengan prinsip pokok hukum pidana yaitu berlakunya ketentuan yang paling menguntungkan tersangka)
G.    Beberapa Pengaturan Dalam Ekstradisi
Permohonan ektsadisi yang diajukan oleh negara-peminta kepada negara-diminta tidak selamanya dapat dijalani dengan mulus tanpa ada permasalahan yang timbul, berikut ini penulis mencoba mengemukakan beberapa pengaturan dalam menghadapi beberapa permasalahan yang timbul dalam perjanjian skstradisi[8] :
1.      Pengaturan Tentang Kejahatan Hukuman Mati
Dalam perjanjian ekstradisi pengaturan mengenai kejahatan yang diancamkan dengan hukuman mati (capital punishment, deathpenalty) mendapat tempat tersendiri yang pada hakeketnya melindungi orang yang diminta, yakni, negara-diminta harus menolak menyerahkan orang yang diminta untuk diekstradisikan itu. Kecuali negara-diminta mendapat pernyataan tertulis (kepastian) dari negara-peminta tentang tidak akan dilaksanakannya hukuman mati tersebut. Timbul pertanyaan, bagaimana jika negara-peminta tidak menepati janjinya, artinya hukuman mati tetap dilaksanakan?
2.      Pengaturan Tentang Penyerahan Barang
Dalam penyelesaian kasus ekstradisi pengaturan tentang penyerahan barang biasanya mendapatkan tersendiri dalam perjanjian ekstradisi yang dibuat dengan berdasarkan pada hukum positif masing-masing negara. Barang-barang yang bisa diserahkan paada umumnya adalah barang-barang bergerak baik yang berhubungan langsung dengan kajahatan maupun yang tidak.berhubnungan dengan kejahatan.
Timbul masalah dengan barang-barang yang diserahkan itu ternyata tidak bisa masuk ke negara-peminta menurut undang-undangnya, atau barang-barang itu tidak dapat dikeluarkan dari wilayah negaranya menurut undang-undang negara-diminta. Disini diperlukan adanya kerjasama berdasarkan hubungan baik (dan timbal-balik) dari para pihak dalam penyelesaiannya.
3.      Pengaturan Tentang Permintaan Lebih dari Satu Negara-Peminta
Apabila terjadi permintaan ekstradisi diajukanoleh lebih dari satu negara-peminta dikarenakan pelaku melakukan beberapa kejahatan yang dilakukannya di lebih dari satu negara maka yurisdiksi dari pengadilan yang akan mengadili pelaku tersebut menjadi banyak negara yang mempunyai yurisdiksi.Negara-diminta haruslah memberi keputusan penetapan negara-peminta manakah yang berhak mendapatkan pelaku, ini menyangkut dengan asas ne bis in idem. Maka negara-diminta akan mempertimbangkan permohonan ekstradisi dari negara-negara-peminta tersebut dengan memperhatikan :
a) Urutan waktu diterimanya permohonan permintaan ekstradisi dari negara-negara-peminta, manakah yang lebih dahulu mengajukan permohonan,
b) Dengan melihat negara-peminta mana yang telah ada perjanjian ekstradisi yang mengatur kejahatan tersebut,
c) Pertimbangan bobot atau beratnya kejahatan yang dilakukan oleh pelaku yang dilakukan di dua atau lebih negara dapat menjadi pertimbangan,
d) Masalah kewarganegaraan dari pelaku dapat juga dijadikan pertimbangan artinya, negara manakah yang merupakan negara asal pelaku, walaupun ada permasalahan, bagaimana jika pelaku mempunyai dwi-kewarganegaraan, dan kedua negara tersebut sama-sama melakukan permohonan ekstradisi.
4.      Pengaturan Tentang Pelarangan Terhadap Negara-Peminta Untuk Mengekstradisikan orang yang diminta kepada negara ketiga
Jika orang yang diminta sudah diserahkan oleh negara-diminta kepada negara-peminta, maka negara-peminta dilarang untuk mengekstradisikan lagi orang yang bersangkutan kepada negara lain yang berkedudukan sebagai negara-peminta atas kejahatan yang sama atau kejahatan yang lain sebelum diadili atau dijatuhkan hukuman.Negara-peminta harus mengadili dan menjatuhkan hukuman kepada orang tersebut, dan setelah hukuman dijalankan, sehingga pada saat tertentu harus dibebaskan maka barulah orang tersebut dapat diserahkan kepada negara lain (dengan permohonan ekstradisi yang baru atas kejahatan lain).
5.      Pengaturan Tentang Transit Atau Melewati Wilayah Negara Ketiga
Setelah proses penyerahan pelaku, kemudian pelaku dibawa ke negara-peminta, ini tidak menutup kemungkinan dalam perjalanan melewati, singgah atau transit di negara lain karena jauhnya perjalanan, ada ketentuan mengenai transitnya pelaku yang diekstradisi yaitu, negara yang membawa pelaku diwajibkan untuk melapor ke negara yang akan dilewati atau ditransiti (disinggahi), agar negara tersebut (negara yang dilewati atau disinggahi) bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan yang akan terjadi ketika melewati atau menyinggahi negara tersebut.
6.      Pengaturan tentang tanggungjawab atas biaya-biaya yang dikeluarkan dalam perjanjian ektrsdisi sebaiknya diatur tentang biaya-biaya yang akan dikeluarkan dan batasan tanggungjawab finansial ditanggung oleh masing-masing negara.
Perkembangan sejarah ekstradisi juga mengalami kemajuan pelaksanan ekstradisi tidak hanya dilakukan berdasarkan perjanjian ekstradisi yang telah dibuat oleh negara-negara yang merasa berkepentingan dengan adanya ekstradisi ini.









BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Semakin berkembangnya kejahatan dan ilmu tekhnologi telah membuat dunia ini semakin “sempit” penjahat yang telah melakukan kejahatan di suatu wilayah negara dapat dengan mudah keluar untuk melarikan diri, melepas tanggungjawabnya atas akibat yang dituimbulkan dari kejahatan yang telah dia perbuat, ke luar negeri, perkembangan inilah yang menuntut negara-negara di dunia membuat suatu pranata hukum internasional yang dapat mengambil atau menyerahkan pelaku kejahatan untuk dipertanggungjawabkan atas perbuatan dan akibat yang ditimbulkan dengan suatu pranata yang dinamakan ekstradisi.
Pada dasarnya ekstradisi bertujuan untuk memberi sebuah kepastian hukum, dimana setiap pelaku kejahatan tidak akan dibiarkan bebas tanpa suatu pertanggungjawaban atas perbuatannya, namun apabila melihat kaidah-kaidah yang ada dalam ekstradisi, terlihat perlindungan lebih ditekankan atau lebih mengutamakan hak-hak dari pelakunya bukan pada korban yang dirugikan atau pada kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan tersebut. Pelaku dapat meminta perlindungan kepada negara-diminta untuk tidak diserahkan kepada negara-peminta dengan alasan perbuatan yang dia lakukan adalah kejahata politik atau berhubungan dengan politik; kejahatan yang dia lakukan diancam dengan hukuman mati oleh negara-peminta; atau meminta perlindungan karena dia adalah warga negara dari negara-diminta.
Pada kenyataannya pelaksanaan ekstradisi terlalu memakan waktu dan biaya yang cukup tinggi, untuk itu negara-negara yang telah mempunyai hubungan baik antara satu dengan yang lainnya lebih melihat kepada upaya penyerahan pelaku kejahatan yang lebih praktis, efektif dan efisien dengan berdasarkan pada hubungan baik tadi dan kerjasama dalam pemberantasan kejahatan transnasional maupun kejahatan internasional yang jelas-jelas telah mengancam perdamaian dunia.

B.     Saran
Dalam makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan sehingga penulis sangat berterima kasih jika pembaca memberika masukan terhadap kekurangan makalah ini





























DAFTAR PUSTAKA
Hans Kelsen General Theory Of Law and State, diterjemahkan oleh Somardi, Rimdi Press, Bandung, 1995
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, Bandung, 2006
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 1988
Mochtar Kusumaatmaja & Etty R. Agus, Pengantar Hukum Internasiona, Alumni, Bandung, 2002
Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana
Romli Atmasaamita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju, Bandung, 1995
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana
Varia Peradilan, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Nomor 04 Tahun 1999




[1] http://www.tribun-timur.com

[2] I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama Widya, Bandung, 2004, hlm.129
[3] J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 1988, Hlm 469.
[4] diberlakukannya Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 tentang “Ekstradisi“ yang telah mencabut berlakunya peraturan yang ada sebelumnya yakni Staatbled 1883-188 Koninklijk Besluit Van 8 Mei 1883 Nomor 26 tentang “ Uitlevering Van Vreemdelingen “yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan tata hukum di Negara Republik Indonesia. Varia Peradilan, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Nomor 04 Tahun 1999, Hlm 109.

[5] http:// www.hukumonline.com
[6] I Wayan Parthiana, 2004, Op Cit, Hlm148
[7] Terjemahan dari United Convention Against Transnational Organized Crime, meteri perkuliahan Konvensi Kejahatan Transnasional pada Program Pascasarjana Unpad, tahun 2006, Hlm.22

[8] I Wayan Parthiana, 2006, Op Cit, Hlm.141

Tidak ada komentar:

Posting Komentar